Curhat: Khawatir Memiliki Suami Temperamen, Apa yang Harus Saya Lakukan?

Ibu LY, 50 tahun, Magelang.

Hello, selamat malam PIJAR. Saya memiliki permasalahan yang membuat saya akhir-akhir ini tidak tenang. Perasaan tersebut membuat saya khawatir dan trauma akan suatu hal yang mungkin terulang kembali. Meski saya tidak berharap hal seperti itu akan terjadi lagi. Sebaiknya jangan sampai.

Hal yang saya takuti ini bermula ketika anak saya kelas 2 SMA tepatnya pada tahun 2009. Saya memiliki seorang suami yang memang tergolong temperamental atau tepatnya sangat melindungi keluarga. Hal tersebut seolah-olah menjadi sebuah sikap posesif terhadap keluarga kami. Namun, saat saya dan putri saya kembali dari luar kota, tiba-tiba suami saya berubah total. Yang awalnya santai dan tidak kaku, kini menjadi suka tersenyum sendiri dan taat beribadah. Saya sangat senang tapi agak aneh karena tidak sama seperti yang biasanya.

Kemudian bencana yang sesungguhnya mulai terjadi. Suami saya langsung berubah drastis . Dia mulai memarahi saya karena alasan yang sepele dan memukul saya habis-habisan. Namun anehnya, dia tidak melakukan kekerasan yang sama pada anak saya. Ada yang bilang bahwa dia “kesurupan”, terkena “guna-guna”, atau “deperesi”. Pada awalnya, terjadi perseteruan antara suami saya dengan keluarga kandungnya mengenai hak warisannya yang dirampas oleh kedua kakaknya (suami saya anak terakhir dari 3 bersaudara). Bahkan ada yang bilang suami saya “gila”. Sakit hati rasanya ketika mendengar pernyataan tersebut. Namun akhirnya, semua mulai kembali normal ketika melihat putri kami setiap hari harus menempuh perjalanan yang jauh menuju ke sekolah. Jarak rumah neneknya dengan sekolahnya sekitar 2 jam. Dari situ, suami saya mulai sadar kembali.  Meski pada akhirnya kami merasa sakit hati akan perlakuan keluarga kandung suami saya terhadap kami semua.

Hari demi hari berlalu, terkadang suami saya suka marah-marah sendiri tanpa alasan, mencari-cari masalah, dan selalu berubah-ubah moodnya. Dia selalu emosi dan beranggapan bahwa kami masih memandangnya gila. Padahal bukan itu yang kami maksud. Saat suami saya tidak sadar, dia hampir mau mengancam jiwa saya. Lalu bagaimana, ya? Bagaimana agar trauma saya dapat terobati? Dan bagaimana mengubah perilaku yang “masih tersisa” dari kejadian yang lalu? Apakah perlu suami saya ditangani akan dokter kejiwaan? Kalau iya, bagaimana ya? Mohon bantuan dan jawaban akan permasalahan yang saya hadapi. Terimakasih.

 

Jawaban :

Halo Ibu LY yang baik,

Terima kasih sudah bersedia mengunjungi dan mempercayai Pijar Psikologi sebagai tempat untuk bercerita.

Saya salut atas kegigihan, semangat, dan kesabaran yang Ibu tunjukkan dalam mendampingi suami dan melindungi keluarga hingga saat ini. Tidak mudah untuk mampu melakukan hal tersebut di tengah permasalahan berat yang keluarga alami. Namun, melihat dari cerita Ibu sepertinya memang permasalahan itu belum sepenuhnya terselesaikan sehingga ada kekhawatiran dalam diri Ibu akan mengalami hal yang sama ketika permasalahan besar itu muncul. Wajar jika Ibu mengalami trauma karena pernah mengalami kejadian yang tidak menyenangkan pada diri Ibu. Untuk dapat mengatasinya ada beberapa hal yang dapat dilakukan, pertama melalui kesadaran dari diri sendiri untuk perlahan melepaskan keyakinan Ibu akan kemungkinan perlakuan yang tidak menyenangkan dari suami terulang kembali. Coba untuk mengusahakan berpikir positif dengan terus mempertahankan kesabaran Ibu dalam mendampingi suami. Sedangkan cara kedua adalah melalui bantuan ahli yang akan membantu dengan langkah-langkah yang lebih tepat. Namun, untuk permasalahan Ibu saat ini jelas terlihat bahwa trauma yang Ibu alami berasal dari perlakuan tidak menyenangkan suami yang hingga saat ini berada di dekat Ibu dan masih terlihat memiliki ganjalan secara psikologis. Akan lebih baik apabila Ibu mendatangi Psikolog terdekat untuk melakukan konsultasi lebih lanjut. Hal tersebut juga berkaitan dengan kondisi psikologis suami sehingga dapat diketahui dengan pasti apa yang menjadi penyebab dan langkah untuk mengatasi permasalahan tersebut. Apabila suami memang belum berkenan untuk diajak bersama, Ibu bisa melakukan konsultasi sendiri terlebih dahulu kemudian akan diberi rekomendasi yang tepat dengan kondisi Ibu dari Psikolog tersebut. Tentu saja proses akan membutuhkan waktu yang tidak singkat namun dengan kegigihan dan kesabaran dari Ibu serta keluarga maka akan dapat mengatasinya dan kehidupan keluarga Ibu akan lebih baik. Satu hal lagi yang perlu dipelihara terkait dengan komunikasi Ibu dan suami, mungkin akan lebih baik jika ada waktu berbincang dari hati ke hati yang dilakukan secara rutin dan berkualitas. Hal tersebut juga dapat menjadi salah satu cara untuk membantu suami dalam mengeluarkan ganjalan dalam dirinya yang belum terfasilitasi secara tepat selama ini.

Demikian yang dapat saya berikan, semoga dapat memberikan manfaat bagi Ibu. Semoga Ibu dapat terus sabar, semangat, dan gigih dalam mendampingi suami dan keluarga. Semoga keluarga Ibu juga senantiasa diberi ketentraman dan kebahagiaan. Keep fighting and faithful, God bless you! 🙂

Terima kasih telah berbagi.

Salam, Pijar Psikologi.

Jawaban ini ditulis oleh: Krysna Yudy, S. Psi. M. Psi

Pijar Psikologi

Pijar Psikologi adalah media non-profit yang menyediakan informasi kesehatan mental di Indonesia.

Previous
Previous

Apakah Pengajaran Bilingual Tepat untuk Anak Usia Dini?

Next
Next

Curhat: Terapi Untuk Anak dengan Non Verbal Development Delay?