Call Me Crazy: Penderita Gangguan Mental Bukan untuk Dijauhi
“Dia memiliki gangguan mental. Tapi semua itu tidak membuatnya menjadi orang yang jahat. Memang tidak mudah untuk sembuh dan hampir tidak mungkin jika dilakukan sendirian.”
Apa yang ada dipikiran Anda saat mendengar isu tentang gangguan mental? Masihkah Anda beranggapan bahwa penderita gangguan mental adalah orang gila, berbahaya, dan harus dijauhi? Ya, itulah pandangan negatif yang seringkali muncul. Bahkan tidak jarang keluarga orang dengan gangguan mental pun merasa malu. Hal ini justru membuat penderita orang dengan gangguan mental sulit untuk mencapai kesembuhan karena tidak mendapat dukungan sosial.
Call Me Crazy adalah sebuah film yang membuat kita mengenali gangguan mental secara lebih jauh. Film ini dikemas secara omnimbus (satu film dengan beberapa segmen cerita yang berbeda). Terdapat lima segmen dan lima figur utama dalam film ini yaitu Lucy (Brittany Snow), Grace (Sarah Hyland), Allison (Sofia Vassilieva), Eddie (Mitch Rouse), dan Maggie (Jennifer Hudson). Segmen pertama dalam film ini dibuka oleh kisah Lucy, seorang mahasiswi fakultas hukum dengan skizofrenia yang dimilikinya. Ia mengalami halusinasi (merasa mendengar suara-suara) dan harus dirawat di rumah sakit jiwa. Sedangkan segmen kedua mengisahkan Grace, gadis remaja yang sejak kecil harus merawat ibunya yang mengidap bipolar. Tak hanya itu, pada segmen ketiga dalam film ini terdapat sosok Allison yang merasa takut malu karena mempunyai kakak dengan gangguan gangguan mental. Hal menarik lainnya adalah kisah Eddie, seorang stand-up comedian yang mengalami depresi. Sekelumit kisah depresi Eddie terangkum dalam segmen keempat. Lalu, pada segmen terakhir terdapat sosok Maggie yang dikisahkan mengalami PTSD (Post-traumatic Stress Disorder) akibat kekerasan seksual militer yang dilakukan komandannya.
Call Me Crazy menyuguhkan lima kisah menarik tentang gangguan mental
Film ini menjabarkan dinamika kehidupan orang dengan gangguan mental dan orang-orang yang berada di sekitarnya. Pada segmen pertama, Lucy selalu menyangkal akan gangguan mental yang ia alami. Lucy pun merasa tidak mendapat dukungan dari siapapun karena keluarganya tidak pernah menjenguk. Ternyata Lucy salah. Kehadiran teman dan psikiater menjadi pendukung utama kesembuhan Lucy. Bahkan psikiater yang menangani Lucy selalu memberi motivasi menyelesaikan studi hukumnya.
Segmen kedua mengisahkan Grace yang sejak kecil harus merawat Robbin, sang ibu yang mengidap bipolar. Bipolar merupakan gangguan mood dimana seseorang akan merasa sangat senang (manik) dan terpuruk (depresi) secara bergantian. Saat episode depresi, sang ibu terlihat sangat sedih dan enggan untuk keluar rumah. Bahkan jendela dan pintu rumah mereka selalu tertutup rapat. Sementara saat episode manik sang ibu begitu bersemangat. Grace sebagai seorang anak harus sabar menghadapi dan merawat ibunya.
Segmen ketiga menyoroti kisah yang dialami Allison, ia adalah adik dari seorang kakak yang mempunyai gangguan mental (kakaknya adalah tokoh Lucy yang disoroti dalam segmen pertama film ini). Setelah kakaknya keluar dari rumah sakit, Allison merasa malu sekaligus takut memiliki kakak penderita gangguan mental. Bahkan Allison sengaja menyembunyikan kisah kakaknya yang mengalami skizofrenia dari kekasihnya. Segmen ini memperlihatkan pergulatan emosi antara Allison dengan kakaknya. Allison enggan menerima kehadiran kakaknya di rumah.
Segmen keempat menggambarkan Eddie sosok stand-up comedian yang mengalami depresi. Saat mulai mengalami depresi, lawakan yang Eddie bawakan tidak semenarik biasanya. Ia justru membahas tentang kematian dan bunuh diri. Lambat-laun Eddie enggan untuk bersosialisasi dan terus mengurung diri di kamar. Bahkan saat sang istri mengadakan pesta di rumahnya, Eddie hanya sebentar menemui teman-temannya. Dia merasa tidak nyaman dan meninggalkan teman-temannya.
Segmen kelima mengulik kasus Maggie yang mendapat kekerasan seksual di militer. Maggie pun mengalami PTSD (Post Traumatic Stress Disorder) akibat peristiwa tersebut. Ia dibantu oleh pengacara yang notabene memiliki gangguan jiwa. Awalnya Maggie tidak yakin kasusnya selesai dan akan menang di pengadilan. Terlebih saat Maggie tahu pengacara yang mendampinginya mengalami gangguan mental. Namun berkat keyakinan yang kuat dari pengacaranya tersebut membuat Maggie berubah pikiran.
Pesan moral dibalik film Call Me Crazy
Begitu banyak pesan yang disampaikan lewat film ini. Seperti pada segmen pertama, terlihat sekali dukungan sosial dari lingkungan membuat seorang dengan gangguan mental dapat sembuh. Segmen kedua mengambarkan ketulusan hati seorang anak yang merawat Ibunya yang bipolar. Segmen ketiga, mengilustrasikan bahwa stigma negatif terhadap penderita gangguan mental ternyata masih ada di masyarakat, bahkan di lingkungan keluarga penderita sendiri. Kemudian pada segmen keempat, kita dapat mengetahui bahwa dengan menarik diri dari lingkungan sosial dapat menyebabkan depresi. Pada segmen terakhir, memperlihatkan bahwa kekerasan seksual yang dialami seseorang memberi dampak besar baginya.
Secara keseluruhan film ini memperlihatkan bahwa gangguan mental itu dekat dengan kita. Orang terdekat kita bahkan diri kita sendiri berpotensi mengalami gangguan mental. Selain itu, kita juga harus belajar untuk tidak memberikan stigma negatif pada orang dengan gangguan mental. Mereka bukan untuk dijauhi, pun diisolasi. Sebaliknya kita harus memberi dukungan dan semangat untuk kesembuhan mereka sebab mereka pun berusaha keras melawan penyakitnya.
Identitas Film
Sutradara : Laura Dern, Bryce Dallas, Howard, Bonnie Hunt, Ashley Judd, Sharon Maguire
Pemeran : Brittany Snow, Sarah Hyland, Mitch Rouse, Jennifer Hudson, Sofia Vassilieva
Produksi : Echo Films
Durasi : 85 menit
Tahun Rilis : 2013
By: Apriastiana Dian
Sumber gambar : http://www.impawards.com/tv/posters/call_me_crazy_a_five_film_xlg.jpg
Let others know the importance of mental health !