Bagaimana Menghadapi Trauma pada Anak Korban Kekerasan?

Trauma adalah sebuah luka yang mampu mengubah hidup seseorang dan lingkungannya

Pernahkah Anda menjumpai aksi kekerasan di sekolah? Padahal sekolah sebenarnya merupakan rumah kedua bagi anak. Sekolah menjadi tempat yang dipercaya oleh orang tua untuk mengenyam ilmu. Secara ideal, seharusnya sekolah adalah tempat beraktivitas yang aman bagi anak-anak sebagaimana di rumah. Namun, tidak jarang kita temui kasus kekerasan di sekolah. Ancaman kekerasan mungkin muncul dari teman-teman sebaya di sekitarnya.

Anak-anak yang menjadi korban tindak kekerasan umumnya dapat mengalami trauma. Kondisi mental dan kejiwaan yang belum stabil membuat mereka lebih rentan terguncang begitu menghadapi kondisi yang menekan. Trauma yang dialami anak akan berdampak pada kondisi psikologisnya, di antaranya: perubahan suasana hati yang cepat, perilaku impulsif, ketakutan luar biasa, lekas marah, sikap agresif, serta perasaan cemas dan depresi. Ini akan menghambat perkembangannya secara mental. Berikut adalah beberapa cara yang dapat dilakukan oleh orangtua dalam menghadapi trauma pada anak korban kekerasan.

Jauhkan anak dari tempat kekerasan terjadi

Berada di tempat kejadian perkara akan memancing ingatan dan emosi anak. Ini akan memperparah trauma pada diri anak. Apabila tindakan kekerasan terjadi di sekolah atau tempat kursus, maka sebaiknya orang tua tidak melanjutkan pendidikan anak di tempat tersebut. Cara lain adalah orangtua dapat mengonsultasikan perihal tersebut kepada guru sekolah untuk dapat dipertanggungjawabkan atau sebagai jalan mencari alternatif solusi.

Berikan rasa aman

Ketika anak mengalami suatu trauma, perihal yang dirasakan adalah lingkungannya terasa tidak aman. Pembangunan rasa aman inilah yang perlu diperhatikan sejak awal oleh orangtua. Rasa aman ditunjukkan melalui perhatian dan kasih sayang yang diberikan oleh orang tua. Pastikan Anda selalu ada untuknya dan berikan pengertian bahwa semuanya akan baik-baik saja. Dengan begitu, kecemasan pada diri anak dapat berkurang dan meredakan traumanya.

Biarkan anak tetap bersosialisasi

Memberikan rasa aman bukan berarti ‘mengurung’ anak di rumah dan menghindarkannya dari bermain dengan teman sebayanya. Meskipun ada kecenderungan orangtua untuk merasa cemas atau khawatir bahwa kejadian serupa akan muncul, biarkan anak tetap bersosialisasi. Membatasi sosialisasi anak justru akan menimbulkan rasa kesepian dan terisolasi pada diri anak. Rasa kesepian berpotensi mengingatkan anak pada kejadian traumatis yang pernah dialaminya dan memperbesar ketakutannya. Upayakan agar anak dapat kembali ke ke dunia mereka, dimana mereka bisa bermain dan bergaul di bawah pengawasan penuh dari orang tua.

Alihkan perhatian anak dengan kegiatan yang positif

Anak yang mengalami trauma mendalam cenderung menunjukkan sikap murung, cemas, dan depresi. Untuk menghindarkannya dari perasaan tertekan tersebut, ajak anak untuk melakukan kegiatan menyenangkan yang positif dan disukai anak. Misalnya bermain sepak bola, melukis, memasak, atau kegiatan lain selain hobi yang dapat menyibukkan. Dengan begitu, pikiran negatif dan memori traumatis dapat teralihkan pada kegiatan-kegiatan tersebut.

Meminta bantuan psikolog untuk psikoterapi

Orang tua mungkin juga memerlukan pihak lain dalam mengatasi trauma anak.  Salah satunya adalah dari psikolog. Tujuannya adalah agar dapat dilakukan bentuk penanggulangan yang tepat dan efisien. Dalam menangani masalah trauma, umumnya psikolog akan melakukan usaha penyembuhan dengan metode psikoterapi. Psikoterapi ialah upaya penyembuhan dengan metode wawancara. Anak akan diajak untuk berbicara dan didorong untuk mengekspresikan perasaannya. Pada tahap yang lebih lanjut, anak juga diarahkan untuk mengatasi kesulitan yang dihadapi ke ranah yang lebih positif. Di sini, tidak hanya anak yang diajak untuk bicara, tetapi juga orang tuanya—bersama anak maupun terpisah. Orang tua juga diarahkan bagaimana mengatasi trauma si anak.

Terus berikan dukungan kepada anak

Tindakan kekerasan terhadap anak tidak hanya menimbulkan tekanan kepada si anak, tetapi juga kepada orang tuanya. Mengetahui buah hati menjadi korban tentu saja hati terasa teriris namun, apabila orangtua terus-terusan larut dalam kesedihan dan penyesalan, itu akan berdampak negatif terhadap anak. Melihat orang tuanya tertekan, anak juga akan ikut tertekan dan justru terlarut dalam traumanya.

Anak yang mengalami trauma justru membutuhkan dukungan dan semangat positif dari lingkungannya, terutama dari orang tua. Untuk itu, tetaplah optimis bahwa ke depannya akan baik-baik saja. Dengan begitu, akan lebih mudah untuk mendukung dan membantu anak dalam mengembangkan rasa optimis dalam menghadapi masa depan.2 Trauma bukan hal yang perlu diratapi, melainkan harus dihadapi. Dengan melewati rasa sakit dan ketakutan, seseorang dapat bergerak dan melangkah maju.

Pijar Psikologi

Pijar Psikologi adalah media non-profit yang menyediakan informasi kesehatan mental di Indonesia.

Previous
Previous

Benarkah Tes Kepribadian Online Bisa Menjadi Cara untuk Mengenali Diri Sendiri?

Next
Next

Doing Less: Ketika Kuantitas Tidak Selalu Menjadi Tujuan Kebahagiaan