Cerita Kami: Belajar Berdamai dengan Diri Sendiri Setelah Mengalami Generalized Anxiety Disorder

Sejak kecil saya selalu merasa ada sesuatu yang mengganggu diri saya, saya tidak pernah nyaman dan aman dengan diri serta lingkungan saya. Setelah beranjak dewasa, saya menyadari bahwa keadaan tidak bisa dibiarkan begitu saja, sudah saatnya saya mencari bantuan profesional. Inilah cerita saya tentang bagaimana pengalaman saya menemui psikiater dan bagaimana saya menghadapi diri saya sendiri.

***

Saya sudah bertekad untuk menemui salah seorang psikiater untuk berkonsultasi mengenai keadaan saya. Saya hanya berharap pada saat itu, saya mendapatkan bantuan yang tepat dari seorang profesional dengan menceritakan apa yang selama ini saya alami dan rasakan. Ketika sesi konsultasi berlangsung, psikiater meminta saya untuk bercerita tentang apa yang saya rasakan. Saya pun menceritakan pengalaman-pengalaman hidup saya kepada beliau, saya juga bercerita tentang keluhan-keluhan saya, tentang masa lalu, tentang perasaan saya dan berharap beliau memahami dan dapat menjelaskan apa yang sedang terjadi pada diri saya. Saya merasa lega telah bercerita banyak dalam sesi konsultasi itu.

Singkat cerita, psikiater kemudian mendiagnosa saya mengalami Generalized Anxiety Disorder. Selanjutnya, dari cerita-cerita yang saya sampaikan pada psikiater, beliau juga menyebutkan bahwa saya sempat mengalami depresi disertai dengan gangguan panik dan serangan panik ketika remaja. Tidak berhenti disitu saja, ternyata saya pun sempat mengalami Separation Anxiety Disorder (gangguan cemas perpisahan). Saya sempat kaget karena sejujurnya saya tidak pernah menyangka bahwa apa yang pernah saya alami saat masa kanak-kanak adalah sebuah gangguan. Mungkin karena pada waktu itu kosa kata saya masih minim, saya tidak terlalu banyak memiliki kenangan di pikiran terkait emosi yang saya rasakan, kecuali sakit dan tersiksa. Diagnosa itu sempat membuat saya bertanya pada diri saya sendiri. Membuat pikiran saya terus saja mengulang-ulang pertanyaan: “Kenapa saya mengalami separation anxiety disorder, apa yang terjadi pada diriku pada masa kanak-kanak? Apa sebetulnya penyebabnya.?”

Pertanyaan-pertanyaan itu terus saja muncul di kepala saya karena saya pikir saya tidak pernah merasa mengalami sebuah trauma masa lalu khususnya pada masa kanak-kanak. Namun, ternyata saya keliru. Ada hal yang tidak saya ketahui, bahkan saya seperti kehilangan memori akan hal-hal yang terjadi pada diri saya sewaktu kanak-kanak. Setelah saya kembali lagi ke psikiater di hari yang berbeda, saya mendapatkan penjelasan tentang apa itu separation anxiety disorder. Psikiater itu menyebutkan bahwa gangguan tersebut bisa muncul karena sesuatu yang kurang menyenangkan yang pernah terjadi di masa lalu (saat masa anak-anak), tetapi bisa saja tidak sampai menyebabkan trauma yang membekas. Lebih lanjut, ketika gangguan ini muncul pada masa kanak-kanak, efeknya bisa menyebabkan berbagai macam komplikasi maupun progresi penyakit ketika anak tersebut beranjak dewasa. Hal itulah yang terjadi pada diri saya. Akibat gangguan yang saya alami saat saya masih kanak-kanak, saya menjadi lebih mudah mengalami berbagai gangguan saat saya tumbuh dewasa, meskipun saya tidak pernah mempunyai riwayat trauma pada masa kecil.

Dari fakta itu, saya merasa campur aduk. Di satu sisi saya cukup terkejut dengan apa yang terjadi. Di sisi lain, saya juga lega. Terkejut, karena saya mungkin tidak pernah membayangkan hal semacam itu terjadi pada saya. Saya merasa pengalaman saya waktu kecil baik-baik saja. Saya juga merasa tidak ada masalah dengan diri saya. Namun, ketika saya datang ke psikiater saya menemukan fakta bahwa ternyata saya tidak baik-baik saja. Mungkin itulah paradoksnya. Mengetahui saya tidak baik-baik saja justru menjadikan saya cukup lega. Lega karena ternyata saya mempunyai kesempatan untuk mengenal diri saya lebih dalam lagi. Mungkin dulunya, saya hanya mengenal diri saya sekadar di permukaan saja.

Mungkin itulah paradoksnya. Mengetahui saya tidak baik-baik saja justru menjadikan saya cukup lega. Lega karena ternyata saya mempunyai kesempatan untuk mengenal diri saya lebih dalam lagi.

Sejak saya memasuki usia 20 tahun, saya mulai berdamai dengan keadaan. Pelan-pelan tapi pasti. Saya mencoba mengikuti apa yang dianjurkan psikiater saya. Saya selalu mencoba untuk mencari sudut pandang lain dari apa yang terjadi pada diri saya dengan begitu saya selalu memiliki alasan untuk berpikir positif dan optimis. Apabila ada yang bertanya pada saya apakah mudah untuk menerima keadaan, hidup dan diri saya sendiri? Saya selalu katakan TIDAK. Jelas tidak mudah. Tidak terhitung berapa kali saya “tidak terima” dengan keadaan saya, menyalahkan diri saya sendiri atas keadaan yang saya alami, bergelut dengan rasa bersalah, tidak berguna, pikiran yang kalut dan emosi yang berantakan. Namun, pada akhirnya saya menyadari bahwa tidak ada gunanya menyalahkan keadaan, menyalahkan diri saya. Saya sadar saya tidak bisa terus-terusan menyalahkan keadaan saya saat itu. Apa yang saya alami memang bukan salah kedua orang tua saya, bukan pula salah saya, bukan salah siapapun. Saya sadar, bahwa semua yang terjadi pada saya adalah cara semesta untuk membentuk diri saya menjadi seperti sekarang. Tidak ada tujuan lain selain membentuk saya menjadi pribadi yang tangguh.

Baca juga: Kita Adalah Korban Kehidupan, tapi Mau Sampai Kapan? Di Sini.

Sangat tidak mudah bagi saya untuk sampai pada titik tersebut. Menyadari dan berpasrah pada apa yang terjadi. Sekarang pun, saya masih terus berjuang untuk mencapai titik berserah karena saya masih harus dihadapkan pada kenyataan bahwa saya mengalami generalized anxiety disorder.  Saya percaya waktu bisa menyembuhkan asal kita pun juga berjuang untuk proses penyembuhan tersebut. Saya selalu berusaha melatih diri saya untuk menerima keadaan, meskipun tidak jarang saya bertemu pada fase dimana saya amat tersiksa dengan proses penerimaan ini. Disitulah saya merasa membutuhkan bantuan profesional. Hal yang bisa saya apresiasi dari diri saya yang sekarang adalah saya tidak lagi malu untuk meminta bantuan. Saya tidak lagi ragu untuk mencari cara bagaimana saya bisa menjalani hidup ini dengan damai, tulus dan bahagia, tidak dengan berpura-pura atau hanya untuk bertahan hidup saja. Saya tidak lagi takut untuk melepaskan apa yang memang harus dilepaskan. Saya juga semakin yakin pada diri saya sendiri dan saya bersyukur atas semua yang terjadi pada diri ini.

Perjalanan saya bersama generalized anxiety disorder dan panic attack hingga sampai di titik ini saya rangkum dalam “my day to day pain management”. Berikut ini adalah sebagian dari “my day to day pain management” yang bisa saya bagikan.

  1. Pertama, saya mencoba menulis semua kekhawatiran saya dalam 24 jam. Lalu,setelah selesai menuliskannya saya menuliskan juga bagaimana saya menghadapi kekhawatiran tersebut. Caranya, saya berusaha untuk mengkonfirmasi apakah kekhawatiran tersebut benar terjadi atau tidak, apakah kekhawatiran tersebut memang benar adanya atau hanya pikiran saya sendiri.

  2. Saya mencoba melihat semua hal yang menjadi kekhawatiransaya dari perspektif lain yang lebih Khawatir, cemas, panik, dan depresi merupakan bentuk adaptasi namun adaptasi yang negatif dan saya mencoba untuk melihat semua hal dari sisi yang positif. Tidak mudah memang, namun saya yakin saya bisa karena saya terus berjuang dan tidak menyerah.

  3. Saya mencoba menyempatkan waktu minimal 30 menit dalam sehari untuk belajar hal baru tentang kesehatan mental dan hal-hal yang terkait dengan itu dari berbagai sumber, misalnya jurnal maupun media informasiyang valid.

  4. Selanjutnya, saya mencoba untuk rutin melakukan relaksasi di penghujung hari sambil bersyukur atas apa yang telah sayadapatkan di hari itu.

Baca juga: Curhat: Pikiran Saya Tidak Terkendali Hingga Sering Membuat Saya Bingung, Cemas dan Putus Asa Di Sini.

***

Sebetulnya masih banyak hal yang saya lakukan dalam “my day to day pain management”. Namun, saya merasa cukup sampai di sini saya membagikan pengalaman saya dengan  generalized anxiety disorder. Saya hanya ingin berbagi kepada teman-teman yang mungkin sedang mengalami hal yang sama dengan saya, tapi belum tahu bagaimana cara menghadapinya. Semoga apa yang saya bagikan ini bermanfaat dan dapat menjadi pelajaran agar tidak lagi ada orang yang merasakan apa yang saya rasakan. Untuk teman-teman yang mungkin saat ini sedang berjuang, jangan pernah menyerah, percayalah bahwa kita berharga, kita juga berhak untuk bahagia, bagaimanapun caranya, kita berjuang sama-sama ya!

 

Artikel ini adalah sumbang tulisan dari Nisrina Nur Fatiha. Ina begitu ia sering disapa, saat ini sedang menempuh pendidikan di Fakultas Kedokteran Univesitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Ina kebetulan sangat suka menulis, mulai dari puisi hingga pengalaman hidup yang pernah dialaminya. Ina berharap bisa menebarkan semangat dan energi positif untuk siapapun yang membaca tulisannya. Ina dapat dihubungi melalui instagram @nisrinafatiha dan blog: catatanharianperikecil.blogspot.co.id.

Sumber gambar: www.unsplash.com

Let others know the importance of mental health !

Pijar Psikologi

Pijar Psikologi adalah media non-profit yang menyediakan informasi kesehatan mental di Indonesia.

Previous
Previous

CURHAT: Saya Ingin Bisa Terbebas dari Rasa Benci Terhadap Diri Sendiri

Next
Next

CURHAT: Apa yang Harus Saya Lakukan Terhadap Kedua Teman Saya yang Memiliki Keinginan Mengakhiri Hidup?