CURHAT: Mengapa Saya Selalu Menangis Saat Mengakhiri Momen Bersama Orang Lain?

Curhat

Saya selalu merasakan perasaan sedih ketika melewati masa transisi dari satu momen ke momen yang lainnya. Ketika momen yang sedang saya lewati akan berakhir saya akan merasa sangat sedih dan ingin menangis. Misalnya, baru-baru ini saya pulang liburan bersama teman-teman. Di akhir liburan ketika akan pulang ataupun setelah saya sampai di rumah entah mengapa saya selalu menangis seperti tidak ingin berpisah. Rasanya seperti belum bisa menerima mengapa momen tersebut harus berakhir secepat itu. Hal itu bisa berlangsung selama beberapa minggu bahkan hitungan bulan. Perasaan itu muncul terutama setelah saya melakukan perjalanan jauh (semacam liburan) bersama keluarga ataupun teman-teman.

Saya tidak mengerti apa yang terjadi pada diri saya. Saya seperti tidak bisa mengontrol apa yang akan terjadi. Kadang saya bisa menangis kapan saja dan dimana saja ketika mengingat momen tersebut.

Gambaran: Laki-laki, 21 tahun, Mahasiswa

Jawaban Pijar Psikologi

Terimakasih atas kepercayaannya untuk berbagi di Pijar Psikologi.

Saya akan coba untuk menjawab berdasar cerita yang sudah kamu sampaikan. Saya pernah mengalami kejadian semacam itu, merasa sedih harus berpisah, sedih karena merasa kehilangan momen kebersamaan yang hangat, gembira, dan bahagia. Kadang pun berandai-andai “Andai saja bisa seperti ini setiap waktu”. Hal semacam ini tidak dialami oleh kamu sendiri kok. Orang-orang yang selalu sibuk berkutat dengan pekerjaannya juga sering merasa sedih saat menjelang akhir liburan, karena harus kembali pada kondisi penuh tekanan pekerjaan. Oleh karena itu, kadang piknik atau liburan justru tidak menambah semangat tapi malah mengurangi semangat. Saya dan teman-teman biasa menyebutnya “susah move-on”.

Sebenarnya, wajar perasaan tersebut muncul. Berada dalan kondisi perasaan yang hangat, di tengah keluarga atau teman, bergembira dan berbahagia, terutama karena membuat kita tidak merasa kesepian dan sendiri memang suatu keadaan yang ingin terus kita rasakan. Apalagi kalau kondisi sehari-hari kita membuat kita merasa tertekan, kadang lupa dengan keluarga, dan membuat kita jarang bisa berkumpul dengan teman dan keluarga.

Namun pada situasimu, hingga kamu menangis dan sulit mengendalikan perasaan tersebut maka perlu dipahami lebih jauh. Hal ini karena antara perasaan sedih dan kesulitan mengendalikan adalah dua hal yang berbeda. Pada orang-orang yang sulit mengendalikan diri atau mengendalikan perasaannya lebih sering dikarenakan “persepsi” atau caranya memandang kondisi saat liburan. Hal ini juga berkaitan dengan nilai-nilai yang dianggap penting dalam hidup. Misalnya, jika makan bersama keluarga adalah wujud dari keharmonisan keluarga, maka bagi orang yang menganggap penting keharmonisan, ketidakhadiran salah satu anggota keluarga atau hilangnya kebiasaan makan bersama dapat sangat mengganggu bahkan hingga menimbulkan masalah.

Kenangan-kenangan yang terbangun selama liburan juga memiliki pengaruh pada kondisi ini. Tentu jika kenangannya buruk atau membuat trauma, orang akan berusaha untuk melupakannya dan bersegera melakukan kesibukkan hariannya. Atau sebaliknya, ada kenangan tidak menyenangkan setelah berpisah dengan keluarga dan teman setelah liburan. Misalnya tidak bisa lagi bertemu dengan orang-orang tersebut, entah karena meninggal atau pindah ke tempat yang jauh, sehingga setiap kali akan berpisah selalu ketakutan akan tidak bertemu lagi. Contoh yang mirip misalnya beberapa kali putus dengan pacar setelah lebaran, maka momen saat menuju lebaran dapat menjadi momen yang sangat mencemaskan karena orang tersebut takut akan putus lagi dengan pacarnya saat ini.

Mengapa hal tersebut terjadi? Karena kita mengikatkan perasaan-perasaan terdalam kita pada momen-momen tersebut.

Lalu apa yang seharusnya dilakukan? Mengevaluasi diri, mengubah cara pandang serta yakin bahwa hari mendatang adalah kondisi yang baik. Mengevaluasi diri, mengapa kita merasa sangat sedih, takut dan pertanyaan-pertanyaan mengenai kemungkinan pemicu yang saya jelaskan sebelumnya. Apabila inti masalah sudah ditemukan, maka fokuslah untuk mengatasi inti masalah tersebut.

Selain itu, kita bisa memulainya dengan mengubah cara pandang. Tentu hal ini tidak serta merta dapat terjadi, dan membutuhkan proses. Misalnya saat liburan atau liburan akan usai, lihatlah bahwa keluarga dalam keadaan bahagia, dan bersyukur bahwa sekeluarga dapat menikmati momen tersebut. Terimalah bahwa perpisahan tersebut terjadi karena kita harus kembali pada rutinitas. Kembali pada rutinitas bukan berarti menghapus semua kenangan tersebut. Selain itu, dengan kenangan tersebut justru mengingatkan kita bahwa dalam keadaan sendiri, kita tidak pernah sendiri, kita punya teman, keluarga yang sangat mendukung kita. Jadikan kenangan indah saat liburan sebagai harapan dan doa, agar teman dan keluarga selalu diberi kesehatan dan kelancaran rezeki, sehingga lain waktu dapat berkumpul kembali. Andai kata setelah liburan kamu berpisah dalam waktu yang sangat lama, ingatlah bahwa kalian sudah membuat momen bahagia bersama, sudah membuat keluarga dan teman bahagia, karena mereka pun juga tidak akan melupakannya. Kamu juga bisa membuat rasa bahagia itu bertahan, misalnya dengan sesekali menelepon keluarga yang sulit ditemui. Sesekali mengajak teman makan bersama atau sesekali membawakan makanan untuk teman-teman.

Momen bahagia dan momen sedih akan selalu datang silih berganti. Namun orang tetap berusaha menciptakan momen-momen bahagia, agar kenangannya dapat menjadi semangat dan dapat disyukuri bahkan dalam keadaan sedih dan duka.

Terima kasih telah berbagi.

Salam,

Pijar Psikologi.

Pijar Psikologi

Pijar Psikologi adalah media non-profit yang menyediakan informasi kesehatan mental di Indonesia.

Previous
Previous

Benarkah Orang dengan Gangguan Mental Berbahaya?

Next
Next

Fakta Mitos Tentang Malas