Hati-Hati dengan Kekerasan Verbal dalam Sebuah Hubungan

Pernahkah Anda mengira menjadi korban atau bahkan pelaku kekerasan verbal? Mungkin, memanggil teman Anda dengan sebutan “Hei, anak keriting!” atau berkata pada pasangan Anda, “Aku tidak akan memukulmu kalau kamu mau diam sebentar saja” adalah hal yang dianggap remeh. Tapi, tahukah Anda, bisa saja kata-kata tersebut adalah bentuk dari kekerasan verbal.

Toxic Relationship dan Kekerasan Verbal

Satu dari tiga perempuan dan satu dari empat laki-laki di Amerika Serikat mengalami kekerasan verbal dari pasangannya. Mungkin sebagian  dari kita terjebak lama dalam suatu hubungan, terkungkung dalam kenyamanan semu karena alasan-alasan yang kita karang sendiri, tidak berani mengambil keputusan untuk keluar dari hubungan yang sebenarnya kita tahu kalau hubungan itu sudah tidak lagi sehat. Hubungan seperti ini tampak baik-baik saja di permukaan, kalau tidak keduanya mungkin ada salah satu pihak yang memendam. Apabila telah memuncak pada titik didih yang tak tertahankan, maka tidak ada pilihan lain selain mendobrak pintu keluar.

Banyak ragam hubungan yang tidak sehat, seperti kekerasan dalam rumah tangga (abusive relationship), posesif berlebihan, taking control others, perselingkuhan, ketidakjujuran, ketidakseimbangan mental, dan yang sering tidak kita sadari namun juga berbahaya yaitu verbal abusive (kekerasan verbal). Kekerasan verbal nyata dan ada di sekitar kita. Bisa datang dari orang luar, ataupun dari orang-orang terdekat kita. Entah dari pasangan, keluarga, atau pun sahabat. Kadang dalam wujud bullyshaming, atau kata-kata yang menurut mereka hanya candaan namun berarti lebih dalam bagi objek pendengar. Hati-hati, bisa jadi kita adalah salah satu pelaku kekerasan verbal tanpa kita sadari.

Kekerasan Verbal dan Peran Gender

Dalam kasus-kasus abusive relationship yang sering jadi korban adalah kaum wanita, tapi tak menutup kemungkinan jika laki-laki pun sering menjadi korban. Hasil studi Centers for Disease Control di Amerika menunjukkan 48% laki-laki mengalami pelecehan secara psikologis dan emosional dari pasangannya. Namun tak banyak laki-laki yang mau melaporkan jika mereka menjadi korban dari kasus tersebut. Hal ini tak terlepas dari stigma yang tertanam dalam ego maskulinitas setiap laki-laki. Mereka takut orang lain menganggapnya lemah dan pengecut, tapi di sisi lain menerima perlakuan buruk dari pasangannya.

Efek Kekerasan Verbal pada Sang Korban

Kekerasan verbal yang sering diterima seperti kata-kata tak pantas cenderung keras dan kasar, tuduhan, hinaan, maupun makian, yang keluar dari mulut pasangannya. Contohnya jika kita memiliki kekurangan, maka kita akan sering mendengar kekurangan kita selalu dipermasalahkan terus menerus tanpa henti, bukan oleh orang lain melainkan pasangan kita sendiri. Lama-lama kata-kata buruk itu semakin menempel dan menjadi sesuatu yang kita percayai. Kita meyakini kalau kekurangan itu nyata dan semakin lama, semakin mengecilkan rasa ketidakpercayaan pada diri kita sendiri.

Pikiran kita seperti dimanipulasi oleh dia yang selalu playing victim, membuat kita selalu merasa kurang dan kurang, tak pernah cukup di matanya. Awalnya kita menerima, tapi setelah kita semakin jatuh tenggelam, kita tidak tahu lagi mana yang benar mana yang salah. Hati kita terkikis secara perlahan. Mental dan psikologis semakin tergerus karena kita tahu itu tidak benar tapi kita tidak bisa keluar. Because we accept the love we think we deserve.

Keluar dari hubungan yang tidak sehat memang sulit, karena pada saat yang sama emosi dan mental kita tidak dalam posisi yang baik untuk mengambil keputusan. Sehingga jalan terpendeklah yang kita ambil, memaafkan dan melupakan. Tapi perkataan menyakitkan yang terdengar itu tidak bisa dengan mudah dilupakan. Beda jika kita tergores pisau, tinggal diberi obat merah lukanya akan sembuh, tinggal tunggu waktu lukanya pun akan tersamarkan. Namun jika perasaan yang terluka, tak ada obatnya. Karena jika di kemudian hari luka itu muncul kembali, luka itu akan semakin membesar, dan menganga. Jalan keluarnya hanyalah ketegasan untuk berhenti dan pergi. Lupakan cinta dan perasaan, karena cinta yang diucap tak berarti apa-apa dengan sakit hati yang kita terima. Hati kita terlalu murah jika kita biarkan orang lain melukainya.

Manusia memang memiliki kekurangan, tapi justru dengan kekurangan itu kita membutuhkan pasangan yang dapat melengkapinya bukan malah melemahkan. Pasangan yang baik tidak akan tega menyakiti perasaan pasangannya dengan kata-kata yang buruk. Tapi dia akan menguatkannya, menjadi orang pertama yang membelanya dari penghakiman dunia. Pasangan yang baik akan berada di jembatan yang sama denganmu tanpa kau minta, bukan malah mendorongmu jatuh ke sungai.

Berjalanlah menuju pintu keluar. Ambil napas yang panjang. Lupakan semua hinaan  dan makian yang kau terima. Percayalah, di luar sana akan ada seseorang yang menyayangimu dengan tulus, mengucapkan kata-kata yang indah, memperlakukanmu dengan baik, dan menjaga hatimu sebaik-baik malaikat utusan Tuhan untukmu.

 

 

Artikel ini adalah sumbang tulisan dari Erkan Pane. Ia ingin tulisannya berguna bagi pembaca Pijar Psikologi.  Erkan Pane bisa dihubungi di akun Twitter @erkanpane dan Instagram @erkanpane

Previous
Previous

CURHAT: Bagaimana Menguatkan Hubungan dengan Pasangan Setelah Ada Orang Ketiga yang Datang

Next
Next

Mungkinkah Laki-Laki Mengalami Tanda-Tanda Kehamilan