Muscle Dysmorphic Disorder: Laki-laki pun Bisa Punya Obsesi Bentuk Badan

unsplash-image-P4AIjQw1BuY.jpg

Karena keterkaitannya yang erat dengan penampilan fisik, tidak sedikit orang yang mengidentikkan body dysmorphic disorder (BDD) dengan perempuan. Nyatanya, di Amerika Serikat, BDD justru ditemukan pada  2,5% laki-laki dan 2,2% perempuan.

Body dysmorphic disorder atau yang biasa disingkat dengan BDD, merupakan keadaan di mana seseorang begitu yakin bahwa ada kecacatan dalam fisik mereka. Padahal kecacatan tersebut bisa jadi minimal, atau bahkan tidak ada sama sekali. Contohnya, seseorang dengan tahi lalat di dagunya yakin bahwa tahi lalat itu membuat penampilannya tampak sangat jelek. Hal ini kerap kali membuat menjadi sangat tidak percaya diri sampai ia menghindari situasi-situasi sosial dan membuat fungsi sehari-harinya terganggu.

Meski tidak sedikit namun bukan berarti laki-laki luput dari BDD. Identitas maskulinitas yang disematkan pada laki-laki tidak luput dari persepsi bentuk badan yang ideal. Sejak kecil, anak laki-laki sudah dituntut untuk menjadi seorang maskulin sejati. Mereka disuguhi tontonan seperti gulat, pertandingan olahraga, hingga film laga di mana jagoannya adalah laki-laki berotot. Hal tersebut membuat banyak laki-laki terobsesi dengan bentuk badan mereka. Usaha yang kerap dilakukan antara lain olahraga berlebihan, mengonsumsi susu berprotein tinggi, diet ketat, dan lain sebagainya. Apabila hal ini sampai mengganggu aktivitas sehari-hari, tidak jarang seseorang akhirnya mengalami body dysmorphic disorder.

Salah satu jenis BDD yang sering ditemui pada laki-laki adalah muscle dysmorphic disorder (MDD), di mana seorang pria merasa bahwa tubuhnya tidak cukup berotot. Seseorang yang mengalami MDD seringkali menghabiskan banyak waktu untuk berolahraga, panik apabila tidak dapat berolah raga, membanding-bandingkan fisik secara kompulsif, bahkan hingga mengutamakan olahraga diantara hubungan interpersonal atau pekerjaan.

Muscle dysmorphic disorder banyak terjadi di kalangan atlet karena tuntutan kompetisi. Terdapat batasan yang tipis antara body-building dan muscle dysmorphic disorder. Seorang body-builder tanpa MDD, tidak menganggap dirinya cacat. Berbeda dengan orang dengan MDD yang beranggapan bahwa ada sesuatu yang salah dengan tubuhnya, hingga ia mau melakukan usaha apapun untuk mengubah hal tersebut.

BDD dan MDD bukannya tidak berbahaya. Angka ide bunuh diri, percobaan bunuh diri, serta kejadian bunuh diri cenderung meningkat pada kasus MDD. Sekitar 80% orang dengan  BDD pada umumnya melaporkan pikiran bunuh diri dan seperempatnya telah berhasil melakukan bunuh diri. Selain itu, banyak juga orang dengan  MDD yang menyalahgunakan obat-obatan steroid.

Melawan BDD dan MDD  memang bukanlah hal yang mudah. Untuk dapat mengurangi pikiran-pikiran negatif tersebut, kita harus mengusahakan untuk bisa menerima diri sendiri. Tidak ada yang salah dari keinginan untuk menjadi yang terbaik, namun yang  menjadi masalah apabila kita sampai rela mengorbankan segalanya.  Apabila menyelesaikan masalah ini sendirian dirasa berat, jangan pernah ragu untuk meminta bantuan orang terdekat maupun profesional. Beberapa terapi seperti Cognitive Behaviour Therapy (CBT) atau latihan meditasi dapat membantu orang dengan BDD dan MDD untuk membuang pikiran negatif.

Tidak ada bentuk badan tertentu yang mengindikasikan bahwa seseorang itu lebih baik adanya. Ketampanan seseorang tidak patut dikait-kaitkan dengan massa atau volume ototnya. Ketampanan yang sesungguhnya akan terpancar dari perilaku yang baik serta tutur kata yang sopan dan hal ini berlaku untuk laki-laki maupun perempuan, karena fisik bukanlah penentu kualitas seseorang.

Pritania Astari

Seorang lulusan kedokteran yang sangat tertarik dengan ilmu kejiwaan.

Previous
Previous

CURHAT: Saya Merasa Down Ketika Rekan Kerja Saling Bersosialisasi Tanpa Melibatkan Saya

Next
Next

Cerita Kami: Quarter Life Crisis, Panggung Mengenal Diri Sendiri