Pijar Psikologi #UnderstandingHuman

View Original

Grisi Siknis, Usaha Menalar Gangguan Berbasis Budaya

Coba bayangkan ketika sedang bersama dengan keluarga, kemudian tiba-tiba badan kita terasa kaku dan pandangan menjadi kabur. Kita merasa semakin jauh dari kesadaran dan mulai merasakan ketakutan yang sangat kuat sehingga memutuskan untuk lari sekencang-kencangnya. Rasanya ingin mencabik apapun yang ada disekitar dengan memukuli barang, mencabuti rambut kepala, dan bahkan ingin menguliti diri sendiri. Inilah yang disebut dengan Grisi siknis.

Grisi siknis adalah istilah dalam bahasa Miskito yang bermakna penyakit kegilaan (crazy sickness). Nama lainnya adalah “Nil siknis”, “Chipil siknis” atau “ Grisi munaia”. Miskito adalah suku lokal yang bermukim di Nikaragua, Amerika Tengah. Di suku ini, seseorang dikatakan mengalami Grisi siknis ketika ia menunjukkan gejala kehilangan kesadaran dalam waktu yang lama. Saat fase kambuh, orang yang mengalami Grisi siknis akan dihantui dengan perasaan cemas berkepanjangan disertai rasa marah yang berlebihan.

Grisi siknis menyerang perempuan

Fenomena ini mulai dikenal oleh khalayak sejak adanya wabah Grisi siknis di tahun 1850-an. Hal ini pertama kali diangkat oleh seorang traveler dan komentator dari Inggris yang berkunjung ke daerah suku Miskito. Ia melihat seorang wanita muda yang berteriak secara histeris dengan perilaku agresif. Para tetangga membawa perempuan tersebut ke seorang “tetua” yang kemudian menanganinya dengan mengoleskan tongkatnya ke wajah si perempuan. Setelah itu, sang tetua mengucapkan beberapa doa dan meminumkan air untuk perempuan tersebut.

Dalam mayoritas kasus yang terjadi, Grisi siknis ini menyerang perempuan produktif berusia 14-18 tahun. Setelah bangun dari “koma”, penderita Grisi siknis akan tiba-tiba bangun dan lari untuk menghindari “musuh yang tak terlihat”. Beberapa dari mereka juga akan memukuli barang dan orang yang ada di sekitar seakan-akan memiliki kekuatan supranatural.

Tak hanya itu, Grisi siknis juga dipercaya bisa menular ke orang lain yang berada di sekitarnya. Dari sisi psikologi, menularnya gangguan ini melibatkan sugesti. Sugesti adalah pengaruh psikis yang datang dari diri sendiri maupun dari orang lain tanpa adanya daya kritik dari individu yang bersangkutan. Reaksi sugesti ini dapat terjadi secara perorangan atau bersama-sama.

Belum diketahui penyebab pastinya

Orang Miskito sendiri memercayai penyebab Grisi siknis ini adalah gangguan dari iblis yang melakukan kontak seksual dengan para wanita Miskito. Dalam tradisi Miskito, orang yang mengalami Grisi siknis akan ditangani dengan cara-cara tradisional. Misalnya dengan ritual khusus, meminum air kelapa dan obat-obatan herbal. Sayangnya, mayoritas orang Miskito belum mencari penanganan secara biomedis. Mereka percaya bahwa gangguan ini bukan disebabkan oleh penyakit, namun karena roh jahat, yang hanya bisa disembuhkan dengan bantuan dukun.

Asosiasi Psikologi Amerika (American Psychological Association) sendiri belum dapat mendefinisikan gangguan ini secara spesifik. Selain karena gangguan ini belum diketahui penyebab pastinya, beberapa ahli memercayai bahwa gangguan ini adalah salah satu produk dari budaya. Ahli dari Barat menjelaskan fenomena ini sebagai manifestasi dari tekanan  fisik dan emosional yang dialami oleh wanita Miskito karena kemiskinan yang berkepanjangan. Penelitian tahun 2005-2008 menjelaskan bahwa faktor sosio-ekonomi, budaya dan lingkungan menjadi penyebab menjalarnya Grisi siknis.

Dalam DSM IV, Grisi siknis masuk dalam kategori sindrom berbasis budaya (culture-bound syndrome). Sindrom terkait budaya ini merujuk pada suatu kondisi mental atau sindrom psikiatris yang terjadi dan perwujudannya sangat terkait dengan faktor budaya. Sehingga dalam penanganannya memerlukan pemahaman juga pengelolaan dari perspektif budaya itu sendiri. Di Indonesia, kita kenal akan fenomena kesurupan. Di Malaysia, dikenal juga istilah amok.

Budaya memengaruhi pemahaman akan kesehatan dan keadaan sakit yang dikonseptualisasikan oleh orang-orang dalam budaya tersebut. Hal ini berpengaruh pada bagaimana orang memahami keadaan sakit dan bagaimana ia akan mencari pertolongan. Inilah hal yang perlu dipahami tentang bagaimana sebuah fenomena dan gangguan dapat terjadi serta bagaimana mendapat penanganan yang baik.