Pijar Psikologi #UnderstandingHuman

View Original

Fakta Mengenai Compulsive Shopping

Kita mempunyai maksud tertentu saat membeli suatu barang. Entah untuk mencukupi kebutuhan fisik maupun emosional. Kegiatan berbelanja dapat menguntungkan diri sendiri karena kebutuhan kita akan terpenuhi. Namun, apabila justru dijadikan sebuah pelarian dari masalah, stres, atau tekanan, berbelanja bisa menganggu aktivitas keseharian kita.

Onomonia merupakan istilah yang digunakan bagi orang yang “gila” belanja. Kita lebih mengenalnya dengan istilah shopaholic, shopping addiction, atau compulsive buying. Sama halnya dengan adiksi, shopaholic atau pelaku compulsive shopping merasakan puncak perasaan ekstasi saat melakukan transaksi belanja. Kebutuhan untuk perasaan ekstasi itu sebagai manifestasi untuk menutupi diri dari perasaan cemas, ketidakberdayaan, kesepian, atau kemarahan.  Perasaan itu hanya sementara dan membuat shopaholic harus cepat menerima kenyataan pahit dari realitanya. Pada akhirnya shopaholic akan tetap dihantui dengan perasaan bersalah, tidak berdaya, bahkan kemarahan pada diri sendiri. Berikut ada beberapa fakta mengenai compulsive shopping. 

Peran Internet Mendukung Compulsive Shopping 

Kecanggihan teknologi memberikan cara praktis untuk bisa berbelanja dengan satu ‘klik’ saja. Berbelanja di rumah atau dimanapun lokasinya dengan bantuan internet memberikan kenyamanan tersendiri, menghemat waktu, uang dan tenaga. Kenyamanan itu membuat pembeli terlena dengan jumlah pengeluaran yang tidak disadari. Tidak hanya itu, ternyata compulsive shopping juga dapat terjadi ketika Anda terhibur dengan iklan produk tersebut atau bahkan mendapati idola yang Anda cintai juga memakai produk yang sama.

Membeli barang yang tidak biasa, terbatas dan dalam ‘tekanan’

Compulsive Shopping dapat terjadi ketika kita melihat sebuah barang yang sama sekali berbeda tampilannya misalnya desain, merek, bentuk, kegunaan dan lainnya. Barang yang ketersediaannya terbatas memunculkan keinginan kita untuk menjadi salah satu orang yang memilikinya di dunia ini.

Tekanan dapat terjadi ketika barang tersebut hanya dijual dengan harga murah dan mendapatkan bonus pada tanggal tertentu saja. Hal ini tentu memacu adrenalin untuk mendapatkannya, bahkan tidak masalah jika menunggu berjam-jam dengan antrian panjang asal bisa mendapat lebih barang tersebut.

Compulsive Shopping dapat didasari oleh kemarahan, kejenuhan dan stres

Cara setiap orang menyelesaikan masalah tentu berbeda-beda. Tak jarang jika seseorang memilih berbelanja untuk menurunkan tingkat stresnya. Berbelanja memang dapat memicu perasaan yang lebih baik, namun ternyata perasaan menyenangkan itu hanya bertahan sementara saja. Alih-alih menyelesaikan masalah, bisa justru menimbulkan masalah baru. Misalnya saat ingin melampiaskan stres dengan berbelanja, namun keuangan tidak mendukung.

Compulsive Shopping dari sisi gender dan usia

Dari segi gender, wanita memiliki tendensi untuk melakukan impulsive buying lebih besar daripada pria. Wanita cenderung menggunakan sisi emosional dan alasan ‘hubungan dekat’ dengan orang lain dalam membeli barang, sedangkan pria membeli sesuatu dengan melihat kegunaan barang tersebut bagi dirinya.

Dibandingkan usia tua, ternyata usia 18-39 tahun dinilai rentan mengalami impulsive buying. Lebih tepatnya, berkembang pada masa akhir remaja dan awal usia 20 tahun-an. Usia muda tersebut dinilai menjadi masa dimana orang-orang tidak merasa cemas untuk menghamburkan duit dan biasanya usia ini memiliki kontrol diri yang rendah.

Berbelanja memang dilakukan untuk memenuhi suatu kebutuhan secara fisik maupun emosional. Perilaku berblanja dapat menguntungkan asal dalam porsi secukupnya. Saat berbelanja baiknya kita menyadari terlebih dahulu kebutuhan yang ingin dipenuhi, spesifikasi barangnya, serta keadaan finansial. Apabila mencukupi maka berbelanjalah. Berbelanja dapat merugikan apabila kita tidak menyadari kebutuhan diri saat berbelanja.