Media Sosial, Ajang “Pamer” Diri dan Membandingkan Diri

unsplash-image-FWVMhUa_wbY.jpg

“Perbandingan sosial merupakan pencuri kebahagiaan. Kamu dapat menghabiskan sepanjang waktu untuk mengkhawatirkan apa yang orang lain miliki, tetapi kamu tidak akan mendapat apapun.”-Anonim


“Kenapa sih dia bisa seperti itu, aku tidak?”

“Kenapa sih dia bisa mendapat apa yang dia inginkan, sementara aku tidak?

“Kenapa sih dia bisa jalan-jalan gratis, sementara aku tidak?”

Walaupun hanya sepintas, segelintir pertanyaan itu mungkin pernah Anda pikirkan ketika melihat foto atau status teman di media sosial. Mungkin juga Anda pernah bahkan mungkin sering merasa iri ketika melihat foto atau membaca status tersebut. Saat ini, mengakses internet memang semakin mudah, ditambah lagi media sosial yang ditawarkan pun semakin beragam fiturnya. Seakan memanjakan para pengguna untuk memilih media sosial yang pas ‘sesuai kebutuhannya’. Namun, masing-masing pengguna pasti memiliki kebutuhan yang berbeda dalam bermedia sosial. Ada yang menjadikannya tempat berbagi kebaikan, berbagi keluh kesah, menyalurkan bakat, bahkan ada yang tanpa sadar menjadikan media sosial sebagai ‘ajang pamer’. Walau mungkin pada awalnya pengguna tersebut hanya iseng dalam membuat akun media sosial.

Seperti dua mata koin yang berbeda, media sosial pun memiliki dua sisi yang berbeda, baik maupun buruk. Di satu sisi membantu membangun jaringan dan memperluas interaksi sosial. Sementara, di sisi lain memiliki risiko yang berdampak pada aspek kehidupan manusia. Bagi sebagian pengguna media sosial, foto yang diunggah atau status yang ditulis oleh orang lain yang terkesan pamer akan membuatnya iri. Dampak selanjutnya akan membuatnya membandingkan diri dengan orang yang mengunggah foto tersebut. Dalam psikologi, hal ini disebut sebagai social comparison.

Social comparison atau perbandingan sosial merupakan kecenderungan dasar manusiauntuk merasakan hal baik atau buruk dalam dirinya berdasarkan bagaimana orang tersebut membandingkan diri dengan orang lain. Orang yang melakukan social comparison cenderung membandingkan aspek tertentu pada dirinya dengan orang lain. Seperti di Instagram, ketika ada seseorang yang melihat foto orang lain yang meraih suatu pencapaian tertentu, orang tersebut merasa iri. Lalu membandingkan dirinya dengan orang lain tersebut.

Menurut Festinger, seorang ahli psikologi sosial mengungkapkan bahwa membandingkan diri dengan orang lain merupakan sesuatu yang wajar. Sebab setiap orang memiliki dorongan untuk melakukan social comparison tersebut. Lebih lanjut Festinger menuturkan bahwa ada social comparison dapat diklasifikasikan ke dalam tiga grup sesuai dengan tujuannya. Pertama, horizontal, yaitu membandingkan diri dengan orang yang “sejajar”. Tujuannya untuk mengumpulkan informasi tentang dirinya sendiri. Kedua, downward social comparison, yaitu membandingkan diri dengan orang yang “di bawah” kita, tujuannya untuk meningkatkan harga diri kita. Ketiga, upward social comparison, yaitu membandingkan diri dengan orang-orang yang dianggap lebih baik dari orang lain sehingga dapat membuat orang-orang tersebut termotivasi.

Dari paparan Festinger tersebut disimpulkan bahwa social comparison tidak selalu buruk. Terlebih di era seperti ini, kita tidak dapat mengelakkan keberadaan media sosial yang terkadang membuat kita iri dan membandingkan diri dengan orang lain. Adanya social comparison tersebut juga dapat menjadi bahan evaluasi terhadap dirinya sendiri. Evaluasi untuk menjadi lebih baik, untuk mencapai sesuatu hal yang lebih dari orang yang “diirikan” tersebut. Namun, tanpa adanya usaha yang lebih pun percuma. Orang tersebut hanya akan terus membandingkan dirinya dengan orang lain, hanya akan terus merasa iri dengan orang lain. Untuk itu, kita boleh iri dengan apa yang telah didapatkan atau dicapai oleh orang lain. Pun kita boleh membandingkan diri dengan pencapaian orang lain tersebut. Namun, lagi-lagi hal itu harus diimbangi dengan usaha dari kita untuk seperti orang lain, bahkan lebih dari pencapaian orang lain itu.


Referensi:
1 Panger, Galen. 2014. Social Comparison in Social Media: A Look at Facebook and Twitter. One of a CHInd
2 Mahardini, Gianisha. 2014. Gambaran Social Comparison dan Motives of Self-Evaluation pada Pelaku Selfie
3 Uhlir, Janet L. 2015. Social Comparison and Self-Presentation on Social Media as Predictors of Depressive Symptoms. Scripps Senior Theses Paper 756.

Sumber Gambar: http://www.bonvitastyle.com/wp-content/uploads/2015/10/comparing.jpg

Apriastiana Dian Fikroti

Introvert, penyuka warna biru, ailuropbilia, penikmat kata dan kopi.

Previous
Previous

Kejeniusan Milik Siapa Saja

Next
Next

Berteman dengan Sosial Media secara Bijaksana