Balas Dendam? No Way!

“Kamu tidak bisa memperbaiki dirimu dengan cara menghancurkan orang lain” – Anonymous

Apa yang terpikirkan pertama kali ketika Anda merasa kesal dengan orang lain? Balas dendam? Ya, banyak sekali pertikaian kecil yang memercikkan api dendam. Balas dendam merupakan sebuah aksi menyakiti sekaligus merugikan orang lain yang disebabkan karena perasaan kesal ingin membalas perilaku orang tertentu. Misalnya ketika Anda merasa dikhianati seseorang, rasanya Anda ingin orang tersebut juga merasakan hal yang sama.

Memang benar adanya bahwa perilaku balas dendam adalah kekuatan internal dalam diri yang sesungguhnya harus diselidiki dan dimengerti lebih lanjut. Mungkin beberapa dari Anda percaya bahwa dengan balas dendam, emosi bisa terlampiaskan dan perasaan menjadi lebih baik. Faktanya, dampak balas dendam justru terjadi sebaliknya. Yuk, simak fakta-fakta seputar balas dendam dibawah ini.

Balas dendam: insting dasar manusia
Setiap manusia memiliki naluri agar orang lain bisa merasakan hal yang sama dengan yang dirasakan. Begitu juga dengan balas dendam yang tidak dapat disangkal terkadang menguasai pikiran.

Para peneliti mengemukakan bahwa balas dendam merupakan bentuk perlindungan dan proses mencari keadilan untuk diri sendiri. Cara yang dilakukan dengan membalas orang lain sebenarnya adalah bentuk dari self-destructive (merusak diri sendiri) karena membiarkan diri ini melakukan hal buruk dengan menjatuhkan orang lain. Menimbulkan efek ketidaknyamanan jangka panjang.

Para peneliti dari Swiss melakukan studi tentang apa yang terjadi pada otak manusia ketika ingin balas dendam. Hasil menunjukkan bahwa beberapa saat setelah melakukan balas dendam, secara alamiah otak kita terasa ‘ringan’ dengan masalah yang sedang dihadapi. Namun, ternyata hal tersebut malah akan menuai perasaan yang tidak nyaman dalam jangka waktu yang panjang. Bukannya jutsru menenangkan pikiran, tetapi membuat siklus balas dendam terus berjalan.

Balas dendam karena belum berdamai dengan masa lalu

Balas dendam sebenarnya identik dengan usaha Anda untuk membuka kembali luka lama dan memupuk kembali emosi negatif. Sejatinya, Anda melakukan pembalasan terhadap orang lain karena Anda sendiri belum mampu mengobati rasa sakit. Ujung-ujungnya, balas dendamlah yang menjadi pilihan Anda. Benar atau tidak?

Pribadi yang haus akan status, kekuatan, dan kepemilikan cenderung suka membalas dendam

Studi yang dilakukan oleh seorang psikolog bernama Ian McKee menunjukkan bahwa orang-orang yang melakukan balas dendam biasanya mereka termotivasi untuk menguasai sesuatu. Mereka adalah orang-orang yang mencari status, wewenang, dan ingin mendominasi.

Beda budaya, beda makna balas dendam
Penelitian yang dilakukan oleh Gelfand-profesor psikologi di Universitas Maryland menunjukkan bahwa budaya kolektivis cenderung memiliki keinginan untuk balas dendam sebab balas dendam mudah menyebar ke orang lain. Sementara, budaya yang individualis tidak terlalu mementingkan keberadaan orang lain sehingga mereka cenderung tidak peduli.

Kemarahan, penyiksaan, dominasi yang ditunjukkan kepada orang lain semata-mata karena ingin membalas perilakunya merupakan ‘tabungan’ untuk merusak diri sendiri. Balas dendam memang mudah dilakukan, tetapi dampak jangka panjangnya perlu diperhitungkan. Percayalah bahwa setiap manusia ingin bahagia dan bebas dari rasa benci. Nah, maka dari itu Anda tidak perlu mencelakai diri Anda sendiri dengan cara menjatuhkan orang lain. Ya atau tidak?

Let others know the importance of mental health !

Nurkhalisha Ersyafiani

Mahasiswi Psikologi. Penikmat seni dan pecinta kuliner yang suka berdialog dengan menulis

Previous
Previous

Menghabiskan Waktu bersama Keluarga Tanpa Gadget

Next
Next

Balas Dendam: Ketika “Maaf” Tidak Cukup Mengobati Luka Hati