Kekerasan dalam Rumah Tangga, Mungkinkah Terjadi di Sekitar Kita?

“Family is supposed to be our safe haven. Very often, it’s the place where we find the deepest heartache.”

– Iyanla Vanzant

Kekerasan dalam Rumah Tangga? Ah, itu kan hanya terjadi di televisi atau film-film. Tidak mungkin di dunia nyata benar-benar ada. Apakah Anda termasuk orang-orang yang berpikiran demikian? Bagaimana dengan informasi ini:

Jumlah Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) yang dialami oleh perempuan di Indonesia mencapai angka 8.626 kasus pada tahun 2014.

Masih tidak percaya bahwa KDRT benar-benar terjadi di sekitar kita? Mari kita telaah lebih jauh. KDRT merupakan perbuatan kekerasan yang dilakukan seorang dalam setting keluarga baik secara fisik maupun psikis. Lebih jelasnya, UU No. 23 tahun 2004 mendefinisikan KDRT sebagai perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.

Bahkan, cacian atau makian juga bisa dikategorikan sebagai KDRT.

Lingkup rumah tangga yang dimaksudkan tidak hanya suami dan istri, tetapi juga anak, keluarga dekat yang tinggal satu rumah dan orang yang bekerja membantu di rumah. Satu hal yang perlu diingat bahwa KDRT bisa dialami oleh siapa saja, tanpa mengenal batasan usia, status ekonomi, orientasi seksual, gender, ras, agama, ataupun kewarganegaraan.

Sekarang, coba lihat dari beberapa pernyataan ini, apakah ada poin yang pernah atau sedang Anda rasakan dalam hubungan?

  • Kadang-kadang merasa takut dengan reaksi dari pasangan.

  • Terus-menerus meminta maaf pada orang lain atas perilaku pasangan.

  • Percaya bahwa Anda dapat membantu pasangan berubah hanya jika Anda mengubah diri sendiri.

  • Mencoba untuk tidak memancing emosi pasangan atau menyebabkan konflik dalam hubungan.

  • Merasa bahwa apapun yang Anda lakukan, pasangan Anda tidak pernah bahagia bersama Anda.

  • Selalu melakukan keinginan pasangan dibandingkan melakukan keinginan sendiri.

  • Bertahan dengan pasangan karena merasa takut dengan tindakan pasangan selanjutnya setelah berpisah/putus/bercerai.

Beberapa poin tersebut mungkin pernah Anda rasakan. Dengan demikian, kita harus senantiasa memahami agar tidak terjerumus dalam kasus KDRT. Dalam fenomena KDRT, pelaku biasanya akan mengintimidasi korban menggunakan kekuatan dan kontrol yang dimiliki. Seringkali, anak-anak dijadikan senjata utama untuk menakuti perempuan dalam relasi ini sebagai contoh, mengancam untuk menyakiti anak-anak atau menyalahkan perempuan karena tidak mampu mengasuh anak.

Kebanyakan korban KDRT memilih untuk tetap bertahan

Bagaimana bisa? Mungkin pertanyaan itu timbul dalam pikiran Anda. Nyatanya, masih ada seribu satu alasan bagi korban KDRT untuk tetap bertahan dalam hubungan yang tidak sehat tersebut, seperti:

  • Tidak ingin mengakhiri hubungan meski ingin kekerasan tersebut berhenti.

  • Merasa terisolasi dan depresi.

  • Tidak mengetahui bantuan apa saja yang bisa mereka dapatkan terkait KDRT.

  • Memiliki ketergantungan ekonomi pada pelaku.

  • Merasa cemas, takut, dan malu.

  • Berharap pelaku KDRT akan segera berubah dan menghentikan perilakunya.

  • Memiliki anak dan takut anaknya akan terlantar dan sengsara.

  • Merasa tidak mendapat dukungan dari keluarga, teman, dan kerabat dekat lainnya.

Padahal, ini akibat yang bisa terjadi jika KDRT tidak segera ditangani…..

Ada banyak hal negatif yang akan muncul pada korban KDRT, baik jangka panjang maupun jangka pendek. Sindrom stress pasca trauma (PTSD), kecemasan, harga diri yang rendah, luka fisik, hingga kematian adalah beberapa contoh dampak yang dialami oleh perempuan korban KDRT.

Sementara itu, pada anak-anak, dampak yang dihasilkan dari KDRT jauh lebih mendalam dan bisa menetap. Beberapa anak akan menarik diri dan mengalami kesulitan berkomunikasi dengan orang lain. Beberapa justru menjadi lebih agresif atau menyalahkan diri mereka atas tindakan kekerasan tersebut. Ada pula yang mengalami masalah di sekolah terkait proses belajar ataupun bullying. Penyalahgunaan obat-obatan terlarang juga kemungkinan akan dilakukan mereka.

Apa yang Bisa Dilakukan?

Bisa jadi, saat Anda sedang membaca artikel ini, orang-orang terdekat Anda tengah menjadi korban KDRT. Bisa jadi, justru Anda sendiri baru menyadari bahwa Anda adalah salah satu korban KDRT. Bisa jadi pula, Anda adalah korban KDRT yang sudah lama menyadari namun masih ragu untuk mengambil keputusan.

Lantas, apa yang dapat kita lakukan saat menemukan kasus KDRT? Laporkan! Pada pihak berwenang ataupun pada orang-orang terdekat kita. Karena melarikan diri dan menghindar tidak pernah cukup untuk menghentikan tindak KDRT. Percayalah, melaporkan dan mencari perlindungan justru merupakan bentuk perwujudan cinta kita pada diri sendiri, keluarga, dan pelaku KDRT. Sebab, cinta tidak akan pernah menjadikan kekerasan sebagai solusi untuk masalah yang terjadi, apapun alasannya.


Sumber Data Tulisan

  1. UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga

  2. Informasi lebih lanjut mengenai KDRT: http://www.ncadv.org/need-help/what-is-domestic-violence

  3. http://www.cnnindonesia.com/nasional/20150306185211-20-37339/rumah-tangga-jadi-ranah-utama-kekerasan-terhadap-perempuan/

  4. Efek KDRT untuk korban KDRT dapat dipelajari di situs ini: http://www.refuge.org.uk

By: Nisrina Putri Utami

Featured Image Credit: acehonline.com

Pijar Psikologi

Pijar Psikologi adalah media non-profit yang menyediakan informasi kesehatan mental di Indonesia.

Previous
Previous

Di Balik PMS: Kisah Wanita dan Hormonnya

Next
Next

Membentuk Perilaku Hidup Sehat dengan Health Belief Model