Pijar Psikologi #UnderstandingHuman

View Original

Curhat: Sering Merasa Bersalah dalam Banyak Hal

Saya sering merasa bersalah terhadap suatu hal. Sampai terkadang mendominasi pikiran saya sehingga sering tertekan dan ingin segera meminta maaf, atau menyelesaikan suatu hal dengan segera. Keburukan saya adalah saya peragu untuk beberapa hal, dan itu tenyata memicu saya sering melakukan kesalahan, entah di pekerjaan kurang teliti, sulit melakukan pekerjaan di bawah tekanan, sehingga saya sampai berulang kali melakukan kesalahan.

Saat saya merasa tertekan karen sering “feeling guilty”, saya teringat di masa kecil saya. Saat usia 11 tahun, saya pernah dibentak habis-habisan oleh ibu saya. Awalnya di suatu malam, 1 keluarga sedang duduk-duduk di ruang tengah, sedang membahas sesuatu yang tentu saja tidak menyertakan saya. Saya dengar mereka membicarakan sesuatu tentang angka-angka. Saya menyimak pembicaraan mereka dari dalam. Semakin paham, saya akhirnya keluar kamar dan saya bicara “Itu apa sih kok ngomong angka-angka? Togel? Ya Allah…itu kan dosa…buat apa?”

Ibu saya menjawab “Kamu ini anak kecil, tau apa kamu? Kamu ini gak tau apa-apa!” Dan ibu saya memegang tangan kiri saya keras-keras, saya merasa sakit dan menangis. Ibu menyeret saya untuk masuk ke dalam kamar lagi. Semua yang ada di situ cuma diam, tak ada yang membela saya satupun tak ada. Saya saat itu hanya anak 11 tahun yang cuma bisa menangis saat disakiti. Saya merasa rendah diri, saya dari situ sering merasa bersalah untuk sebuah hal yang kadang kurang diperhatikan. Sejak kejadian itu saya menjadi orang yang terlalu hati-hati, saya takut siapapun tak berkenan dengan apa yang saya lakukan, puluhan tahun saya menahan semua ini, di pikiran saya, kenapa ibu selalu benar? Ibu selalu dominan, sehingga sering ada benturan pendapat antara kami.

Sering sekali saya berantem dengan ibu. Saya juga punya pikiran, Ibu ini kenapa gak sadar sih kalau dia pernah menyiksa batin saya dan tolong saya hanya ingin satu kata: MAAF. Itu aja…saya dan ibu saya tidak pernah berusaha menilai diri saya dengan objektif, ibu saya juga sering mencari kesalahan saya saat saya di posisi benar sekalipun. Saya merasa tak punya daya apa-apa. Karena saya hanya bisa mengalah, mengalah, mengalah. Saya rendah diri, saya tertutup, saya selalu punya “feeling guilty” terlalu dalam. Mahal harganya bagi saya mendapat teman yang mau memahami saya. Makanya saya berusaha belajar untuk memahami orang dulu, siapa tau dia tak berkenan untuk berteman dengan saya. Saya juga bisa marah, bahkan saya juga memang sering marah saat di rumah, sampai caci maki dari mulut ibu saya sudah keluar, dan cap anak emosian terlekat di benak ibu saya, tapi saya berusaha membuktikan di luar sana saya tak seburuk apa yang ibu sangkakan, tapi tetap perilaku peragu, takut orang tak berkenan, tetap tertanam di benak saya.

Saya kuliah di psikologi karena saya tahu saya berusaha untuk memahami perasaan orang lain. Betapa menderitanya sendirian seperti saya yang sering kesepian. Sekarang memang sedikit-sedikit saya bisa mengendalikan, karena saya sudah belajar psikologi 4 tahun, buat apa kalau saya tidak bisa mengatasi? Tapi kenyataannya tak semudah yang saya bayangkan. Saya masih perlu sebuah penyembuhan untuk bisa selesai dari perasaan-perasaan yang buruk itu, karena ternyata dampaknya amat sangat besar dalam hidup saya. Saya merasa belum selesai dengan masalah itu. Saya membutuhkan orang lain yang bisa mendengarkan saya. Selama ini saya juga merasa sendiri, meski saya juga mejadi pendengar curhatan orang lain. Mohon bantuannya. Terima kasih. Semoga cerita saya bisa bermanfaat untuk pembaca.

 

Jawab:

Sebelumnya, saya mengucapkan terima kasih atas kepercayaannya telah bercerita pada pijarpsikologi.com. Perkenalkan, nama saya Moya, salah satu konselor dalam tim pijar psikologi.

Pertama-tama, saya ingin mengucapkan selamat kepada mba, karena mba memiliki refleksi diri yang cukup bagus sehingga dapat memetakan masalah dan menemukan kira-kira apa yang menjadi sumber masalahnya. Tidak banyak orang (walaupun mereka pernah belajar psikologi) yang mampu secara sadar dapat menemukan inti permasalahan yang sebenarnya secara tepat.

Saya concern dengan kata-kata “perasaan bersalah” karena kata tersebut menghiasi beberapa paragraf dalam keseluruhan cerita mba. Feeling guilty is a strong emotion mba, dimana biasanya orang-orang menganggap perasaan bersalah sebagai sesuatu yang negatif, namun memiliki perasaan bersalah belum tentu selalu negatif. Semua harus dilihat dari seberapa besar kadar perasaan bersalah tersebut? Apakah besar sehingga menyebabkan fungsi/peran diri terganggu (misal pekerjaan jadi terhambat atau mood menurun sehingga selera makan terganggu) ataukah masih dalam batas normal?

Dari cerita mba, mba mengkaitkan antara perasaan bersalah dengan kejadian dulu saat dimarahi orang tua. Jika boleh berkomentar, mungkin permasalahan sebenarnya bukan terletak dari kejadian itu namun dari interaksi antara mba dengan ibu yang kurang harmonis. Saya menangkap adanya keinginan mba untuk mendapatkan kasih sayang dan dinilai baik oleh ibu yang belum tercapai.

Ada baiknya, mba berkomunikasi dengan ibu saat waktunya tepat (mungkin saat suasana hati ibu sedang senang). Bisa dimulai dari pertanyaan-pertanyaan kecil seperti, “Ibu sudah makan belum?” atau “Ibu capek ya? Mau dipijit?” dan sebagainya. Ciptakan kondisi yang nyaman dan rileks dan pelan-pelan utarakan perasaan mba dan keinginan mba kepada ibu, tentunya dengan kalimat yang sesuai dengan karakter ibu. Kata-katanya pun diatur sedemikian rupa agar tidak terkesan menggurui atau menyalahkan. Jika tanggapannya kurang baik atau terasa timingnya menjadi tidak pas, pelan-pelan hentikan pembicaraan. Keywordnya memang harus sabar karena memperbaiki hubungan juga memiliki proses dinamikanya tersendiri.

Jika dirasakan belum bisa menyampaikan keluh kesah itu pada ibu, mba bisa menumpahkannya pada teman mba atau dengan tulisan. Yang penting, keluarkan dulu rasa sesak yang menghimpit di dada itu sehingga tidak mengganggu peran/fungsi mba yang lainnya. Lewat diskusi dengan teman mengenai apa yang mba hadapi, mba dapat memiliki perspektif-perspektif positif lain yang mungkin sebelumnya belum terpikirkan.

Sekian dari saya. Mohon maaf sebelumnya jika ada kalimat yang kurang berkenan. Saya doakan semoga semuanya berjalan dengan lancar dan segala permasalahan dapat berakhir dengan baik. Amin.

Terima kasih telah berbagi.

Salam,

Pijar Psikologi.

 

Jawaban ini ditulis oleh : Moya Aristia, S. Psi. M. Psi., Psikolog

Sumber gambar:

rustandgolddust.com