Pijar Psikologi #UnderstandingHuman

View Original

Diri dan Masa Lalu, Sebuah Pendekatan Psikoanalisis

Psikoanalisis dan Pembentukan Kepribadian Masa Kecil

Teori psikoanalisis sosial Karen Horney dibentuk berdasarkan asumsi bahwa kondisi so­sial dan kultural, terutama pengalaman masa kanak-kanak sangat berpengaruh terhadap pem­bentukan kepribadian seseorang. Individu yang tidak mendapatkan cinta dan kasih sayang yang cu­kup selama masa kanak-kanak akan mengembangkan rasa permusuhan dasar terhadap orang tua mereka, sehingga timbullah kecemasan dasar di dalam diri mereka. Untuk melawan kece­masan dasar tersebut, individu melakukan perlawanan terhadap kecemasan dasar tersebut de­ngan cara berhubungan dengan orang lain, yakni:

  1. Mendekati orang lain,

  2. Melawan orang lain,

  3. Menjauhi orang lain

Akan tetapi hanya individu yang tidak memiliki kebutuhan khusus atau gangguan psikologis tertentu yang dapat melakukan hal tersebut. Ber­beda dengan individu dengan gangguan neurotik yang cenderung berperilaku kompulsif. Perilaku yang kompulsif tersebut dapat berkembang menjadi konflik intra­psikis yang berupa gambaran diri ideal maupun kebencian diri.

Kepribadian Dibentuk dari Kondisi Sosial Budaya

Teori Horney tentang neurosis didasarkan pada konsep gangguan psikis yang membuat orang terkunci dalam lingkaran yang membuat tingkah laku tertekan dan tidak produktif, ke­mudian dikenal sebagai masalah kecemasan. Horney mengemukakan sepuluh kebutuhan neu­rotik, yakni kebutuhan-kebutuhan yang timbul sebagai akibat dari usaha menemukan pemecahan-peme­cahan masalah gangguan antara hubungan manusia.

Sesuai dengan teori Karen Horney tentang teori sosial psikoanalitik, kepribadian sebagian besar terbentuk dari kondisi sosial, budaya dan lingkungan masa kecil. Tanpa mendiskreditkan salah satu budaya, misalnya anak perempuan yang dididik dalam budaya yang patriarki dan cenderung menuntutnya untuk patuh tanpa adanya diskusi terlebih dahulu. Aturan-aturan budaya tersebut mungkin saja justru membuatnya ingin memberontak namun di satu sisi, budaya itu juga sangat mengikat pada diri.

Refleksi Diri

Refleksi penulis terhadap diri sendiri dan dikaitkan dengan teori psikoanalisis menemukan tiga kepribadian besar yang ada pada diri penulis, yaitu:

  1. Suka bersaing

  2. Penyendiri

  3. Ekspresif dalam menyampaikan sesuatu dengan menulis.

Dalam keluarga, penulis juga sering diajari adab-adab yang normatif. Namun, secara tidak langsung penulis juga dididik untuk terus bersaing menjadi pemenang, ambisius dan kejam, sebut saja mendekati sifat agresif. Anggapan dan juga harapan orang lain juga sangat tinggi. Kedekatan dengan budaya leluhur seperti mata rantai yang selalu mengikat. Selalu diikat oleh aturan-aturan yang ada sehingga dalam kehidupan sehari-hari penulis menjadi orang yang sangat kaku pada aturan yang berlaku. Marah jika ada orang yang melanggar aturan, baik itu aturan secara formal maupun aturan yang disepakati bersama.

Dalam teori Karen Horney, “Masa kanak-kanak adalah tempat sebagian besar kehidupan dan masalah neurotik berasal.” Semenjak kecil budaya yang diterapkan di rumah serasa mengekang penulis. Semua itu dianggap kolot dan berakibat pada masa sekarang. Anak yang berprestasi sedari kecil, mungkin saja adalah manifestasi dari didikan budaya yang sangat ketat. Pagi hingga siang belajar di sekolah, siang hingga sore berlatih seni karawitan dan malamnya harus belajar untuk persiapan esok hari. Tidak ada waktu untuk main. Rutinitas seperti itu dilaksanakan sejak dini hingga beranjak SMP.

Horney berkata bahwa, “Ajaran budaya kekeluargaan dan kerendahan hati yang bertentangan dengan sikap, yaitu agresi dan dorongan untuk menang”.  Permintaan masyarakat akan kesuksesan dan pencapaian hampir tidak ada habisnya sehingga kita memiliki tujuan tambahan baru yang ditempatkan di hadapan sepanjang waktu. Lebih jauh, masyarakat mengatakan kepada orang-orang bahwa mereka bebas dan dapat mencapai apa pun dengan kerja keras dan usaha tanpa memperhatikan genetika, posisi sosial , dan daya saing orang lain.  Semua kontradiksi ini berasal dari pengaruh budaya, bukan biologis. Dan itu penulis rasakan dalam keluarga yang mengajari adab-adab yang normatif, namun juga secara tidak langsung untuk dididik dalam persaingan menjadi pemenang dan ambisius. Alangkah baiknya bila keluarga dan rumah menjadi tempat nyaman bagi seorang anak, bukan malah menjadi tempat mereka di-forsir hanya untuk memenuhi ekspektasi-ekspektasi semu dari orang lain.

 

Artikel ini adalah sumbang tulisan dari Tambara Boyak, seorang mahasiswa Psikologi Universitas Mercu Buana Jakarta. Ia bisa dihubungi di akun Instagram: @tambara.boyak