Ekstremisme Sebagai Pemenuhan Tuntutan Eksistensi

Ekstremisme kerap dipandang sebagai manusia yang memandang dunia secara hitam putih tanpa bisa menerima dan memahami adanya sisi abu-abu dalam sebuah cerita hidup manusia. Pandangan semacam ini kemudian kerap kali dilihat sebagai pandangan sempit yang ‘menolak’ fleksibilitas area abu-abu. Ekstremisme juga kerap dipandang sebagai tindakan manusia yang mencederai relasi antar manusia. Hal ini disebabkan karena begitu dekatnya pilihan menjadi ekstremis dengan praktik-praktik kekerasan, contoh paling dekat adalah pembacokan di salah satu Gereja di Yogyakarta.

Berdasarkan asumsi-asumsi di atas kita dapat menarik ‘kesimpulan’ dini bahwa menjadi seorang ekstremis tidaklah manusiawi. Ekstremisme tidak sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan. Pertanyaan yang dapat diajukan kemudian adalah bagaimana jika ternyata yang terjadi adalah sebaliknya? Bagaimana jika sesungguhnya kelompok ekstremis adalah kelompok yang manusiawi? Melalui tulisan ini saya hendak menyajikan pemikiran Jean Paul Sartre, seorang filsuf Prancis, tentang eksistensialisme sebagai kerangka untuk melihat ekstremisme sebagai fenomena manusia yang berusaha memenuhi tuntutan eksistensi kemanusiaannya.

Eksistensialisme Sartre: Manusia Pusat Dunia

Secara umum eksistensialisme diartikan sebagai suatu aliran dalam ilmu filsafat yang menekankan segala sesuatu terhadap manusia dan segala sesuatu yang mengiringinya. Eksistensialisme memandang bahwa manusia adalah makhluk yang harus selalu aktif dengan sesuatu yang ada di sekelilingnya serta mengkaji cara kerja manusia ketika berada dengan kesadaran.

Eksistensialisme bagi Sartre adalah cara manusia menunjukkan keberadaannya melalui kesadaran dirinya sendiri. Menurut Sartre, kesadaran yang dimiliki manusia menjadikan manusia juga memiliki tanggung jawab total untuk dunianya sendiri. Manusia memaknai dunia dan hidupnya sendiri. Manusia memiliki kebebasan yang penuh atas dirinya sendiri. Manusia adalah sumber segala makna, kebenaran dan nilai sehingga pusat dunia bagi seorang manusia adalah dirinya sendiri.

Keberadaan, kesadaran dan kebebasan diri sebagai pusat dunia menjadi persoalan ketika hal-hal tersebut dihadapkan pada kenyataan adanya manusia-manusia lain selain diri sendiri. Sartre menyatakan bahwa keberadaan orang lain dapat menjadi lawan bagi kesadaran dan kebebasan pribadi. Setiap relasi antar manusia pada dasarnya dapat diasalkan kepada konflik. Konflik adalah inti setiap relasi intersubjektif. Setiap kesadaran mau mempertahankan subjektivitasnya sendiri, mau menjadi pusat suatu “dunia”. Agar kesadaran “saya” tetap menjadi pusat dunia, maka “saya” harus memasukkan kesadaran orang lain ke dalam kesadaran “saya” sendiri, atau dengan kata lain menjadikan kesadaran orang lain menjadi objek bagi kesadarannya sendiri.

Namun, hal yang sama dapat berlaku sebaliknya. Kesadaran yang lain akan berusaha memasukkan kesadaran “saya” ke dalam kesadaran mereka. Pada titik inilah perjumpaan antara kesadaran-kesadaran menjadi suatu dialektika subjek-objek di mana yang satu berusaha mengalahkan yang lain agar menjadi objek bagi dia.

Persoalan dialektika subjek-objek tersebut dapat dipahami secara sederhana melalui contoh yang diberikan Sartre dalam bukunya L’etre et Le neant sebagai berikut:

Andai kata saja situasi berikut ini: saya sedang mengintip pada lubang kunci. Dengan demikian, saya adalah subyek. Saya adalah penonton yang seluruhnya terarah kepada tontonan di belakang pintu itu. Itulah “duniaku” dan saya adalah pusatnya. Tiba-tiba saya mendengar langkah-langkah di punggungku: ada orang yang melihat saya. Sorotan mata yang merupakan oknum yang sedang membungkuk di depan pintu. Saya termasuk “dunia orang itu” sebagai obyek dengan sifat-sifat tertentu (ingin tahu, kurang sopan, dan seterusnya).

Dengan demikian, dapat dipahami bahwa untuk mempertahankan eksistensinya manusia dituntut untuk menjadikan eksistensi orang lain sebagai objek dari kesadaran dirinya. Manusia memiliki kebutuhan dan keharusan untuk “meniadakan” subjek-subjek lain dalam kesadarannya dan mengubahnya menjadi objek bagi dirinya. Hal ini penting dilakukan agar manusia bisa menjadi bebas dan tidak cemas terhadap adanya orang lain yang mengawasi dari belakang.

Ekstremisme sebagai Fenomena Manusia Pada Umumnya

Dengan menggunakan kerangka pikir Sartre, saya hendak melihat ekstremisme sebagai fenomena manusia yang berusaha memenuhi tuntutan dalam mempertahankan eksistensinya. Dalam bentuknya yang paling dalam, apa yang dilakukan oleh kelompok ekstremis sesungguhnya tidak berbeda dengan apa yang dilakukan oleh orang-orang pada umumnya yang tidak memilih ekstremisme sebagai cara hidupnya. Baik kelompok ekstremis maupun kelompok-kelompok manusia lain termasuk dalam bagian fenomena manusia ketika seseorang berusaha untuk memasukkan orang lain sebagai objek kesadarannya dan mencegah kesadaran pribadinya menjadi objek bagi orang lain. Kunci untuk memenuhi tuntutan tersebut dengan cara menolak dan meniadakan subjek-subjek lain dalam kesadaran pribadi.

Kaum ekstremis berusaha untuk menjadikan orang lain sebagai objek kesadarannya dengan cara menolak segala nilai yang bertentangan dengan dirinya, memaksakan kepercayaannya pada orang lain, hingga menggunakan kekerasan untuk ‘membasmi’ kelompok-kelompok lain yang dianggap mengancam keberadaan dirinya sendiri. Di sisi lain, kita juga menjadikan kelompok ekstremis sebagai objek kesadaran kita dengan cara menolak segala idealismenya, melawan dan memberantas keberadaan kelompok-kelompok ekstremis.

Pada titik ini saya merasa bahwa kemudian perbedaan antara kelompok ekstremis dengan kelompok-kelompok manusia lain hanya sebatas pada bungkus yang digunakan dalam pemenuhan tuntutan eksistensi tersebut. Ekstremisme dalam hakikatnya yang terdalam tidak memiliki perbedaan dengan pengalaman manusia lain yang sama-sama berusaha mempertahankan eksistensi dan kesadarannya sebagai pusat dunia.

Hal yang perlu dipahami lebih lanjut adalah “penghakiman” terhadap perilaku kaum ekstremis seharusnya dilakukan dengan pertimbangan nilai yang melampaui subjektivitas masing-masing manusia. Pemberian nilai terhadap kelompok ekstremis sebaiknya tidak dilandaskan pada alasan ketidaksukaan terhadap ideologinya atau karena adanya kecocokan pandangan dengan kelompok tersebut. Penilaian sebaiknya pertama-tama diberikan dengan menggunakan dasar nilai yang lebih universal, seperti apakah tindakan yang dilakukan oleh seorang ekstremis itu mencederai kemanusiaan atau tidak.

 

Referensi:

Bagus, Lorens. 1996. Kamus Filsafat. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta

Bertens, K. 1985. Filsafat Barat Abad XX Jilid II: Prancis. PT Gramedia. Jakarta

Mudofir, Ali. 2005. Kamus Filsuf Barat. Pustaka Pelajar. Jakarta

Munir, Misnal. 2008. Aliran-aliran Utama Filsafat Barat Kontemporer. Lima. Yogyakarta

Tjahjadi, Dr. SP. Lili. 2011. Ateisme Sartre: Menolak Tuhan, Mengiyakan Manusia. Filsafat Eksistensialisme Jean-Paul Sartre. Kanisius. Yogyakarta

Hugo Hardianto

Mahasiswa Filsafat UGM. Sedang mendalami seni kopi di kafe Gen Ngopi

Previous
Previous

CURHAT: Saya Merasa Rendah Diri dan Tidak Ada yang Menyayangi

Next
Next

Direktori Psikologi: Obsessive Compulsive Disorder