Edukasi Seks dan Pengaruhnya Terhadap Psikologi Anak

Di era global sekarang ini, berbagai informasi sangat mudah untuk diakses hampir di seluruh media. Termasuk perihal seks. Namun, masih banyak kita dan para orang tua yang menganggap perihal tentang seks adalah sesuatu yang tabu untuk dibicarakan. Padahal, di era digital yang sangat mudah untuk mengakses informasi ini beragam informasi seputar seks tersaji secara gamblang.

Banyak anak-anak yang kemudian mengakses informasi tersebut tanpa edukasi yang tepat. Ditambah lagi pengetahuan seputar seksualitas sekarang ini banyak difokuskan pada resiko seksualitas seperti seks bebas, penularan penyakit kelamin dan kehamilan yang tidak diinginkan. Hal itu justru diakibatkan kurangnya pemahaman anak tentang seks. Berdasarkan studi Organisasi Kesehatan Dunia, pendidikan seks sejak dini cenderung menunda inisiasi hubungan intim dan mempromosikan penggunaan alat kontrasepsi secara efektif pada waktu dewasa.

Edukasi yang kita berikan juga masih terfokus dengan hal-hal negatif seperti sering memberikan informasi yang terkesan menakut-nakuti anak-anak dan remaja tentang seks. Hal itu justru tidak membantu apapun, tidak juga membantu memenuhi kebutuhan mereka terhadap pengetahuan seksual. Menakut-nakuti juga tidak memiliki relevansi dengan kehidupan mereka nantinya.

Pentingnya Edukasi Seks Sejak Dini

Pada dasarnya, anak-anak terlahir dengan kesadaran dan rasa ingin tahu yang tinggi tentang seksualitas. Hanya saja, mereka belum tahu bagaimana cara mengomunikasikannya. Seiring berjalannya waktu, anak-anak dan para remaja bahkan terbukti kerap lebih aktif secara seksual melebihi dugaan orang tua mereka. Terlebih lagi sekarang ini dimana akses mereka pada konten-konten bernuansa seksual nyaris tak terbatas.

Salah satu laporan Organisasi Kesehatan Dunia Regional Eropa bahkan menyebutkan bahwa edukasi seks bisa dimulai sejak usia empat tahun. Hal itu tentu dimulai dengan hal-hal mendasar yang sederhana terlebih dahulu. Di Chicago, Amerika Serikat misalnya, para guru taman kanak-kanak mulai mengenalkan beberapa konsep seperti “Tubuhku”, “Sentuhan yang Baik vs. Sentuhan yang Buruk” dan “Makhluk Hidup yang Berkembang Biak” pada anak-anak.

Pemahaman tentang seksualitas penting bagi anak-anak dan remaja, yaitu membantu mereka mengembangkan keterampilan-keterampilan penting untuk menentukan seksualitasnya. Hal itu penting agar anak-anak dan remaja tumbuh dalam kesadaran dan pemahaman terhadap perkembangan seksualitasnya, sehingga mampu membangun rasa tanggung jawab untuk melindungi dirinya dari kemungkinan resiko seksual. Selain itu, pendidikan seks juga berdampak positif terhadap perkembangan kepribadian anak, meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup karena mereka tumbuh dengan pemahaman tentang hubungan yang sehat, aktivitas seksual yang bertanggung jawab, dan kesehatan reproduksi. Bahkan, berdasarkan sebuah studi di Amerika menyebutkan pendidikan seks telah terbukti membantu mencegah dan mengurangi resiko kehamilan remaja, HIV dan infeksi menular seksual pada anak-anak dan remaja.

Edukasi Seks Bisa Dimulai Dari Keterbukaan Orang Tua

Keterbukaan anak perihal seks sangat ditentukan oleh kesediaan dan keterbukaan orang tua untuk mendengarkan dan memberi referensi tanpa bermaksud menghakimi. Untuk menghindari kesalahpahaman dan kecanggungan, sebagai orang tua harus menegaskan bahwa perubahan yang bersifat seksual pada tubuh dan emosi anak adalah hal yang wajar. Percakapan sendiri dapat dikaitkan padahal hal sehari-hari yang ringan seperti adegan film dan novel, atau berita dan iklan di televisi.

Hal yang tidak perlu dilakukan yaitu menutup-nutupi atau menghindari topik seputar seksualitas. Sampaikan apapun terkait seksualitas sebagai sebuah informasi yang perlu diketahui anak maupun remaja. Jangan sampai memberikan informasi yang abu-abu atau sengaja ditutup-tutupi. Mulailah dengan penjelasan yang jujur seputar organ tubuh, perbedaan fisik serta relasi antara perempuan dan laki-laki, fungsi dan proses reproduksi manusia. Jelaskan pula resiko serta langkah yang perlu diambil untuk mencegah konsekuensi dari hubungan seks tidak sehat. Berilah anak-anak pemahaman melalui contoh nyata yang bijaksana, kemudian biarkan mereka membuat kesimpulannya sendiri.

Bagi anak, keengganan orang tua membicarakan soal seks akan memberi kesan bahwa hal tersebut tidak patut dibicarakan maupun dipertanyakan. Pada akhirnya, mereka akan mencoba mencari tahu sendiri, salah satunya lewat internet. Sementara itu, tidak ada jaminan bahwa mereka akan mendapat informasi yang akurat.

Edukasi Seks Bukan Sebuah Hal Instan

Edukasi seks tidak bisa dilakukan secara instan, namun berproses sesuai level tumbuh kembang anak. Kita perlu memperhatikan konten dan cara dalam menjabarkan tentang seks pada anak dengan usia berbeda. Pada anak-anak kelas satu dan dua sekolah dasar misalnya, hindari penggunaan istilah-istilah ilmiah yang sulit dicerna, seperti uterus dan ereksi. Meski begitu, usahakan tidak menggunakan istilah-istilah ambigu seperti burung untuk menyebut alat kelamin laki-laki.

Beranjak remaja, perkenalkan istilah-istilah seksual yang relevan dengan usia mereka. Penjelasan tentang risiko hubungan seks bebas dan penggunaan alat kontrasepsi juga bisa disertakan kemudian. Bagaimanapun, pastikan bahwa tujuan utama kita adalah memberikan gambaran yang objektif sebagai bekal pertimbangan anak dalam membuat keputusan, bukan justru menakut-nakuti atau malah mengiming-imingi.

***

Orang tua memiliki pengaruh yang amat besar dalam kehidupan seks seorang anak dan remaja. Mereka yang menjalin komunikasi rutin dan terbuka tentang seks dengan orang tuanya cenderung menunda hubungan intim, memiliki pasangan yang lebih sedikit, serta menggunakan kondom maupun alat kontrasepsi lain secara efektif saat berhubungan intim. Anak adalah citra dari orang tua, sehingga dalam hal pengetahuan seksual, anak menjadikan orang tua sebagai model kehidupan seksual dan mereka belajar melalui observasi sehari-hari. Dengan demikian, penting bagi orang tua untuk memberikan contoh sikap dan relasi seksual yang sehat sesuai konteks budaya dan kepercayaan yang dianut.

Previous
Previous

Curhat: Saya Merasa Asing dengan Diri Saya Sendiri. Apa yang Bisa Saya Lakukan?

Next
Next

Memahami Lupa dari Kacamata Psikologi