Mencoba Belanja dengan Lebih Bijak

unsplash-image-_3Q3tsJ01nc.jpg

Tak jarang kita tergoda untuk tiba-tiba membeli atau belanja barang secara online. Hasrat untuk membeli seringkali lebih kuat, sehingga kita berakhir dengan membeli barang yang tidak kita butuhkan. Bagaimana hal tersebut bisa terjadi? Apa yang bisa memengaruhi seseorang untuk berbelanja impulsif secara online?

Didukung oleh e-Commerce & Online Shopping

Pembelian impulsif adalah perilaku pembelian secara tiba-tiba tanpa pertimbangan bijaksana dengan menjunjung prinsip hedonis. Seringkali pembelian impulsif juga berujung pada penyesalan karena barang yang dibeli tidak sesuai ekspektasi atau bisa jadi tidak terpakai. Di era teknologi saat ini, pembelian impulsif didukung oleh adanya e-commerce dan online shopping di berbagai sosial media. Survei yang dilakukan Snapcart menyebutkan bahwa orang dengan usia 15-34 tahun mendominasi 80% penggunaan e-commerce di Indonesia, dimana mayoritas dari mereka adalah wanita. Sementara itu, studi yang dilakukan CupoNation memprediksi bahwa di tahun 2018 jumlah konsumen belanja online mencapai 11,9% dari total populasi di Indonesia.

Bisa Berujung pada Kecanduan Belanja

Konsumen cenderung akan merasa gembira, senang, dan juga puas setelah berbelanja. Dengan berprinsip pada kesenangan, tindakan pembelian impulsif secara online seringkali tidak mempertimbangkan berbagai konsekuensi negatif yang akan terjadi. Jika dilakukan secara terus menerus, tentunya kegiatan belanja online akan diasosiasikan sebagai sarana melepaskan stress atau kecemasan. Kenyamanan yang didapatkan setelah berbelanja akan menyebabkan individu cenderung mengulangi perilaku sehingga dapat berujung pada kecanduan belanja. Selain itu, kurangnya kontrol dalam mengatur pengeluaran belanja akan menyebabkan masalah keuangan di kemudian hari.

Kepribadian dan Pembelian Impulsif

Ternyata, faktor eksternal seperti daya tarik produk, iklan, dan presentasi menarik yang ditampilkan di sosial media atau website e-commerce menjadi faktor utama yang memengaruhi pembelian impulsif. Hampir tidak adanya tekanan sosial saat belanja online dan kemudahan pengiriman barang juga memengaruhi konsumen untuk membeli lebih impulsif. Selain itu, faktor internal seperti kepribadian juga berperan penting. Model kepribadian yang diwakili oleh trait kepribadian big-five mengacu pada lima jenis trait, yaitu extraversion, agreeableness, conscientiousness, neuroticism dan openness to experience. Meskipun individu biasanya memiliki lima trait ini, namun mereka dapat memiliki skor yang lebih tinggi di satu trait dan lebih rendah di trait lain.

Menurut Costa & McCraeneuroticism merupakan kecenderungan untuk mengalami keadaan emosional yang negatif, misalnya kesedihan dan kecemasan. Extraversion adalah dimensi yang mendasari sifat-sifat sosial, seperti sosiabilitas, menyukai aktivitas bersama teman-teman juga kecenderungan untuk memiliki rasa optimisme dan kepercayaan diri yang tinggi. Orang yang memiliki skor tinggi pada trait openness to experience merupakan orang yang kreatif, memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, imajinatif dan nyentrik. Mereka suka menggali pengalaman dan ide baru. Di lain sisi, orang yang memiliki trait openness yang rendah merupakan individu yang cenderung konvensional dan kurang analitis dalam mengambil tindakan. Selanjutnya, conscientiousness merupakan dimensi yang terkait dengan orang-orang yang cenderung teliti, teratur, dan rajin. Terakhir, adalah trait agreeableness yang merupakan dimensi yang bersangkutan dengan motivasi untuk mempertahankan hubungan positif dengan orang lain.

Beberapa studi menyebutkan bahwa orang dengan trait extraversion yang dominan cenderung melakukan pembelian impulsif. Mereka menggunakan produk atau barang sebagai simbol atau sarana untuk mengekspresikan diri atau identitas kelompok mereka. Misalnya, individu yang membeli baju-baju model terbaru untuk menunjukkan identitas diri mereka sebagai anak gaul atau sosialita. Tidak hanya disitu, ternyata skor neuroticism yang tinggi juga memiliki hubungan yang kuat dengan pembelian impulsif, yang berarti bahwa individu yang mengalami kesedihan, kecemasan, moody, dan sensitif, cenderung untuk melakukan perilaku belanja impulsif. Hal ini masuk akal karena seringkali belanja online terkait sebagai sarana untuk melupakan berbagai permasalahan hidup yang dihadapi.

Masih Bisa Diubah

Kepribadian merupakan sesuatu yang sulit diubah, namun trait kepribadian big-five bersifat fluktuatif. Trait seperti agreeableness dan conscientiousness biasanya akan meningkat seiring usia. Namun sebenarnya, jika kita mau berusaha dan mencoba, kita dapat meningkatkan trait tertentu dengan melakukan perilaku terkait secara terus-menerus supaya menetap dan menjadi kebiasaan. Conscientiousness terbukti berkorelasi secara negatif dengan pembelian impulsif. Conscientiousness yang mengutamakan keteraturan, perencanaan dan organisir dapat ditingkatkan jika kita menerapkan pola pembelian yang terencana. Misalnya, dengan membuat rencana belanja mingguan atau bulanan. Kita dapat dengan jelas menetapkan berbagai barang yang dibutuhkan untuk dibeli setiap bulan. Selain itu, kita juga bisa menentukan prioritas untuk setiap barang yang akan dibeli sehingga akan terlihat barang apa saja yang diinginkan namun tidak dibutuhkan. Dengan menentukan prioritas, tentu pengelolaan keuangan akan berjalan dengan lebih baik. Sisa uang juga bisa ditabung untuk hal-hal yang bersifat darurat dan berada di luar rencana keuangan, seperti kecelakaan atau kematian.

Alihkan pada Hal yang Lebih Bermanfaat

Alih-alih melampiaskannya pada belanja, cobalah lampiaskan stress kita pada hal-hal yang lebih bermanfaat, seperti berolahraga, menggambar, menulis, atau mengunjungi berbagai tempat wisata dengan orang yang kita cintai. Di sisi lain, jika kita tidak mampu mengontrol diri sendiri, ada baiknya untuk meminta bantuan orang lain. Kita dapat meminta dukungan dan bantuan dari keluarga, teman, maupun pasangan. Dengan melibatkan orang lain dalam mengontrol pengeluaran, tentu mereka akan berusaha untuk mengingatkan dan menjaga ketika kita akan membeli barang yang tidak dibutuhkan.

Kurangi Penggunaan Gadget

Seperti yang disebutkan di awal, faktor eksternal untuk melakukan pembelian impulsif secara online juga dapat disebabkan karena iklan dan tampilan produk yang menarik di website e-commerce. Dengan mengurangi penggunaan smartphone atau gadget setiap harinya, secara otomatis kebiasaan Anda membuka sosial media atau website e-commerce juga akan berkurang. Dengan begitu, akan sedikit kemungkinan Anda untuk melakukan pembelian secara tiba-tiba.

Terakhir, jika Anda merasa belanja online menjadi masalah yang semakin serius, jangan ragu untuk meminta bantuan kepada ke profesional, seperti psikolog atau konselor untuk mendapatkan penanganan lanjutan. Hal ini penting untuk dilakukan agar Anda mampu mendapat perspektif yang berbeda dalam memandang masalah yang Anda alami. Harapannya, titik terang pun akan segera ditemukan dan Anda dapat hidup dengan lebih nyaman. Selamat mencoba!

Artikel ini adalah sumbang tulisan dari Amalia Adhandayani. Saat ini ia tengah menjalani kehidupan sebagai seorang mahasiswi Magister Sains Kepribadian angkatan 2017 di Universitas Indonesia. Amalia dapat dihubungi di akun Instagram @amemalia. 

Pijar Psikologi

Pijar Psikologi adalah media non-profit yang menyediakan informasi kesehatan mental di Indonesia.

Previous
Previous

CURHAT: Antara Saya dan Sang Teman Khayalan

Next
Next

CURHAT: Bagaimana Caranya agar Saya Bisa Terlepas dari Judi dan Lilitan Hutang?