Membongkar Makna Bunuh Diri Dalam Terorisme

unsplash-image-7tm1-YjrKmQ.jpg

Pada tanggal 13 Mei 2018, masyarakat Indonesia dikejutkan dengan rentetan serangan teroris yang terjadi di Surabaya. Sebanyak lima bom meledak dalam kurun waktu kurang dari dua hari. Selain itu, di Riau juga terjadi penyerangan terhadap Mapolda Riau yang dilakukan oleh empat orang teroris. Peristiwa itu meninggalkan banyak luka dan problematik yang cukup mendalam. Banyak orang bersedih, marah dan mengutuk perbuatan tersebut. Kemudian muncul berbagai macam kajian, opini, pendapat, seruan, dan ajakan untuk memerangi terorisme dan perilaku-perilaku teror yang serupa.

Satu hal yang menarik untuk dibongkar dan dipahami adalah adanya kematian dalam tindakan terorisme. Kematian d alam aksi terorisme tidak hanya dialami oleh para korban, melainkan juga merenggut nyawa teroris itu sendiri. Para teroris secara sadar memilih terlibat dalam skenario teror melalui serangan bunuh diri. Bunuh diri yang dilakukan oleh para teroris ini berbeda dengan peristiwa bunuh diri pada umumnya. Seorang teroris melakukan bunuh diri bukan sebagai puncak kelelahan diri dalam menghadapi keabsurdan dunia, melainkan sebagai bentuk kemenangan dalam penegakan nilai-nilai dirinya sendiri. Tulisan ini bertujuan untuk membongkar makna bunuh diri yang dilakukan oleh seorang teroris.

The Origin

Untuk membongkar lebih dalam makna bunuh diri yang dilakukan oleh seorang teroris, pendefinisian tentang terorisme sangat penting dilakukan. Pendefinisian ini akan menjadi dasar pemahaman terhadap apa arti terorisme dan menjadi pembuka dalam pembongkaran makna bunuh diri dalam terorisme. Akan tetapi, dalam koridor akademis pendefinisian terhadap istilah terorisme mengalami kendala yang disebabkan oleh kompleksitas dimensi dari terorisme itu sendiri. Ada begitu banyak faktor yang memengaruhi definisi terorisme seperti, jenis kelompok yang menggunakan kekerasan untuk menanamkan teror, justifikasi yang disematkan sebagai tujuan terjadinya teror, serta berbagai macam kepentingan dari berbagai kelompok yang berusaha mendefinisikan terorisme. Faktanya, ada sekitar 100 lebih definisi tentang terorisme yang dipahami saat ini.

Secara etimologis, terorisme berasal dari bahasa Latin terrere yang berarti ‘menakuti’. Dalam sentuhan modernitas terorisme dimaknai sebagai sebuah pengejawantahan nilai yang muncul dari konsekuensi demokrasi. Dunia akademis kemudian secara konsesus mendefinisikan terorisme sebagai proses penyebaran kecemasan menggunakan metode kekerasan yang berulang, yang dilakukan oleh individu, kelompok, atau negara tertentu. Korban langsung akibat tindakan terorisme bukanlah sasaran sesungguhnya. Sasaran sejati dari tindakan terorisme adalah orang-orang yang tidak menjadi korban, namun melihat akibat dari serangan teroris itu sendiri. Ketakutan dan kecemasan itu menyebar dalam diri para ‘penonton’ yang dimanipulasi oleh terorisme.

Serangan bunuh diri sebagai bagian tindakan terorisme sendiri baru mulai dijadikan modus utama terorisme pada awal 2000. Sejarah mencatat ada sekitar 315 kasus serangan bunuh diri sepanjang tahun 1980 hingga 2003. Angka tersebut tentu tidak bisa begitu saja dianggap sedikit. Akan tetapi, kasus serangan bunuh diri sepanjang tahun 1980-2003 itu benar-benar sedikit bila dibandingkan dengan jumlah serangan bunuh diri pada tahun 2004 hingga 2005. Berdasarkan data tentang serangan bunuh diri teroris yang dicatat oleh Universitas Flinders tahun 2007, ada sekitar 489 kasus serangan bunuh diri di seluruh dunia yang terjadi dalam periode tahun 2004 hingga tahun 2005.

Meskipun tergolong baru, serangan bunuh diri sesungguhnya adalah sebuah metode yang sangat kuno. Serangan bunuh diri yang pertama tercatat digunakan oleh sekte Yahudi dari Zelot pada masa pendudukan Romawi di Yudea. Serangan bunuh diri juga digunakan di Timur Tengah pada masa perang salib. Selain itu, pada abad 19 kelompok anarkis dan nasionalis Rusia juga menggunakan metode serangan bunuh diri untuk menakut-nakuti musuh mereka. Serangan bunuh diri paling fenomenal adalah ketika Jepang menghancurkan pangkalan militer Amerika Serikat di Pearl Harbour pada masa akhir Perang Dunia II. Setelah itu, serangan bunuh diri lebih sering dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok teroris untuk menyebarkan teror. Serangan bunuh diri lebih sering dikemas secara modern dengan menggunakan instrumen bom.

Drama dan Kesakralan Kematian Dalam Teror

Erving Goffman, seorang tokoh Sosiologi abad 20, mencetuskan sebuah teori dramaturgi yang berbicara tentang interaksi sosial manusia. Teori Dramaturgi menggunakan koridor pertunjukan teater untuk menjelaskan interaksi sosial; manusia dianggap sebagai aktor yang berusaha untuk mengembangkan karakter personal dan tujuan pertunjukkan kepada orang lain melalui pertunjukkan dramanya sendiri. Dalam pertunjukan tersebut seorang aktor akan mengembangkan perilaku-perilaku tertentu yang menunjang pencapaian tujuan. Seorang aktor juga membutuhkan atribut-atribut lain seperti kostum, setting, dialog, dan tindakan non verbal lain yang dapat meninggalkan kesan mendalam terhadap penonton. Goffman berusaha untuk memperdalam konsep interaksi sosial dari sebuah gerak sosial interindividu kemudian masuk lebih dalam menelisik dinamika individual dalam peristiwa sosial yang terjadi di masyarakat kontemporer. Melalui teori tersebut, Goffman hendak menyatakan bahwa sesungguhnya setiap manusia adalah aktor yang memiliki peran dan ingin mengembangkan peran tersebut serta meninggalkan kesan atas perannya dalam benak penonton drama atau orang-orang lain di sekitarnya.

Dengan menggunakan kerangka dramaturgi Goffman, serangan bunuh diri yang dilakukan oleh seorang teroris dapat dipetakan sebagai sebuah pertunjukan drama dari kehidupan teroris itu sendiri. Terlepas dari sekian banyak kemungkinan motivasi yang mendorong tindakan terornya, seorang teroris adalah aktor yang berusaha mengembangkan perannya dan berusaha untuk meninggalkan kesan mendalam pada para penonton dramanya. Serangan bunuh diri dengan meledakkan bom hanyalah sebuah instrumen yang mendukung peran teroris tersebut. Pada titik ini kemudian tampilan fisik, agama, seruan-seruan hanyalah atribut pendukung yang menunjang penampilan dan peran teroris itu sendiri.

Akan tetapi, kematian tetaplah kematian. Bunuh diri sebagai salah satu babak dalam drama terorisme tetap sejatinya adalah kematian yang secara umum ditakuti oleh manusia. Kematian adalah keberakhiran dari kemanusiaan itu sendiri. Pertanyaan yang muncul kemudian, bagaimana para teroris tersebut dengan berani memilih untuk melakukan serangan bunuh diri?

Seorang manusia mampu berani menghadapi kematian ketika ia tidak pernah memikirkannya. Lebih dalam seseorang mampu mencintai kematian ketika kematian itu diubah menjadi sebuah nilai. Pengubahan kematian menjadi sebuah nilai inilah yang digunakan oleh para teroris dalam melakukan serangan bunuh diri. Kematian mendapatkan sentuhan aksiologis dan memperoleh maknanya yang sakral dan memesona.

Dalam pembahasan tentang peristiwa teror 9/11 yang menghancurkan gedung WTC, Gunawan Mohamad mengutip dokumen tentang persiapan aksi tersebut:

Pada malam menjelang 11 September itu, demikian disebut (dalam dokumen berbahasa Arab), kau harus bersumpah untuk mati. Cukurlah rambut yang berlebihan. Gunakan minyak pewangi tubuh. Mandi. Baca dua surah dalam Quran (dan “ingat semua hal yang dijanjikan Allah untuk para syuhada”). Salat. Murnikan sukmamu dari semua hal yang najis. Lepaskan seluruhnya yang disebut “dunia ini”. Asahlah pisaumu. Jika membunuh, jangan sampai si korban kesakitan. Menjelang naik pesawat, eratkan tali sepatumu. Kau harus tenang secara penuh, sebab “saat antara kamu dan perkawinan kamu (di surga) sangat pendek. Setelah itu, akan mulai hidup yang berbahagia…

Kematian (yang dalam hal ini bunuh diri yang dilakukan oleh teroris) mendapat kualitas mistik yang sakral. Kematian kemudian kehilangan citra dirinya yang menakutkan dan berubah menjadi sebuah sarana pencapaian tujuan yang suci. Bila ditelisik dalam dimensi bawah sadarnya, unsur purba thanatos yang berasal dari nafsu penghancuran diri muncul dalam aura spiritual sebuah ibadah. Kematian tidak lagi menggentarkan melainkan memesona. Hal ini pula memampukan seorang teroris untuk menegaskan diri di hadapan kematian. Serangan bunuh diri menjadi puncak pengalaman spiritual yang ditampakan oleh kualitas mistik thanatos.

Pada titik ini kita dapat memahami bahwa bunuh diri yang dilakukan oleh seorang teroris tidak lagi menjadi ekspresi kelelahan dan kekalahan dalam menjalani absurditas dunia. Kematian adalah puncak spiritual dari sebuah kisah drama yang digunakan untuk menyebarkan ketakutan. Mayat-mayat, baik mayat korban ledakan maupun mayat teroris itu sendiri hanyalah figur dalam sebuah cerita drama tentang kematian dan teror. Teater terorisme itu ditampilkan dan dikemas secara apik untuk meninggalkan kesan mendalam tentang ketakutan dan kecemasan dalam diri massa yang menjadi penonton. Serangan bunuh diri dan kematian menjadi penutup sebuah babak aksi teror sekaligus pembuka babak kelam tentang ketakutan dan kecemasan massa.

 

Sumber

Hardiman, B. F. (2005). Memahami negativitas diskursus tentang massa, teror, trauma. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Hassan, R. (2008). Global rise of terrorism: an overview. Asian Journal of Social Science, 36(2), pp. 271-291.

Mannik, E. (2009). Terrorism: its past, present and future prospects. Journal KVUOA Toimetised, 12, pp. 151-171.

Suneki, S. dan Haryono. (2012). Paradigma teori dramaturgi terhadap kehidupan sosial. Jurnal Ilmiah CIVIS, II(2).

Hugo Hardianto

Mahasiswa Filsafat UGM. Sedang mendalami seni kopi di kafe Gen Ngopi

Previous
Previous

CURHAT: Saya Tidak Berani Memiliki Keinginan untuk Menikah

Next
Next

Mengapa Kami Membenci Orangtua Kami Sendiri