Pijar Psikologi #UnderstandingHuman

View Original

CURHAT: Permasalahan dengan Calon Mertua dan Masa Lalu Pasangan Membuat Saya Ragu untuk Menikah

Curhat

Halo Pijar Psikologi!

Status saya sekarang adalah janda yang dianugerahi dengan anak kembar. Saya kemudian bertemu dengan seseorang pria bujangan yang umurnya 5 tahun lebih muda dibanding saya. Kami berpacaran dan memutuskan untuk pergi ke jenjang yang lebih serius. Kami bahkan sudah lamaran dan juga menentukan tanggal pernikahan bersama dengan keluarga besar dari kedua belah pihak. Hingga akhirnya kami bertengkar hebat dan suami saya pergi meninggalkan rumah orang tuanya. Calon mertua saya yang merasa curiga kemudian justru menyebarkan berita pada keluarganya bahwa saya melihat anaknya dengan sebelah mata, menganggapnya seperti pembantu saya. Padahal, saya tidak pernah memaksakan kehendak suami saya.

Saat mediasi dilakukan, ada kenyataan lain yang saya temukan dari calon suami saya. Ternyata ia bertemu lagi dengan teman dekat perempuan yang dia tahu dengan jelas bahwa saya pernah cemburu dengannya. Posisi saya memang sudah berbaikan dengan calon  suami saya, tetapi cewek ini masih saja sering update stattus di media sosialnya sambil menyinggung saya. “Kalau dia sayang kamu ga mungkin dia bakal ceritain semua aib kamu kepada saya,” itu adalah statusnya yang sangat melukai harga diri saya. Di satu sisi, saya memang merasa kecewa dengan apa yang dilakukan oleh calon suami saya, tetapi di sisi lain calon suami juga sudah meminta maaf dan bahkan hingga menangis menyesali perbuatannya. Rasanya saya ingin pergi jauh dan memulai hidup yang baru di tempat yang semua orang tidak mengenal saya. Tetapi saya masih mencintai calon suami saya. Perasaan saya saat ini antara sedih dan bingung. Apakah saya harus melanjutkan pernikahan ini meskipun hati saya masih sakit? Ataukah saya harus membatalkannya, meskipun mungkin ibu saya juga mungkin akan kecewa?

Gambaran: Perempuan, 30 Tahun, Pegawai Negeri Sipil.


Jawaban Pijar Psikologi

Terima kasih karena telah mempercayakan Pijar Psikologi untuk menjadi tempatmu berbagi cerita. Bagaimana kabarmu hari ini? Semoga kamu merasa jauh lebih baik sekarang.

Mempersiapkan pernikahan adalah kegiatan yang cukup menguras energi. Tak hanya fisik, tetapi biasanya perasaan pun turut mengalami perubahan yang signifikan. Beberapa ujian pun bermunculan, salah satu yang sering muncul adalah situasi yang membuat kita kembali mempertanyakan komitmen dan keyakinan untuk berumah tangga. Apa yang kamu alami saat ini, merupakan salah satu ujian menjelang pernikahan. Sebagaimana namanya, ujian adalah hal yang seringkali terasa menekan dan memberatkan. Maka ketika menghadapi ini semua, sangat wajar jika kamu merasa kelelahan, kewalahan hingga ingin lari dari semuanya. Pasti beberapa waktu belakangan, kamu kebingungan sekali dengan semua keadaan ini. Meskipun tidak mudah untuk menceritakannya, kami sangat mengapresiasi keinginanmu untuk mau perlahan terbuka melalui konsultasi online ini dan tidak menyimpan kebingungan itu sendirian. Semoga jawaban kami nantinya dapat sedikit membantu meringankan beban di hatimu.

Hidup berumah tangga merupakan sebuah tahapan besar bagi dua orang manusia. Setiap langkah dan prosesnya merupakan hasil kerjasama yang menuntut kebesaran hati dari kedua belah pihak yang menjalaninya. Hal terpenting yang perlu kita fokuskan sebelum mencapai jenjang tersebut adalah “kesiapan menikah”. Kesiapan menikah merupakan aspek penting untuk mencapai kesuksesan dalam berumah tangga. Kesiapan menikah tersebut terdiri dari kesiapan mengelola emosi dan mental, finansial, serta hal-hal yang berkaitan dengan interaksi sosial pada masing-masing latar belakang pasangan seperti keluarga maupun teman.

Hal-hal yang termasuk dalam kesiapan pernikahan tersebut bukanlah sesuatu yang instan untuk dapat dilakukan. Semuanya membutuhkan waktu secara perlahan. Langkah awal yang dapat dilakukan adalah dengan memperlancar “komunikasi” di antara kedua belah pihak. Komunikasi yang dimaksud adalah berlatih mengungkapkan keresahan-keresahan yang muncul di hati masing-masing pasangan. Sekecil apapun perasaan itu, sebagai contoh saat melihat pasangan tampak diam dan murung, Kamu dapat mengonfirmasi apa yang dilihat pada wajah pasangan dengan menyampaikan kalimat “hari ini wajahmu terlihat murung, adakah sesuatu yang ingin kamu ceritakan padaku?” Konfirmasi akan membuat kita terhindar dari prasangka yang mungkin sedang melingkupi kita, seperti: dia marah karena sikap ku, dia sudah tidak suka denganku, dan lain sebagainya.

Selain untuk melakukan konfirmasi, komunikasi juga ditujukan untuk menunjukkan “asertivitas” dengan menyampaikan pendapat mengenai apa yang kita rasakan kepada pasangan kita. Sebagai contoh saat pasangan meletakkan barang tidak pada tempatnya dan kita merasa jengkel akan hal tersebut. Agar kekesalan tersebut dapat sama-sama dipahami pasangan dan menjadi bahan pelajaran bersama, maka perasaan tersebut dapat kita sampaikan dengan cara yang asertif seperti “kamu akhir-akhir ini sepertinya sering sibuk ya mas, beberapa waktu terlihat buru-buru sampe lupa menaruh handuk pada tempatnya, meskipun sedang sangat sibuk semoga lain kali bisa disempatkan menaruhnya di jemuran ya mas”. Kamu dapat mencoba menyampaikan kalimat-kalimat asertif ini dengan perlahan dan nada suara yang tenang. Karena seringkali konflik besar terjadi akibat hal kecil, salah satunya salah paham akibat nada suara yang tidak sengaja meninggi. Meskipun pola komunikasi ini awalnya dimulai dari dirimu, semoga secara perlahan hal ini juga akan dirasakan dan juga dipraktekkan calon suami.

Setelah komunikasi antara kedua belah pihak semakin lancar dan terbuka, hal selanjutnya yang perlu dilakukan adalah menyiapkan mental dengan menguatkan komitmen menjadi pasangan suami istri. Meskipun hubungan rumah tangga akan selalu beririsan dengan lingkungan sosial pasangan, namun sepasang suami istri perlu menyadari bahwa pusat dari hubungan tersebut tetaplah diri mereka berdua. Sehingga, segala kondisi yang muncul dan memengaruhi pernikahan di luar diri mereka akan selalu dapat diatasi, karena pasangan suami istri sebagai pemeran utama yang menjalani dapat menguatkan diri satu sama lain.

Oleh karena itu, jika dikaitkan dengan apa yang sedang kamu alami saat ini, merasa tidak nyaman dengan sikap ibu mertua dan terluka akibat gangguan dari seseorang di masa lalu calon suami adalah hal yang sangat wajar. Ketika semua perasan tidak nyaman, jengkel, marah, sedih dan berbagai emosi negatif lainnya tersebut muncul, akan sangat mungkin menyebabkan keraguan pada diri akan hubungan ini. Akan tetapi, yang mungkin kamu perlu kuatkan pada diri bahwa inti dari rumah tangga ini adalah interaksi antara suami dan istri. Ketika calon suami sudah berusaha meyakinkanmu terkait komitmennya, maka sekarang kamu perlu tenang sejenak dan menanyakan pada diri sudah sejauh mana dirimu dapat meyakinkan diri sendiri dan membuat komitmen yang sama dengan suami.

Tidak perlu terburu-buru, ambil waktu senyaman yang dirimu butuhkan untuk memikirkannya. Ajak calon suami membuat kesepakatan-kesepakatan terkait pola komunikasi, cara penyelesaian masalah dan hal-hal lain yang berkaitan dengan komitmen pernikahan. Jika keduanya dapat bersepakat dan saling menguatkan, maka pilihan kemana arah hubungan ini akan dibawa dapat segera ditentukan.

Segala hal yang terjadi di luar diri kita adalah sesuatu yang tidak dapat kita kendalikan. Oleh karena itu, yang bisa kita lakukan adalah mengendalikan diri sendiri untuk dapat berdamai dengan apa yang sedang terjadi. Secara perlahan sikap memaafkan keadaan pun akan tumbuh dan hati akan menjadi lebih tenang. Kamu adalah sosok yang kuat dan memiliki kemampuan yang baik untuk menyelesaikan tantangan ini. Maka masalah yang saat ini yang sedang kamu alami pun perlahan-lahan akan dapat diatasi dengan baik. Semoga kamu sekeluarga selalu dilimpahi kebahagiaan dan juga ketenangan.

Terima kasih telah berbagi.

Salam,

Pijar Psikologi.


Catatan: Curhat adalah sesi konsultasi yang disetujui oleh klien untuk dibagikan kepada pembaca agar siapapun yang mengalami masalah serupa dapat belajar dari kisahnya.