Fakta-Mitos Seputar Move-on setelah Putus Cinta

“Merelakan seseorang yang pergi berarti kita sampai pada kesadaran bahwa beberapa orang adalah bagian dari hidup tapi bukan bagian dari takdir” – Steve Maralobi

Putus cinta merupakan sebuah momen yang dapat dialami manusia dalam berbagai rentang kehidupan, mulai dari yang berusia remaja hingga dewasa. Salah satu hal yang lazim dibahas setelah seseorang putus cinta adalah move-on. Secara bahasa, move-on diartikan sebagai berpindahnya seseorang ke suatu tempat, aktivitas, atau subjek lain[1]. Lebih jauh, terdapat beberapa anggapan umum mengenai move-on, khususnya hubungannya dengan gender. Mungkin Anda pernah mendengar apabila laki-laki sedang patah hati maka ia akan segera mencari pasangan lain, perempuan yang nafsu makannya bertambah setelah berpisah dengan pasangan, dan masih banyak lagi. Meskipun demikian, apakah anggapan tersebut benar adanya? Atau hanya mitos belaka? Yuk simak lebih lanjut ulasan di bawah ini!

1. Kesedihan Mendalam

Terdapat anggapan bahwa perempuan mengalami kesedihan atau tekanan psikologis yang lebih dalam daripada laki-laki. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Carin Perilloux dan David Buss, hal tersebut memang terbukti[2]. Meskipun demikian, dalam mengartikan hasil penelitian tersebut, perlu memerhatikan banyak konteks misalnya karakteristik pasangan yang dianggap pihak perempuan sebagai sosok yang sangat baik. Selain itu, perempuan dapat merasa lebih sedih jika dirinya berada pada posisi yang ditinggalkan, khususnya secara sepihak. Dengan demikian, anggapan bahwa perempuan merasakan kesedihan yang lebih dalam daripada laki-laki tidak dapat disamaratakan ya!

 

2. Tindakan Maladaptif sebagai Strategi Move-On

Pernahkah Anda mendengar bahwa perempuan akan terlibat lebih banyak pada perilaku maladaptif setelah putus cinta dibanding laki-laki? Tindakan maladaptif adalah tindakan yang dapat membahayakan diri sendiri maupun orang lain. Baik laki-laki maupun perempuan dapat melakukan perbuatan maladaptif, terutama bagi mereka yang mengutamakan nilai diri pasangan seperti kelebihan fisik atau kemampuan intelektual[3]. Tindakan ini ditengahi oleh perasaan sedih atau tekanan psikologis yang mendalam. Dengan demikian, seseorang yang mengutamakan nilai diri pasangan akan mengalami kesedihan yang mendalam dan dapat berakhir pada perilaku maladaptif, seperti belanja berlebihan, menguntit mantan pasangan, bahkan hingga bunuh diri.

 

3. Kepatutan dalam Menjalin Hubungan Baru

Pernahkah Anda mendengar anggapan bahwa menjalin hubungan romantis baru segera setelah mengalami putus cinta itu tidak baik? Orang-orang mungkin akan menganggap bahwa kita belum siap karena kita sendiri belum tuntas dalam mengevaluasi apa yang salah dari hubungan lalu atau apa yang sebenarnya kita butuhkan. Meskipun demikian, sebuah penelitian yang dilakukan oleh Braumbaugh & Farley, ahli dalam psikologi mengenai hubungan antar manusia, menyebutkan bahwa hubungan baru yang segera dijalin tersebut berpengaruh pada kesejahteraan psikologis, penilaian diri yang meningkat, dan penghargaan terhadap pasangan baru. Selain itu, penelitian lain oleh Spielmann, MacDonald, & Wilson, para peneliti psikologi dari Kanada, menyebutkan bahwa seseorang yang memiliki kecemasan dalam hubungan akan lebih mudah mengatasi kecemasan akibat pasangan lamanya ketika mereka membentuk hubungan baru[4].

 

4. Usaha untuk Melupakan Kenangan

Beberapa orang mengartikan bahwa move-on berarti waktunya melupakan seseorang yang telah berpisah dengan kita, bahkan hingga berefek pada kebencian.  Apakah hal tersebut bijak untuk dilakukan? Ternyata tidak selalu. Mel Schwartz, seorang ahli terapi psikologi, disebutkan bahwa move-on dapat dijadikan sebagai dasar untuk kita belajar dan berkembang dari masa lalu, tentunya dengan cara-cara yang baik[5]. Kita dapat melupakan keburukan dari apa yang kita alami namun jangan sampai hal tersebut menjadi penghalang kita untuk berbuat baik kepada mantan pasangan.

 

Kita sudah tahu lebih banyak mengenai dinamika move-on melalui penjelasan psikologis. Berpisah dengan seseorang yang kita cintai dengan berbagai alasan terkadang menimbulkan bekas yang dalam, bahkan bagi beberapa orang hal itu masih terasa hingga bertahun-tahun setelahnya. Meskipun demikian, hidup harus terus berjalan, bukan? Jadikanlah momen move-on sebagai pembuktian bahwa diri kita kuat dan mampu untuk tidak terlarut dalam kesedihan dengan sangat dalam. Hindarilah cara move-on yang justru akan merugikan diri sendiri dan orang lain karena sesungguhnya masih banyak orang yang mengharapkan kita untuk melakukan hal-hal yang lebih besar. Mulailah mencari kegiatan-kegiatan baru yang positif dan membuat kualitas hidup kita yang lebih baik. Selain itu, jangan enggan untuk mendampingi orang-orang di sekitar kita untuk membuat  masa move-on–nya menjadi berarti. Yuk move-on ke hal-hal yang baik!


Sumber data tulisan

Referensi foto:

cdn.themix.org.uk/uploads/2012/09/mendingabrokenheartWP.jpg

Referensi kutipan:

www.goodreads.com/quotes/tag/move-on

Referensi tulisan:

[1]https://www.merriam-webster.com/dictionary/move%20on

[2]Perilloux, C. & Buss, D. (2008). Breaking up romantic relationships: costs experienced and coping strategies deployed. Evolutionary Psychology, 6(1), 164-181.

[3]Park, L. E., Sanchez, D. T., & Brynildsen, K. (2011). Maladaptive responses to relationship dissolution: The role of relationship contingent self-worth. Journal of Applied Social Psychology, 41(7), 1749-1773.

[4]https://www.psychologytoday.com/blog/meet-catch-and-keep/201405/can-rebound-relationship-be-the-real-deal

[5]http://www.psychologytoday.com/blog/shift-mind/201106/what-do-we-mean-by-moving

Annisa Ayuningtyas

Mahasiswa Fakultas Psikologi UGM

Previous
Previous

Hubungan Harmonis antara Orangtua, Anak Remaja dan Teman Sebayanya, Bisakah Tercipta?

Next
Next

Move On: Yang Lalu Biarlah Berlalu Agar Tidak Jadi Benalu