5 Kebutuhan Dasar bagi Seorang Anak untuk Tumbuh Menjadi Pribadi Resilien

Kehidupan pada masa awal (masa kanak-kanak) sangat penting untuk perkembangan hidup menjadi individu dewasa. Fase perkembangan kanak-kanak merupakan fase yang berperan penting dalam membentuk kepribadian dan kapasitas diri seseorang. Namun, dalam kehidupan sehari-hari, tidak sedikit anak-anak yang rentan mengalami pengalaman buruk, seperti perceraian orang tua, kekerasan fisik, mental, verbal, maupun seksual, atau bencana alam. Hal itu dapat memengaruhi perkembangan anak-anak menjadi individu dewasa yang sehat, tangguh dan bahagia. Perceraian orang tua dan kekerasan pada anak adalah beberapa contoh pengalaman buruk yang bisa terjadi pada anak-anak terutama di Indonesia karena angka kedua kasus tersebut masih cukup tinggi. Selain itu, karena secara geografis wilayah Indonesia berada di antara pertemuan tiga lempeng tektonik dunia dan pasific ring of fire, sehingga Indonesia rentan mengalami bencana alam. Hal tersebut bisa menjadi pengalaman buruk bagi anak-anak dan berdampak pada kesehatan mental mereka.

Pengalaman buruk pada masa kanak-kanak bisa menyebabkan luka batin pada diri seseorang. Jika tidak dikelola dengan tepat, luka batin bisa menjadi akar masalah psikologis, seperti kecemasandepresikecenderungan bunuh diripsikomatis, dan perilaku berisiko saat anak beranjak dewasa. Kabar baiknya, risiko dari luka batin akibat pengalaman buruk pada masa kanak-kanak bisa diminimalisir dengan kemampuan resiliensi. Dengan menjadi resilien, anak-anak mampu menghadapi pengalaman buruk, melampaui masa krisis, dan menemukan makna positif sebagai bekal hidup di masa depan.

Lalu, apa saja yang dibutuhkan agar anak-anak dapat tumbuh menjadi pribadi resilien?

***

Pada fase kanak-kanak, orang tua atau pengasuh utama sangat berperan penting dalam memenuhi kebutuhan dasar yang menjadi pondasi anak-anak menjadi pribadi yang resilien. Pemenuhan kebutuhan dasar dilakukan melalui ungkapan kata-kata, tindakan, atau menyediakan lingkungan yang sehat. Kebutuhan dasar pada awal kehidupan ini disebutkan oleh Grotberg, seorang peneliti resiliensi sebagai sumber I have. Seorang anak yang resilien setidaknya memiliki 5 “program” pada dirinya, yaitu:

1. “Saya memiliki hubungan hangat dengan orang-orang terdekat”

Hubungan hangat antara anak dengan orang tua atau pengasuh utama dibangun dengan menerapkan bahasa cinta dalam kehidupan sehari-hari. Bahasa cinta dapat ditunjukkan dengan memberikan waktu bersama secara berkualitas, hadiah atau kado sebagai tanda cinta, kata-kata peneguhan positif (afirmasi), dan tindakan untuk tujuan melayani dengan tulus.

Orang tua atau pengasuh dapat memberikan waktu berkualitas dengan menunjukkan minat tulus melalui perhatian, mendengarkan secara aktif, memahami perasaan, serta melakukan kegiatan bersama anak. Waktu yang berkualitas ini menguatkan ikatan emosional antara orang tua dengan anak. Selain itu, bahasa cinta bisa juga diberikan dalam bentuk kata-kata afirmasi. Kata-kata peneguhan positif berguna untuk meningkatkan rasa berharga pada anak. Kata-kata peneguhan ini mencerminkan kebaikan, cinta tanpa syarat, dukungan, dan penghargaan. Kata-kata memiliki dampak jangka panjang pada otak dan jalur neurologis, pemaparan kata-kata positif yang penuh empati cenderung menciptakan harapan positif dan meletakkan pondasi resiliensi.

Orang tua dapat memberikan tindakan pelayanan kepada anak, seperti menyediakan kebutuhan anak atau membantu anak dalam menghadapi kesulitan dalam menyelesaikan pekerjaan rumah. Tindakan pelayanan ini menciptakan skema kognitif pada anak, seperti keyakinan bahwa setiap masalah memiliki solusi atau orang lain akan bersedia memberikan bantuan maupun dukungan, sehingga anak merasa aman dan tumbuh dengan pandangan bahwa selalu ada solusi di setiap kesulitan atau masalah yang dihadapi.

2. “Saya memiliki struktur dan peraturan yang jelas dalam keluarga”

Struktur dan peraturan yang jelas dan dijalankan dengan konsisten akan memberikan informasi kepada anak tentang bagaimana mereka bertindak dalam kehidupan sehari-hari. Struktur dan peraturan ini memberikan perasaan nyaman dan aman pada anak, serta mengurangi kekacauan atau ketidakharmonisan yang dapat ditimbulkan dari situasi yang sulit. Struktur diciptakan dengan membentuk rutinitas, seperti rutinitas olahraga, makan bersama, atau menjaga kebersihan dengan membuat jadwal rutin, seperti jadwal makan, mengerjakan tugas, bermain, dan istirahat.

Sistem “token ekonomi juga dapat diterapkan agar anak bertindak sesuai sistem dan peraturan yang diberlakukan atas kesepakatan bersama. Melalui sistem token ekonomi, peraturan yang berlaku disertai dengan konsekuensi apabila anak mengikuti atau melanggar aturan itu. Saat anak melanggar aturan, orang tua perlu memberikan pemahaman atas kesalahan yang dilakukan anak supaya anak mengerti letak kesalahannya agar tidak diulangi lagi. Dengan begitu, anak merasa nyaman dalam proses belajar membentuk perilaku adaptif yang sesuai dengan nilai-nilai yang orang tua ingin terapkan.

3. “Saya memiliki role models”

Anak memiliki bakat alami untuk meniru, sehingga ia membutuhkan figur teladan. Figur teladan adalah sosok yang memberikan dukungan dan pengakuan, menunjukkan nilai dan perilaku adaptif, mendampingi anak dalam menentukan tujuan dan menyelesaikan masalah, serta memberikan kesempatan kepada anak untuk bertumbuh. Melalui figur teladan, anak memperoleh informasi tentang nilai-nilai atau perilaku yang perlu diadopsi agar ia mampu menghadapi tantangan ke depan. Selain itu, anak juga memiliki kesempatan untuk mempelajari keterampilan yang membantunya menyesuaikan diri dengan perubahan dan mengatasi situasi sulit.

4. “Saya memiliki dorongan untuk menjadi mandiri”

Kemandirian anak dipengaruhi oleh pola asuh orang tua. Orang tua yang menerapkan pola asuh otoritatif cenderung mendukung kemandirian anak. Di lingkungan pola asuh yang demikian ini, anak diberikan kesempatan untuk mengambil keputusan, mempelajari keterampilan baru, menyelesaikan masalah, menghadapi kegagalan, dan belajar dari kesalahan. Dengan begitu, anak menyadari bahwa setiap orang memiliki tantangan yang harus dihadapi dalam hidupnya, sehingga ia perlu belajar bagaimana cara menghadapinya. Ia juga belajar bahwa kegagalan adalah bagian dari proses belajar. Ia juga belajar untuk menemukan coping mechanism saat menghadapi kegagalan tersebut. Seorang anak yang terlatih menghadapi tantangan juga berpeluang memiliki efikasi diri. Ia memiliki keyakinan bahwa ia mampu untuk berhasil menghadapi tantangan. Keyakinan ini dapat membantu anak untuk menjadi resilien saat menghadapi tantangan atau situasi sulit.

5. “Saya memiliki akses kesehatan, pendidikan, layanan sosial, dan keamanan”

Akses kesehatan, pendidikan, layanan sosial, dan keamanan juga tidak kalah penting bagi perkembangan seorang anak. Dengan berbagai akses tersebut, anak merasa aman dan nyaman karena dapat memenuhi kebutuhan yang tidak dapat dipenuhi oleh keluarganya. Ia merasa memiliki orang-orang yang dapat membantunya saat sakit, berada dalam bahaya, atau ingin belajar sesuatu.

***

Kehidupan awal di masa kanak-kanak memang sangat penting untuk menjadi pondasi seseorang tumbuh sebagai pribadi dewasa yang resilien. Namun, kita tentu tidak bisa memilih bagaimana kita dibesarkan dan bagaimana kita tumbuh selama masa kanak-kanak. Hal yang terpenting adalah seberapa pun buruknya pengalaman yang pernah kita alami semasa kecil, kita selalu punya pilihan untuk tumbuh menjadi pribadi yang resilien. Maka, ketika kita telah dewasa, pastikan anak-anak kita tumbuh dalam “program” yang dapat mendorong mereka menjadi pribadi yag resilien. Pastikan kita menemani mereka bertumbuh dengan menjadi teman baik anak-anak kita yang bersedia mendengarkan, memahami, menolong, dan membagikan nilai-nilai hidup yang bermakna.


Artikel ini adalah sumbang tulisan dari Wahyu Wiratmoko. Saat ini Wahyu sedang sibuk belajar untuk mendengar dan memahami. Wahyu dapat dihubungi melalui email: whywiratmoko@gmail.com dan instagram @whywiratmoko

Pijar Psikologi

Pijar Psikologi adalah media non-profit yang menyediakan informasi kesehatan mental di Indonesia.

Previous
Previous

CURHAT: Apakah Saya Harus Melanjutkan Hubungan Saya dengan Pasangan?

Next
Next

CURHAT: Saya Ingin Bisa Terbebas dari Rasa Benci Terhadap Diri Sendiri