Pijar Psikologi #UnderstandingHuman

View Original

CELUP, Sebuah Refleksi Akan Afeksi (dan Parenting) (Part 1)

Saat itu saya bertamu ke rumah Alm. Prof Ibu Amitya Kumara, seorang guru besar Fakultas Psikologi UGM yang berfokus pada kesehatan mental remaja. Di ruang tamunya, selepas membicarakan proposal penelitian, Ibu bercerita kepada saya bahwa salah satu kliennya yang masih SMA memiliki orang tua komplit tapi selalu merasa seperti yatim piatu.

Kenapa?

Karena anak tersebut tidak pernah melihat kemesraan orang tuanya. Ia pun tidak pernah merasa orang tuanya hadir untuk dia. Seolah-olah ‘tugas’ orang tuanya hanya untuk memberi uang jajan dan membiayainya sekolah.

Refleksi Mengenal Pentingnya Penunjukkan Rasa Kasih Sayang

Singkat cerita ketika ia SMA, ia berkesempatan untuk mengikuti pertukaran pelajar melalui program AFS. Selama satu tahun ia tinggal bersama keluarga kecil di Amerika Serikat. Sebagaimana budaya di sana, orang tua asuhnya di Amerika selalu memeluknya sebelum berangkat sekolah. Ketika makan malam, mereka selalu duduk bersama dan membicarakan berbagai topik kehidupan. Orang tua asuhnya juga selalu “menagih” cerita baru darinya yang ia pelajari selama hidup di Amerika.

Pertanyaan-pertanyaan seperti “What did you learn today at school?” “How’s your day?” “Are there any interesting stories you have today?” Membuat si anak selalu ingin bercerita setiap makan malam. Orang tua asuhnya pun selalu dapat memberikan tanggapan atas ceritanya.  Mereka selalu punya cerita masa muda untuk dibagikan ke si anak. Suasana makan malam selalu hidup dan penuh kehangatan.

Orang tua asuhnya pun tak gengsi untuk menunjukan romantismenya di depan si anak asuh dan anak kandungnya. Kadang mereka saling menggenggam tangan ketika cerita tentang masa muda. Di kesempatan lain, mereka tak segan pelukan dihadapan si anak. Kadang juga mereka saling mengecup kening atau bibir sekedar untuk mengekspresikan cinta mereka.

Di titik itu, si anak SMA sadar bahwa selama ini ia tidak pernah merasakan cinta dari kedua orang tuanya. Orang tuanya di rumah hampir tak pernah bicara, mereka hidup serumah, tidur sekamar tapi rasanya tak ada perbincangan tentang kehidupan. Fokus mereka hanyalah mencukupi kebutuhan finansial tetapi lupa mencukupi kebutuhan afeksi si anak. Romantisme mereka pun rasanya sudah tiada.

Jangankan mencium kening atau bibir, Ia tak pernah melihat orang tuanya bergandengan tangan dan berpelukan. Ia pun tak pernah melihat orang tuanya saling menatap pasangannya dengan cinta.

Di ruang konsultasi ia menangis, karena ia sadar bahwa orang tuanya tak pernah memeluknya. Jiwanya haus akan kasih sayang. Tubuhnya mendamba kehangatan

“Miskinnya” Pengekspresian Rasa Kasih Sayang Orang Tua

Saya dan Alm. ibu Ami berdiskusi bahwa cukup banyak anak remaja sekarang yang tidak dapat merasakan afeksi dari keluarganya, terutama afeksi dari fisik. Di beberapa negara di Asia seperti Indonesia dan Cina nampaknya memang tidak terbiasa menunjukan afeksi secara fisik. Berbeda dengan orang-orang Timur Tengah yang cukup ekspresif dalam menunjukan afeksi. Kalau di Timur Tengah, cowok-cowok Arab cipika cipiki dan tempel hidung katanya biasa saja.

Kebanyakan orang tua di Indonesia tidak begitu cakap dalam mengekspresikan emosi positif dan terbiasa mendidik anak dengan bahasa negatif seperti “kamu tidak boleh…..” atau “kamu jangan sampai….”.  Lebih parah lagi ancaman-ancaman seperti “kalau nangis, mamah gak sayang”, “kalau rewel bukan anak mamah” dan lainnya. Sedari kecil, sebagai anak, kita belajar bahwa cinta hanya bisa didapatkan jika kita berbuat baik. Kita tak pernah merasakan kasih ibu yang tak terhingga. Kasih ibu menjadi penuh syarat, kasih ibu sulit didapat.

Yang kami sepakati, mayoritas dari anak-anak yang tidak mendapatkan kasih sayang di rumah mencari berbagai bentuk kasih sayang di luar rumahnya. Sebut saja kecanduan akan game, narkoba, geng motor, dan terakhir, bermesraan bareng pacar yang diduga mengarah ke perbuatan asusila. Mereka melakukan itu karena mereka mencari pengakuan, mereka mencari kasih sayang.

Tidak Perlu Bermain Hakim Sendiri

Terkait dengan CELUP, nampaknya, sebelum main hakim sendiri dengan Cekrek, Lapor, dan Upload (CELUP), kita perlu membuka dialog dengan anak-anak muda itu tentang kenapa mereka bermesraan di publik? Bisa jadi, gadis SMP yang kita pergoki memeluk erat pacarnya karena ia habis dilecehkan oleh ayah kandungnya di rumah. Bisa jadi, dua laki-laki yang berpelukan ‘mesra’ karena mereka memang sudah lama tidak berjumpa. Bisa jadi alasannya sesederhana mereka tidak tau batas dan aturan sosial.

Kalau memang kita tulus ingin memberantas asusila, bagaimana jika melakukannya dengan cinta kasih? Ajak mereka berdialog, pahami mereka dan berikan petuah secara baik dan bijak. Dengan melakukan public shaming (mempermalukan di depan publik) seperti CELUP, kita hanya menjatuhkan harga diri anak-anak muda yang sudah terluka itu. Dan jika beritanya terdengar oleh orang tua mereka, kita hanya membuat hubungan keluarga makin runyam.

Memberantas asusila bukanlah dengan memberikan hukuman berupa pencemaran nama baik di media sosial. Akan tetapi, merefleksikan kecukupan afeksi untuk orang-orang terdekat kita.

Baca lanjutan pembahasan tentang fenomena CELUP di sini.

Let others know the importance of mental health !