Diagnosa Penyakit Kronis Bukan Penghilang Harapan Hidup!

“Jika saya terus mendefinisikan diri saya berdasarkan apa yang tidak bisa saya lakukan atau apa yang bisa dilakukan orang normal, maka hal itu akan menghancurkan hidup saya.” – Anonim


Fakta bahwa Anda atau orang terdekat Anda didiagnosis dengan penyakit kronis mungkin adalah salah satu fakta terberat yang harus diterima dalam hidup. Dalam prosesnya, menerima kenyataan ini bukan hal yang mudah bagi beberapa orang. Tidak ada lagi hari-hari di mana Anda bebas mengkonsumsi makanan yang Anda inginkan. Tidak ada lagi hari-hari di mana Anda bebas beraktivitas tanpa harus berulangkali mengingatkan diri Anda sendiri bahwa tubuh Anda tidak lagi sekuat dulu. Hari-hari Anda mungkin berganti diisi oleh jadwal kontrol ke dokter, jadwal istirahat, dan jadwal meminum obat. Belum lagi pantangan mengkonsumsi jenis makanan tertentu yang bisa memperburuk kondisi penyakit yang Anda derita.

Hari-hari awal menjalani keseharian yang mengubah rutinitas secara drastis ini bisa mempengaruhi kondisi psikis seseorang. Apalagi jika orang yang bersangkutan masih menolak menerima keadaan tubuhnya. Secara psikologis, menurut Elisabeth Kubler-Ross, seorang psikiater kelahiran Swiss, ada beberapa tahapan yang dilalui seseorang saat sedang menjalani masa-masa sulit seperti ini sampai akhirnya ia bisa menerima kondisinya. Tahapan tersebut terbagi ke dalam lima tahapan sebagai berikut:

1. Penyangkalan
Tahap ini adalah reaksi awal yang muncul saat seseorang didiagnosa mengidap penyakit kronis tertentu. Di masa ini, orang yang didiagnosa masih berpikiran bahwa semua tidak mungkin terjadi. Bahwa ia tidak mungkin memiliki penyakit. Bahwa ia tetaplah seseorang yang sehat. Namun perlu dipahami bahwa reaksi ini adalah reaksi sementara yang normal. Hal ini dilakukan untuk bersembunyi dari rasa sakit yang dirasakan. Ini juga sebagai bentuk rasionalisasi emosi campur aduk yang dirasakan pasca diagnosa.

2. Marah
Setelah menyangkal dan memakai topeng keyakinan bahwa ia tidak mengalami masalah apapun, seseorang kemudian menyadari bahwa ia tetap tidak bisa lari dari kenyataan bahwa ia sakit. Rasa sakit yang dirasakan, obat-obat yang terus wajib dikonsumsi, kunjungan ke dokter yang tetap harus dilakukan, membuat mereka terkungkung oleh penyangkalan yang mereka lakukan. Akhirnya, hal ini berujung pada kemarahan yang meluap. Kemarahan ini sebenarnya ditujukan pada keadaan mereka sendiri. Namun, dalam pengekspresiannya terkadang ditujukan pada orang-orang di sekitar yang peduli kepada mereka, kepada benda-benda mati di sekelilingnya atau bahkan pada dokter yang menangani.

3. Kompromi
Pada tahap ini, seseorang yang didiagnosis penyakit kronis mulai menjembatani ketidakberdayaannya terhadap kondisi yang dialami dengan pemikiran-pemikiran apa yang mungkin terjadi jika mereka bisa mengambil beberapa langkah mundur. Di tahap ini, seseorang mulai berandai-andai, ’apa yang terjadi jika saya mengetahui kondisi saya ini lebih awal…’ atau ‘saya akan memberikan apapun saya yang punya untuk hidup lebih lama…’ dan banyak pemikiran lainnya. Ini adalah reaksi normal manusia untuk membangun dinding dari kenyataan menyakitkan yang dirasakan.

4. Depresi
Di tahap ini, seseorang mulai dalam tahap awal menerima keadaannya. Ia mulai merasa sedih, takut, menyesal, dan merasa berada di ambang ketidakpastian. Orang yang berada di tahap ini biasanya menutup diri dari dunia luar. Ia banyak berpikir, ‘toh hidupku juga tidak akan lama lagi, untuk apa aku….’ atau ‘aku tidak perlu melakukan apapun karena keadaanku juga tidak akan membaik..’
Seseorang mulai merasa ada bagian kosong dalam hidupnya yang dirasa tidak akan sanggup diisi oleh apapun atau siapapun. Perwujudan perasaan ini dilakukan dengan penarikan dirinya dari orang-orang di sekitar. Pada situasi yang lebih parah, seseorang mungkin akan menolak untuk mengkonsumsi obat-obatan yang seharusnya ia konsumsi dan mematuhi aturan-aturan dari dokter.

5. Penerimaan
Sesuai dengan namanya, di tahap ini seseorang mulai menerima kondisinya. Definisi “menerima” tentunya berbeda bagi setiap orang. Ada yang mulai berpikir, ‘Baiklah, tidak apa apa, aku masih bisa berjuang dengan penyakitku…’atau ada yang mulai berpikir, ‘Ya sudah aku siap menerima kapanpun Tuhan menginginkan hidupku…’
Meski sudah sampai ke tahap ini, tidak jarang orang bisa kembali ke tahap-tahap sebelumnya. Hal ini adalah hal yang manusiawi. Sekuat apapun, seseorang tetaplah manusia biasa.

Di saat-saat seperti ini dukungan dari lingkungan sekitar menjadi hal yang vital. Memastikan seseorang tetap memiliki daya juang untuk menjalani hidupnya dengan penuh harapan perlu dilakukan. Dalam hidup, tidak semua yang kita rencanakan akan berjalan seperti yang diharapkan. Terkadang hidup memberi kejutan, dan seringkali kejutan tersebut bukan hal yang menyenangkan. Akan ada hari-hari di mana mungkin seseorang itu merasa baik dan bahkan melupakan kondisi dirinya, namun akan ada pula hari-hari di mana untuk bangkit dari kasur di pagi hari adalah hal yang sulit untuk dilakukan. Namun demikian, hal ini bukan alasan bagi siapapun untuk kehilangan harapan akan hidup. Cobaan dalam hidup tidak akan pernah salah alamat. Ia selalu datang pada orang-orang yang kuat untuk menghadapinya. Tetap berpikiran baik, bahwa hidup selalu penuh dengan kebaikan asal kita cukup berbesar hati untuk memandangnya demikian

“Hidup tidak akan pernah ada tanpa harapan, Harapan tidak akan pernah ada tanpa hidup.” – Anonim


Referensi:
Proses tahapan milik Elisabeth Kubler-Ross dirangkum dari:
1https://psychcentral.com/lib/the-5-stages-of-loss-and-grief/
2http://www.huffingtonpost.co.uk/hafsa-momin/acceptance-of-chronic-illness_b_5806028.html

Sumber foto: foreverhope.org

Koes Ayunda Zikrina Putri

I write and read about psychology but i talk about football (a lot). Sometimes you may hear me on the radio. Enjoying life as Chief Creative Officer Pijar Psikologi.

Previous
Previous

Mereka, Orang-orang dengan Skizofrenia yang Masih Terabaikan di Indonesia

Next
Next

Kepuasan Kerja, Sudahkah Anda Memilikinya?