CURHAT: Saya Sering Mengalami Mood Swing yang Ekstrem karena Tumbuh dalam Lingkungan Keluarga yang Toxic

Curhat

Halo Pijar Psikologi,

Saya adalah seorang mahasiswi di salah satu universitas di Malang. Kampung halaman saya di kota Solo. Akhir-akhir ini saya merasa kondisi psikologis saya memburuk.

Saya berasal dari keluarga dengan ekonomi menengah kebawah. Saya berhasil kuliah pun dari beasiswa bidikmisi, yang awalnya ditentang oleh keluarga karena tidak ada dana untuk saya kuliah. Di kampung halaman, saya tinggal bersama ayah, ibu, nenek, kakak dan adik. Sejak kecil, saya terbiasa dengan suara lantang, kekerasan verbal, bahasa-bahasa yang kasar dan jauh dari stereotipe orang Solo pada umumnya.

Setelah saya dewasa, saya merasa akar permasalahan dalam perilaku keluarga kami ada pada cara didik nenek kepada ayah. Saya merasa ada yang salah dengan pola asuh dan kepribadian nenek. Sewaktu berumur 2 tahun, nenek sudah ditinggal mati oleh orang tuanya (sekitar tahun 50-an). Peristiwa tersebut membuat nenek kemudian diasuh oleh kakak tertuanya. Di dalam pengasuhan itu, saya merasa nenek mewarisi perilaku kasar dan keras karena watak si kakaknya nenek ini berwatak demikian. Otoriter, diktaktor dan tidak bisa mengontrol emosi adalah makanan nenek setiap hari. Tidak jarang nenek juga mendapatkan kekerasan fisik ketika beliau tidak mematuhi perintah kakaknya. Ayahku tidak jauh beda dengan nenek, beliau juga keras, kasar, skeptis, selalu memandang rendah orang lain, diktaktor, tapi ayahku ini agak kurang dari segi intelektual. Hal yang paling saya rasa tidak masuk akal adalah ketergantungan ayah pada nenek di usianya yang sudah tidak lagi muda, 50-an tahun. Ayah selalu saja diperlakukan oleh nenek seperti anak kecil yang apapun kegiatannya harus selalu diingatkan, misalnya:

Ketika akan menanam padi (ayah adalah seorang petani), nenek selalu berkata

“Jangan lupa lahannya ditraktor, setelah itu menanam padinya segini.”

“Jangan lupa disedot supaya ada airnya, nanti pupuknya segini saja” dan sebagainya, yang terkesan mendikte ayah. Padahal kegiatan menanam padi ini sudah dilakukan ayah selama puluhan tahun. Hal seremeh itu saja masih dikontrol oleh nenek. Parahnya, ketika ayah akan mandi pun nenek masih saja mendikte dengan “Kalo mandi bawa handuk, sandal, sabun, jangan lupa sikat gigi, ketiaknya dibersihin.”

Saya sudah tidak paham lagi dengan semua yang terjadi di keluarga ini. Saya frustasi mendengar dan melihat perilaku-perilaku anggota keluarga yang sudah diluar batas saya. Ditambah lagi, saya tidak tahu harus mengadu kemana dan dengan siapa. Ibu, yang saya kira bisa mengayomi nyatanya juga “tertular” kebiasaan-kebiasaan dalam keluarga kami. Ibu juga akhirnya berubah menjadi seseorang yang mudah emosi, marah, membentak-bentak, seringkali mengeluarkan kata-kata kasar, dan lain sebagainya.

Jadi, seperti itulah pola asuh yang saya dapat sejak kecil. Saya merasa keluarga saya sangat toxic. Mereka tidak bisa mengontrol diri, emosi meluap-luap dan seringkali saya menjadi sasaran kemarahan mereka. Padahal saya tidak tahu duduk permasalahannya, tapi sering dijadikan pelampiasan emosi. Saya merasa sangat sedih. Mereka sering menuntut saya untuk menjadi yang terbaik, yang terpintar, yang paling berani dan banyak lagi tuntutan lainnya. Parahnya, mereka pernah mengatakan pada saya bahwa saya adalah aset keluarga. Aset berarti setelah saya lulus kuliah nanti saya harus bisa menafkahi keluarga dan harus bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan mereka. Saya sangat sedih mendengarnya, apalagi orang tua seringkali mengkritik saya tanpa dasar, mengungkit kesalahan dan kelemahan saya, seringkali merendahkan saya yang sakit-sakitan dan karena saya perempuan.

Saya sangat putus asa dengan keadaan keluarga saat ini. Mereka tidak pernah mensupport saya baik secara finansial maupun mental. Mereka hanya bisa memberikan saya sugesti negatif dan tidak pernah bertanya KAMU APA KABAR DI MALANG? KULIAHMU GIMANA? APA KAMU BAHAGIA DI SANA?. Mereka juga tidak membiayai kuliah saya karena saya kuliah dari beasiswa, tapi itu pun kadang telat turunnya. Seringkali saya kehabisan uang dan berencana untuk meminta uang ke orang tua, tetapi itu juga tidak mudah. Padahal saya jarang sekali meminta kalo tidak benar-benar kepepet.

Saya tidak tahu ini ada hubungannya dengan pola asuh di keluarga atau tidak, tetapi saya merasa sering mengalami mood swing yang tiba-tiba. Apalagi ketika saya ingat keadaan keluarga, ekonomi kami kurang, pola asuh yang buruk, tuntutan-tuntutan orang tua yang tinggi, atau masalah-masalah seperti kekurangan uang saku kuliah, yang pada akhirnya sayalah yang disalahkan.

Ngapain juga kuliah, belum tentu bisa menjamin masa depanmu, kan orang tua sudah melarang kamu kuliah kamu saja ngeyel!”

Akhirnya saya hanya bisa diam, terpojok dan tidak bisa berbuat apa-apa dan dari hal-hal itulah mood swing saya bertambah parah. Saya merasakan ini sejak duduk di bangku SMP. Namun, kemudian bertambah sering mood saya berubah secara tiba-tiba. Bahkan mantan pacar saya juga sudah lelah dengan mood swing ini. Kami putus karena saya terlalu moody dan putusnya kami juga semakin memperparah mood swing saya. Saya pernah seharian tidak mood melakukan apapun, hanya berbaring dan tidak melakukan apa-apa. Di lain hari, saya bisa sangat bersemangat sampai-sampai saya lupa dengan kesedihan kemarin.

Saya mohon bantuan kepada Pijar Psikologi,  sebenranya apa yang sedang terjadi pada diri saya? Apa yang harus saya lakukan terkait mood swing ini? Saya ingin sekali hidup normal tanpa harus berperang melawan mood swing setiap harinya. Terima kasih.

Gambaran: Perempuan, 20 Tahun, Mahasiswa.


Jawaban Pijar Psikologi

Terima kasih atas kepercayaanmu untuk bercerita di Pijar Psikologi.

Dari cerita yang kamu sampaikan, kami menangkap bahwa nampaknya terdapat pola pengasuhan yang sama antara kamu dengan generasi sebelumnya. Pola pengasuhan yang diterapkan cenderung keras, kasar, tidak mau mendengar, suka mengkritik, dan suka mendikte. Orang tua juga nampaknya memberikan banyak tuntutan dan menilai apapun yang kamu lakukan salah. Pengalaman yang dihadapi nampaknya menjadi tekanan batin dan memunculkan berbagai emosi negatif, seperti perasaan sedih, kesal, marah, bahkan mungkin ada perasaan kecewa. Kami paham, hal ini sangat mengganggu kondisi psikis kamu. Rasanya ingin sekali bisa dipahami, didukung dan dihargai oleh orang tua. Meskipun demikian, kami ingin mengapresiasi kegigihan dan keberanian kamu untuk bertahan pada kondisi yang terjadi. Tidak semua orang yang mengalami kondisi ini, dan tidak semua orang memiliki ketangguhan seperti dirimu. Selain itu, ditengah kondisi yang kurang baik, kamu berusaha mencari bantuan dengan bercerita di Pijar Psikologi.

Pertama, mari kita bahas mengenai mood swingMood swing merupakan perubahan suasana hati atau emosi. Perubahan emosi ini merupakan kondisi psikologis sebagai respon tubuh terhadap lingkungan atau situasi tertentu. Mood swings dapat menjadi masalah kesehatan, apabila perubahan suasana hati sering terjadi, tidak bisa dikendalikan, sangat tidak rasional (misalnya menimbulkan keinginan untuk menyakiti diri) dan mengganggu fungsi sehari-hari kamu. Misalnya, mood swing berlangsung selama beberapa hari atau lebih sehingga membuat kamu merasa sangat senang atau sedih secara tidak terkontrol, tidak bisa tidur, atau menghambat kegiatan di keseharian.

Oleh karena itu, sangat penting untuk memperhatikan apa yang terjadi ketika kamu mengalami mood swing. Apabila gejala-gejala yang telah disebutkan sebelumnya termasuk mtimbul keinginan untuk menyakiti diri sendiri maka segeralah mencari bantuan (seperti menemui psikolog dan psikiater). Mood swing dapat menjadi pertanda dari berbagai macam gangguan mental, tetapi kamu tidak perlu merasa risau karena semuanya dapat ditangani. Selain itu, perlu diketahui bahwa seseorang dinyatakan memiliki gangguan jika telah didiagnosis oleh psikolog atau psikiater bukan hanya karena kamu mengalami beberapa gejala dan mendiagnosis diri sendiri.

Untuk mengatasi ketidaknyamanan yang dirasakan, kamu dapat mencoba metode self healingSelf healing adalah sebuah proses untuk menyembuhkan diri dari luka batin. Metode ini dilakukan ketika seseorang mengalami luka batin yang mengganggu emosinya. Lebih lanjut, kamu dapat mempelajarinya pada tautan berikut ini: 8 Metode Self-Healing.

Dalam artikel tersebut, kamu bisa mencoba untuk berlatih membebaskan diri dari jeratan krisis yang terjadi. Caranya bisa kamu coba setiap hari secara rutin dan bertahap. Proses ini mungkin tidaklah mudah, namun ingatlah bahwa “tidak ada usaha yang mengkhianati hasil”. Oleh karena itu, jangan lupa untuk mengapresiasi setiap proses yang telah kamu lakukan sekecil apapun.

Selanjutnya kita akan membahas mengenai komunikasi. Komunikasi merupakan salah satu hal penting dalam menjalin sebuah hubungan. Komunikasi yang buruk biasanya merupakan akar dari konflik dan kesalahpahaman. Setiap orang tua pasti menginginkan yang terbaik untuk anaknya, tapi terkadang mereka kurang atau bahkan tidak mengetahui bagaimana cara yang tepat untuk mengkomunikasikannya. Hal ini seringkali membuat mereka menganggap bahwa pendapat mereka benar dan adakalanya menolak pendapat orang lain. Berkomunikasi dengan orang tua tidaklah sama seperti kita berkomunikasi dengan sebaya. Kamu bisa berlatih untuk berkomunikasi secara efektif dengan orang tua, supaya bisa memperbaiki komunikasi yang buruk dan memutus rantai toxic dalam keluarga. Jika tidak ada yang memulai, maka komunikasi yang terjalin akan berada pada pola yang sama. Tips-tips dibawah ini bisa kamu gunakan untuk terjalinnya komunikasi yang efektif ddalam keluarga.

1. Mendengarkan

Orang-orang cenderung lebih banyak berbicara daripada mendengarkan. Padahal mendengarkan sangat penting untuk kelancaran sebuah komunikasi. Kunci dari mendengarkan adalah kesabaran dan sifat terbuka atau open minded. Selain mendengarkan, cobalah untuk menghargai pendapat orang lain. Jika ingin menyampaikan pendapat, tunggulah sampai mereka selesai berbicara. Kamu juga dapat memberikan respon minimal dari apa yang disampaikan. Misalnya “mmm, ya, oh begitu, tentu, dan baik”.

2. Empati

Empati adalah kemampuan kita untuk menempatkan diri kita pada situasi atau kondisi yang dihadapi oleh orang lain. Dengan kata lain, kita ikut merasakan apa yang dirasakan oleh orang tersebut. Misalnya kamu ingin menyampaikan pendapatmu kepada orang tua dengan penuh empati, “Ayah ibuu, saya ingin berbicara. Mungkin hal yang saya bicarakan nantinya membuat ayah dan ibu merasa tidak nyaman, tapi saya ingin terbuka. Ayah, ibu, saya paham bahwa ayah dan ibu merasa … (contoh: marah, kesal, khawatir) karena saya…(duduk persoalannya). Saya mohon maaf ya, jika saya… Disisi lain, saya merasa …. (contohnya: sedih, tertekan), saya ingin sekali didengarkan dan dipahami…”

Sampaikan dengan nada yang baik dan dalam keadaan tenang.

Cobalah sampaikan niat kamu dengan kata-kata dan nada yang halus dan sopan. Jangan menyinggung dan memaksa, tetaplah bersabar dan tunjukan bahwa kamu layak diberi kesempatan. Mood dan komunikasi yang baik dapat membantu kamu menyelesaikan sesuatu secara baik. Tetaplah menjadi pribadi yang berharga dan berbahagia ya!

Terima kasih telah berbagi.

Salam,

Pijar Psikologi.

Pijar Psikologi

Pijar Psikologi adalah media non-profit yang menyediakan informasi kesehatan mental di Indonesia.

Previous
Previous

BTS: Isu Psikologis dan Sosial dalam Budaya K-Pop

Next
Next

6 Stigma yang Salah Tentang Gangguan dan Kesehatan Mental