Memahami Dilema Ibu yang Kehilangan Hak Asuh

unsplash-image-UH-xs-FizTk.jpg

Kehilangan hak asuh bagi seorang ibu terasa seperti bencana. Meskipun begitu, kehilangan hak asuh masih menjadi mimpi buruk yang bisa terjadi. Perceraian maupun alasan kesehatan menjadi beberapa penyebab ibu memiliki kemungkinan untuk terpisah dengan anak. Artikel ini ditulis untuk memahami kami, para ibu yang kehilangan hak asuh atas anaknya. Untuk memahami dilema dan kesulitan yang kami hadapi setelah terpisah dengan buah hati.

Perasaan Ibu yang Terpisah dengan Anaknya

Hidup terpisah dengan anak itu tidak mudah. Kami yang mengandung dan melahirkan mereka, tapi keadaan mengharuskan kami untuk terpisah dengan anak. Beberapa ibu tidak mampu menahan beratnya kehampaan yang hadir setelah terpisah dengan anak hingga akhirnya mengalami depresi. Beberapa ibu lainnya berpikir untuk mengakhiri hidupnya karena kehilangan semangat hidup.

Menangis setiap hari bukan aktivitas asing. Meskipun begitu, kami tidak pernah terbiasa dengan kekosongan yang hadir. Rasa rindu datang setiap hari dan situasi ini terasa seperti hukuman. Pertanyaan-pertanyaan muncul. Apa yang salah di dalam diri kami? Mengapa orang lain tidak bisa mempercayakan kami untuk mengasuh anak kami sendiri?

Kami mulai mempertanyakan kepantasan kami menjadi seorang ibu dan menyalahkan diri sendiri.

Komentar negatif dari orang sekitar ikut menjadi makanan sehari-hari. Ibu dianggap menelantarkan anak atau kurang gigih memperjuangkan hak asuh. Beberapa ibu dijauhi teman-temannya bahkan keluarganya sendiri. Komentar negatif tersebut menjatuhkan harga diri dan membuat kami merasa semakin tidak berdaya.

Ibu yang Secara “Sukarela” Memberikan Hak Asuh

Beberapa dari kami memang sengaja mengikhlaskan hak asuh anak secara “sukarela”. Tentunya bukan tanpa alasan. Kehilangan sumber penghasilan setelah bercerai adalah alasan pertama. Kami harus berjuang untuk memenuhi kebutuhan hidup dan terkadang pekerjaan kami hanya bisa memenuhi kebutuhan pokok kami saja. Kami akhirnya harus merelakan hak asuh anak kepada ayahnya. Kami percaya anak akan mendapatkan kehidupan yang lebih baik jika tinggal dengan ayahnya yang memiliki kondisi finansial lebih stabil.

Memiliki pekerjaan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan ibu dan anak tidak membuat kami bisa sepenuhnya mengasuh mereka. Beberapa pekerjaan mengharuskan kami untuk sering bepergian keluar kota, dan pekerjaan itu adalah satu-satunya mata pencaharian kami. Akan tetapi tidak ada kerabat yang bisa mengasuh anak selama kami tinggal bertugas.

Keputusan untuk merelakan hak asuh bukan karena kami tidak mencintai anak. Justru rasa cinta yang sangat besar yang mendasari keputusan tersebut. Kami tahu anak membutuhkan tempat dan sumber daya terbaik untuk dapat tumbuh dan berkembang. Sementara kami tidak bisa memberikan kebutuhan tersebut kepada mereka. Dan kami percaya mengikhlaskan hak asuh adalah langkah terbaik.

Ibu yang Terpaksa Kehilangan Hak Asuh

Sebagian ibu lainnya terpaksa kehilangan hak asuh anak di luar keinginannya. Hukum di Indonesia biasanya menjatuhkan hak asuh anak di bawah 12 tahun kepada ibu. Namun beberapa alasan seperti penghasilan yang lebih baik atau ayah yang memiliki tempat tinggal tetap dapat membuat hak asuh jatuh kepada ayah. Beberapa ayah bahkan tega mengintimidasi kami sehingga kami terpaksa merelakan hak asuh karena terintimidasi.

Anak kadang ikut menjadi sasaran intimidasi agar memilih untuk tinggal dengan ayahnya.

Beberapa ayah juga tega melontarkan fitnah agar kami kalah dalam persidangan. Ada yang bilang kami terlalu sibuk bekerja atau sering melakukan kekerasan pada anak. Tidak semua tuduhan itu benar. Sebagian dari kami mungkin pernah melakukan kesalahan itu di masa lalu, namun sebagian lainnya hanyalah korban fitnah. Dan kami tetap menanggung akibat dari fitnah tersebut.

Beberapa ibu kehilangan hak asuh karena memiliki Serious Mental Illness (SMI)Serious Mental Illness (SMI) adalah gangguan mental yang dapat membuat seseorang mengalami penurunan atau kehilangan kemampuan untuk melakukan aktivitas harian. Kami yang memiliki SMI dapat kambuh kapan saja. Hal tersebut membuat kami memiliki kemungkinan besar untuk kehilangan hak asuh, bahkan ketika kami tidak berpisah dengan pasangan.

Ketika ibu dengan SMI kambuh, maka ia akan kehilangan kemampuan untuk mengasuh anaknya dengan baik. Hal tersebut membuat anak rentan mengalami gangguan perkembangan dan kepribadian jika diasuh oleh ibu dengan SMI. Pada titik tertentu, suami atau anggota keluarga lain akhirnya memutuskan untuk mengalihkan pengasuhan anak untuk kebaikan mereka.

Baca selengkapnya mengenai ibu dengan SMI di sini. Dan baca juga mengenai tips terkait hak asuh untuk ibu dengan SMI di sini.

Komunikasi dengan Anak Setelah Terpisah

Ketika ibu terpisah dengan anak, hubungan mereka ikut berubah. Akses komunikasi terbatas sehingga hubungan kami dengan anak menjadi renggang. Ibu terkadang merasa menjadi “orang asing” yang buta tentang perkembangan anak. Penerapan disiplin sebagai tugas orang tua juga sulit dilakukan. Kami ingin menciptakan waktu kunjungan yang menyenangkan, namun anak perlu didisiplinkan. Kami kesulitan melakukan itu karena takut anak tidak mau bertemu dengan kami lagi.

Ada juga pihak pemegang hak asuh yang menghalangi komunikasi kami dengan anak. Interaksi kami dengan anak diawasi, bahkan ada juga yang menjelek-jelekkan kami di depan anak. Perkataan mereka berpengaruh pada hubungan kami dengan anak. Beberapa anak sampai menolak untuk bertemu atau berbicara dengan kami karena merasa tidak percaya.

Terpisah dengan anak tidak membuat kami menyerah untuk menjadi ibu yang baik. Kami berusaha untuk selalu ada. Komunikasi setiap hari, berbincang dengan guru, dan menghabiskan waktu bersama anak selalu kami usahakan. Kami selalu berusaha memenuhi asuransi kesehatan anak dan mengantar mereka ke dokter jika sakit. Ketika bertemu dengan anak, ungkapan rasa cinta dan kebanggaan selalu kami sampaikan. Pelukan dan ciuman selalu kami berikan agar mereka tahu sebesar apa kerinduan kami.

Kesempatan untuk Mengembangkan Diri

Menjadi ibu yang kehilangan hak asuh itu berat, namun tidak akan membuat kami menyerah. Segala usaha untuk tetap kuat menghadapi semua tantangan kami lakukan. Ketika tidak bersama anak, kami selalu berusaha untuk mengembangkan diri. Memperdalam hobi, travelling atau fokus mengembangkan karir adalah beberapa cara yang kami lakukan untuk tetap kuat.

Teruntuk para ibu yang sedang berjuang menghadapi kekosongan karena terpisah dengan anak, Anda tidak sendiri. Perjuangan ini memang berat. Tapi hikmahnya kita punya lebih banyak waktu untuk berkembang, satu hal yang mungkin sulit dilakukan saat masih tinggal bersama anak. Anda dan anak terikat darah dan daging. Selama kita bisa menjaga hubungan baik dengan anak, berpisah rumah tidak akan menjadikan kita orang asing.

Ayu Yustitia

Psychology graduate. When she’s not busy writing about how to understand mind and soul, she reviews makeup and skincare at senandikaayu.wordpress.com

Previous
Previous

20 Tips tentang Hak Asuh untuk Ibu dengan Gangguan Mental

Next
Next

Ibu dengan Gangguan Mental: Antara Stigma dan Harapan