Pijar Psikologi #UnderstandingHuman

View Original

Di Balik Fake Instagram Account

Siapa yang tidak tergiur oleh fitur-fitur media sosial? Media sosial kini sudah menjadi candu bagi penggunanya di berbagai penjuru dunia. Dengan persebaran informasi yang cepat dan jaringan yang luas, membuat media sosial hampir digunakan oleh seluruh manusia di dunia. Bahkan, ada yang memakai lebih dari satu akun untuk setiap media sosial. Apakah kamu salah satunya?

Instagram: Media Sosial Kekinian

Fitur-fitur yang ‘ramah’ dari Instagram menjadi magnet bagi berbagai kalangan, khususnya remaja. Dengan sekali sentuh, pengguna Instagram bisa mengetahui kehidupan orang lain via fitur live streaming, mengecek likes, komentar, membuka instastory, menjelajah akun instagram teman, melihat profil idola atau sekadar membuka explore. Instagram memudahkan kamu mengakses informasi dan hiburan. Penelitian di Amerika menunjukkan sebanyak 76% remaja mengakses Instagram 10-30 kali perhari.  Malah seringkali, sebelum upload, mereka bertanya dulu kepada orang di sekitar. Tanpa disadari untuk menerima banyak likes dan followers seseorang jadi harus mem-posting konten yang memuaskan bagi orang lain, bukan untuk kepentingan sendiri.

Kenalan Sama Finsta

Sudah pernah mendengar istilah Finsta? Finsta adalah singkatan dari Fake + Instagram = Finstagram = Finsta. Lawan kata dari finsta adalah rinsta yaitu real instagram account. Asal muasal para remaja memiliki finsta sebenarnya karena Instagram sendiri memberikan fitur multiple accounts. Setiap orang berbeda-beda dalam memanfaatkan fitur ini.

Mayoritas ingin memperoleh kebebasan dalam mengekspresikan diri dan melindungi diri dari nyiyiran orang lain di media sosial. Sebab sejatinya, seseorang memang membutuhkan wadah untuk menunjukkan ketertarikan terhadap sesuatu tanpa membuat risih followers. Terkadang, pengguna akun Instagram palsu juga ingin me-refresh pikiran dari akun kedua tersebut dengan cara memilih preferensi tersendiri terhadap akun siapa saja yang ingin ia ikuti dan sekiranya bisa memberikan inspirasi.

Tidak jarang demi stalking akhirnya terbitlah akun palsu instagram. Tidak hanya bertujuan untuk mengulik informasi kehidupan orang lain saja, lebih dari itu, sang pemilik akun palsu memiliki keinginan lain yang tersembunyi.

Sisi Lain Finsta 

Tidak semua orang bisa melihat apa yang diposting di fake account. Nama akun antara finsta dan rinsta juga biasanya berbeda jauh. Mengapa? Supaya tidak dapat diakses oleh sembarang orang. Isi dari finsta sebenarnya adalah sisi lain si pemilik akun.

Gambar random, ekspresi wajah yang ‘apa adanya’, curhatan yang hanya ingin dilihat oleh teman dekat. Sayangnya, tanpa disadari, terkadang keberadaan akun Instagram palsu yang dimiliki melatih seseorang untuk tidak menerima realita dan diri apa adanya. Seseorang tidak lagi leluasa mendefinisikan keberadaan diri dan merefleksikan konten yang diunggah, melainkan ia telah membiarkan lingkungan sosial untuk mengatur dirinya sedemikian rupa. (Mungkin) pengguna finsta hanya akan memasang foto dan menyuguhkan feed yang disukai oleh para followers.

Bebas Berekpresi Tapi Tetap Membatasi Diri

Seseorang bisa saja menipu diri yang sebenernya sedang galau jadi harus berpura-pura terlihat baik-baik saja di rinsta. Atau sebenarnya seseorang hanya sedang bersembunyi dari orangtua atau sanak saudara yang mengikuti akun Instagram. Supaya jika seseorang update, keluarga tidak bisa memberi komentar. Jika yang didapat dari keberadaan finsta adalah kesulitan menerima kondisi diri yang sesungguhnya, hati-hati karena pertanda pembentukan identitas diri dan pemahaman terhadap diri akan terpengaruh. Meskipun demikian, memiliki finsta adalah pilihan.

Coba tanya kepada diri sendiri, sebenarnya apakah diri ini berniat ingin mencari popularitas, tampil tanpa manipulasi, atau ada tujuan lainnya?

Tidak dapat dipungkiri, di media sosial memang orang memiliki kecenderungan untuk membuat citra diri positif. Mayoritas pengguna finsta menuangkan perasaan dan ekspresi yang sesungguhnya di akun yang palsu. Bisa saja awalnya hanya berniat menuangkan emosi pribaditetapi lama-lama jika tidak terkontrol dapat berpotensi untuk menyakiti orang lain secara verbal seperti memberi komentar negatif dengan dalih anonymous. Tentunya dengan bumbu ekspresi perasaan dan ucapan apa adanya tanpa takut diberi komentar. Sementara, rinsta cenderung digunakan oleh mereka yang ingin memberikan potret hal-hal yang menyenangkan. Mereka tidak ingin terlihat terpuruk, lemah, dan negatif.

“So, the real Instagram accounts are their fake selves, and the fake accounts are their real selves.”

Media sosial pada dasarnya memang memberi celah bagi penggunanya untuk bebas berkreasi. Kemudahan orang membuat finsta tidak sertamerta memberi dampak buruk. Mereka dapat membagikan celotehan personal yang bukan menjadi konsumsi publik, melainkan bentuk cerita yang ditujukan kepada orang-orang terdekat. Akan tetapi, beda cerita ketika finsta dimanfaatkan untuk ‘melarikan diri’ dari kehidupan nyata.

Berpura-pura baik padahal tidak. Mengapa? Karena hanya untuk mewujudkan keinginan diterima oleh teman atau followers Instagram. Bukankah lebih indah jika belajar untuk tidak terbius oleh dahsyatnya sosial media yang tanpa sadar telah mendorong diri untuk mencari kesempurnaan?