Memahami Konflik yang Terjadi pada Anak

unsplash-image-ZcA4ai3bRSk.jpg

Pertengkaran atau konflik yang terjadi antar anak-anak adalah hal yang wajar, baik di lingkup sebuah keluarga atau sekolah. Kebanyakan orang tua berpikir konflik yang terjadi akan berdampak negatif pada hubungan persaudaraan atau pertemanan. Namun, sesungguhnya, ada hal-hal positif yang dapat diperoleh oleh anak dari proses penyelesaian konflik tersebut.

Apa sih Konflik Itu?

Konflik adalah sesuatu yang natural. Konflik akan selalu ada, karena pada dasarnya kita akan selalu berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang lain. Begitu pula dengan anak-anak.

Konflik dapat terjadi karena adanya perbedaan pendapat, nilai dan keinginan. Konflik juga bisa terjadi bila anak merasa ada pihak lain yang mengganggu kegiatan yang sedang ia lakukan. Apabila kondisi-kondisi tersebut terjadi, anak akan mengalami perasaan negatif seperti marah, jengkel, cemas, frustrasi atau bahkan iri hati.

Ketika konflik tidak dikelola dengan baik, hal ini bisa memicu dampak negatif terhadap keadaan psikis anak dan hubungannya dengan orang lain. Tapi jangan khawatir, konflik juga bisa menjadi sesuatu yang positif apabila anak bisa menangani dan mengelolanya.

Konflik yang (Mungkin) Dialami Anak

Konflik dengan orang tua. Anak bisa saja merasa tidak puas, marah atau kecewa dengan orangtua. Hal ini disebabkan karena adanya miskomunikasi atau perbedaan pandangan dan keinginan antara anak dan orang tuanya. Oleh karena itu, kita perlu memetakan bagaimana preferensi anak dalam mengambil keputusan. Yang terpenting adalah memahami bagaimana gaya komunikasi yang cocok untuk diterapkan antara anak-orang tua. Orang tua juga perlu refleksi kembali apakah selama ini anak sudah diajak terlibat dalam diskusi dan pengambilan keputusan dalam keluarga.

Konflik dengan saudara. Memiliki saudara dan bahkan berkonflik dengan saudara ternyata memiliki efek positif bagi perkembangan anak di awal usianya. Anak dapat belajar membangun hubungan sosial yang lebih adaptif di kemudian hari. Mayoritas konflik yang terjadi antar saudara disebabkan adanya kompetisi atas kepemilikan. Tentu saja, orang tua perlu membekali anak dalam proses penyelesaian konfliknya.

Konflik dengan teman sebaya. Hal ini dapat terjadi dengan teman sekolah, teman dekat maupun teman sepermainan. Bullying merupakan salah satu bentuk  konflik dengan teman sebaya.

Konflik dengan diri sendiri. Bisa saja, anak tidak mengalami konflik dengan orang lain. Namun, ia berkonflik dengan dirinya sendiri. Hal ini disebabkan adanya rasa kecewa dan penyesalan bila si anak merasa tidak dapat memenuhi ekspektasi diri sendiri maupun orang lain. Manifestasi yang terjadi kemungkinan anak akan menyendiri, menangis diam-diam atau mengekspresikan dengan cara memberontak pada orang tua.

The way we talk to our children, becomes their inner voice

(Peggy O Mara)

Orang tua menjadi fasilitator

Peran orang tua, salah satunya, adalah membekali anak dengan kemampuan bersosialisasi. Hal ini bisa dilakukan sejak usia dini, sehingga pembentukan karakter akan lebih efektif. Kemampuan untuk menghormati kepemilikan orang lain perlu diajarkan agar anak memahami bahwa setiap orang punya privasinya masing-masing. Sesederhana mengajari anak untuk minta ijin terlebih dahulu sebelum mengambil barang atau mainan temannya.

Tak hanya itu, kita perlu memahami bahwa anak bisa saja marah apabila merasa terganggu oleh orang lain. Rasa marah adalah bentuk emosi yang bisa menjadi mal-adaptif bila ditekan atau disembunyikan. Anak boleh mengekspresikan rasa marahnya, namun tetap perlu memperhatikan kenyamanan dan keselamatan diri sendiri dan orang lain.

Disinilah kemampuan untuk mengemukakan pendapat dengan cara yang baik perlu dilatih. Misalnya, ajari anak untuk berkata, “Tolong jangan dorong aku, aku tidak nyaman”, atau “Kamu boleh pinjam mainanku, tapi setelah aku selesai memakainya”. Hal ini akan membantu anak untuk lebih mudah mengontrol situasi yang nyaman untuk dirinya maupun untuk orang lain.

Pahami bahwa setiap anak berbeda

Setiap anak itu unik. Orang tua perlu memahami perbedaan setiap anak dan memerlakukan anak berbeda sesuai dengan usia, sifat dan kemampuan masing-masing sehingga anak akan merasa diperlakukan secara khusus dan individual. Namun begitu, tetap berikan perhatian, kasih sayang dan responsivitas dengan porsi yang seimbang untuk setiap anak. Apresiasi atas usaha tiap-tiap anak dalam resolusi konfliknya adalah hal yang baik untuk dilakukan.

Perlu kita ketahui, ketika orang tua sudah berupaya untuk membantu dan menyelesaikan konflik antar anak, mungkin saja konflik akan tetap ada. Hal ini dikarenakan, konflik adalah hasil dari suatu interaksi sosial. Akan tetapi, dengan memiliki keterampilan komunikasi yang baik, percayalah, anak akan belajar bagaimana menyelesaikan masalah dengan efektif, tuntas dan tidak menimbulkan permasalahan baru.

“Jika ingin anak-anak kita mempunyai kehidupan yang bermakna, maka yang mereka butuhkan adalah hubungan yang positif dengan orang lain. Cara terbaik untuk mewujudkannya adalah biarkan mereka belajar menyelesaikan konflik daripada hanya menghindarinya”

Pijar Psikologi

Pijar Psikologi adalah media non-profit yang menyediakan informasi kesehatan mental di Indonesia.

Previous
Previous

Grisi Siknis, Usaha Menalar Gangguan Berbasis Budaya

Next
Next

Menolong dan Kebaikan yang Berbalik pada Diri Sendiri