Pelecehan Seksual: Diam atau Angkat Bicara?

Pelecehan seksual adalah bentuk kejahatan yang banyak terjadi, tetapi tidak banyak yang berani angkat bicara. Pelecehan ini dapat terjadi di manapun asal ada kesempatan, seperti jalanan, sekolah, atau tempat kerja.

Mengutip dari U.S. Equal Employment Opportunity Commission’s (EEOC), menjelaskan pelecehan seksual sebagai bentuk perilaku seksual yang tidak diinginkan. Perilaku ini dapat berupa verbal (lelucon, sindirian, komentar sugestif) dan nonverbal (sentuhan ke bagian tubuh yang tidak tepat, tatapan pada bagian tubuh, memberi pandangan yang tetap dan tidak mengenakkan, bahkan penyerangan seksual).

Pada tempat kerja, pelecehan seksual yang dilakukan secara implisit ataupun eksplisit dapat mengganggu kinerja seseorang. Selain itu, dapat menyebabkan timbulnya intimidasi, permusuhan, serta penghinaan dalam lingkungan kerja.

Pelecehan Seksual di Indonesia

Salah satu kasus pelecehan seksual yang diangkat di Indonesia adalah kasus buruh pabrik garmen di Kawasan Berikat Nusantara Cakung. Bahkan, kasus ini juga diangkat dalam sebuah film dokumenter. Film yang berjudul 'Angka Jadi Suara' ini, menggambarkan kesaksian seorang buruh sebagai korban pelecehan di tempat kerjanya.

Salah satu pernyataan yang disampaikan oleh korban dalam kutipan trailer film ini adalah bagian tubuh korban yang disentuh dengan sengaja oleh pelaku yang mempunyai kekuasaan di sana. Hal itu pun dianggap sudah biasa. Tentu saja mereka bingung harus mengadu kepada siapa karena pelakunya adalah atasan sendiri.

Tiga Dimensi Perilaku Pelecehan Seksual

Louise Fitzgerald menjelaskan ada tiga dimensi perilaku pelecehan seksual. Pertama, pelecehan gender. Pelecehan yang dimaksud adalah perilaku verbal dan nonverbal yang mengandung penghinaan, kekerasan, serta perendahan. Contoh sikap merendahkan perempuan adalah mempertanyakan kompetensi kinerja perempuan, menampilkan pornografi, memanggil perempuan dengan kata kasar, dan membuat isyarat cabul.

Kedua, perhatian seksual yang tidak diinginkan. Perhatian seksual ini seperti komentar sugestif mengenai tubuh perempuan atau tatapan terus-menerus pada perempuan.

Ketiga, kekerasan seksual. Kekerasan seksual terjadi ketika seks dijadikan sebagai syarat atau imbalan kerja. Secara sah, hal ini dikenal dengan istilah quid pro quo sexual harassment.

Korban pelecehan seksual terdiri dari laki-laki dan perempuan. Meskipun begitu, perempuan yang lebih sering menjadi korban. Ketika seorang perempuan menjadi korban, muncul rasa malu dan dilema dalam dirinya. Dilemanya adalah memilih untuk diam atau angkat bicara atas pelecehan yang dialaminya.

Pada tempat kerja, korban cenderung diam karena takut berpengaruh terhadap kondisi kerjanya. Sebagai contoh, dipecat atau ditambahi beban kerjanya. Selain itu, anggapan orang lain terhadap perempuan yang menjadi korban malah membuat korban semakin sedih. Sedih karena peristiwa pahit yang dialami malah diklaim sebagai ajang mencari perhatian di tempat kerja.

Alasan Saksi Tidak Ikut Campur

Ketika tindakan tidak senonoh ini terjadi di tempat kerja, biasanya ada yang turut menyaksikan kejadian. Akan tetapi, saksi cenderung gagal terlibat dalam pengungkapan kasus pelecehan ini.

Ada tiga alasan yang menyebabkan kegagalan saksi untuk ikut campur, yaitu perwujudan bahwa pelecehan seksual adalah hal normal, laki-laki dan perempuan memiliki sudut pandang yang berbeda dalam melihat pelecehan, serta keyakinan yang salah bahwa cantik adalah hal yang baik.

Studi yang dilakukan oleh Galdi, Maas, dan Cadinu menemukan bahwa media yang menggambarkan pelecehan seksual dapat memengaruhi pandangan orang bahwa itu adalah tindakan yang wajar. Selain itu, kewajaran ini dapat mengurangi kemungkinan untuk membantu korban.

Di sisi lain, studi yang dilakukan oleh Dillon, Adair, dan Brase menyatakan gender menjadi faktor yang memengaruhi anggapan pada perilaku di tempat kerja sebagai pelecehan seksual atau tidak. Studi ini memberikan lima skenario yang berkaitan dengan pelecehan seksual di tempat kerja.

Hasil studi tersebut, menunjukan bahwa perempuan merasa lebih tidak nyaman dengan kemungkinan skenario pelecehan seksual di tempat kerja. Perempuan cenderung melihat skenario tersebut sebagai ancaman dibandingkan dengan laki-laki.

Selain itu, studi yang diteliti oleh Herrera, Herrera, dan Exposito menjelaskan tentang pengaruh daya tarik fisik terhadap persepsi pelecehan seksual. Pelecehan yang terjadi pada perempuan seringkali dianggap karena daya tarik fisik yang dimiliki oleh perempuan itu sendiri. Hal ini memberikan kesan bahwa wajar saja pelecehan itu dilakukan.

Dilema Menghadapi Pelecehan Seksual

Pelecehan seksual yang terjadi akan terus menjadi kejahatan sunyi apabila tidak ada yang berani untuk angkat bicara. Keberanian untuk angkat bicara pun menjadi tantangan tersendiri karena adanya tanggapan yang malah akan menyakiti perasaan korban. Sebagai contoh, tanggapan bahwa wajar saja kamu terkena pelecehan karena dirimu sendiri.

Selain itu, pelecehan yang terjadi di tempat kerja memberikan tantangan tersendiri untuk diselesaikan. Pelaku pelecehan yang cenderung memiliki kekuasaan lebih, memberikan rasa takut bagi korban atau saksi lainnya untuk bicara. Apabila terus dibiarkan, pelecehan seksual yang terjadi pun akan dianggap wajar. Selain itu, keinginan untuk melanjutkan ke proses hukum bukan perkara yang mudah.

“If you see something, say something: Recognize and Report”

Kutipan di atas merupakan saran yang menarik dan menginspirasi kita semua untuk menyikapi pelecehan seksual. Kasus ini mungkin pernah kamu alami, tetapi seberapa berani kamu untuk melaporkannya?

Apabila kamu pernah menyaksikan kejadian serupa, beranilah bicara untuk keadilan. Dengan keberanian dan niat baikmu, kamu bisa mengurangi beban yang ditanggung oleh korban.

Gerakan kecil untuk memberantas pelecehan seksual memang memerlukan keberanian. Mari sama-sama membangun kesadaran bahwa pelecehan seksual ada di sekitar kita dan perlu kita berantas. Jangan sampai para predator bertindak semaunya tanpa mendapatkan sanksi yang membuat jera. Kalau tidak bertindak sekarang, kapan lagi?

Zahrah Nabila

a psychology student who is still learning and should treat herself first, before treat others

Previous
Previous

Panic Attack : Sensasi Serangan Jantung secara Psikologis

Next
Next

OCD, Apa sih Sebenarnya?