Pijar Psikologi #UnderstandingHuman

View Original

Magteld Smith: Dunia Hening Tidak Menghentikan Langkahnya

“Setiap kehidupan seseorang yang tuli tidak ada hubungannya dengan gangguan pendengaran mereka yang hanya diukur lewat desibel”

-Magteld Smith

Magteld Smith terlahir dengan tuli congenital atau mengalami tuli sejak lahir. Magteld Smith lahir dari ayah dengan pendengaran normal dan ibu yang tuli. Selain Magteld, kakak laki-lakinya juga tuli. Magteld terlahir dengan keadaan berbeda yang telah disadari oleh kedua orang tuanya. Magteld lahir di tanggal kelahiran yang melewati hari perkiraan lahir dan terlahir dalam kondisi kulit yang biru. Selanjutnya, tumbuh kembang Magteld terlambat dan Magteld tidak merespon terhadap stimulus suara.

Orang tua Magteld telah mencurigai bahwa Magteld mungkin memiliki kebutuhan khusus. Di saat Magteld menginjak usia tiga tahun, orang tua pun membawa Magteld ke dokter ahli telinga, hidung, dan tenggorokan (THT). Disinilah kemudian kalimat yang mengkonfirmasi kecurigaan orang tua Magteld dinyatakan oleh dokter: “Dengan menyesal, saya menyatakan anak perempuan Anda tuli.” Pertanyaan pertama yang muncul dalam benak orang tua Magteld adalah apakah Magteld dapat berbicara?

Para ahli menyatakan Magteld masuk ke dalam kategori anak dengan disabilitas yang tidak dapat diberi pendidikan. Namun demikian, orang tua Magteld menolak untuk percaya akan hal ini. Orang tua Magteld memilih tetap membesarkannya dengan bahasa verbal. Ini merupakan cara yang banyak disebut orang sebagai hal yang tidak mungkin namun orang tua Magteld tetap menerapkannya.

Banyak cara dilakukan oleh orang tua Magteld untuk memberikan pendidikan pada Magteld. Hal yang paling utama yang harus dikenal Magteld sebelum ia melangkah lebih jauh adalah Magteld harus mengenal suara. Ibu Magteld melakukan banyak cara untuk mewujudkan hal ini. Salah satu cara ibu Magteld untuk mengenalkan suara padanya adalah dengan cara menempatkan tangan Magteld pada wajah dan bibir ibunya. Dengan cara ini, Magteld dapat mengetahui posisi bibir dan lidah ibunya saat ibunya membuat suara. Ibunya juga membentuk mulut Magteld untuk mengenalkannya terhadap huruf-huruf vokal. Ibunya lalu memasukkan tangan Magteld ke dalam mulutnya untuk membantu Magteld merasakan getaran yang terbentuk saat suara dibuat. Magteld kemudian menirukan apa yang telah ditunjukkan oleh ibunya.

Awalnya ibu Magteld mengajarkannya tentang bagaimana cara membentuk suara, kemudian membantunya belajar untuk membentuk suara huruf-huruf lalu perlahan mengajarkan Magteld tentang suku kata. Setelah dibantu dengan gambar-gambar dan pemaparan benda langsung, Magteld akhirnya mampu untuk mengatakan kata secara utuh meskipun masih beberapa. Perlahan, Magteld juga mampu membuat koneksi antara suara yang dibuat dan maknanya. Usaha keras orang tua, kakak laki-laki Magteld dan diri Magteld sendiri membuahkan suatu pola komunikasi. Meskipun sulit dan membutuhkan kesabaran serta persistensi yang tinggi, mampu mengenali suara dan berbicara adalah suatu kemajuan besar untuk perkembangan Magteld.

Saat usianya cukup, Magteld pun disekolahkan oleh orang tuanya. Hidup dan besar di Afrika Selatan pada awal tahun 1970an membuat Magteld jauh dari pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus. Lalu apa yang dilakukan oleh orang tua Magteld? Orang tua Magteld memegang teguh prinsip bahwa Magteld tidak akan dibesarkan dengan cara yang berbeda dari anak lain. Hal ini termasuk dari komunikasi sehari-hari yang dibesarkan dengan komunikasi verbal. Untuk edukasi Magteld pun dimasukkan ke sekolah umum. Setelah Magteld mampu mengenal suara dan berbicara, tantangan tidak pernah berhenti disitu. Beradaptasi dengan sekolah umum menjadi hal selanjutnya.

Magteld tetap berhasil dengan pendidikannya di sekolah umum meskipun memiliki kebutuhan khusus. Ia memiliki dua orang teman dekat saat ia menghabiskan masa-masa sekolahnya. Kedua orang temannya inilah yang membantu Magteld melewati masa pendidikannya di sekolah umum. Meskipun menurut Magteld, kedua temannya ini tidak benar-benar memahami kondisinya, namun teman-temannya menyadari bahwa Magteld butuh bantuan.

Namun di balik kesuksesan pendidikan di sekolah umum yang sangat dibanggakan Magteld ini, Magteld tetap merasa sendiri. Banyak diolok dan menerima bully di sekolah ini menjadi penyebabnya. Magteld berpendapat bahwa anak-anak yang kehilangan pendengaran memiliki risiko yang lebih besar terhadap kesulitan berkaitan dengan emosional dan perilaku daripada anak-anak normal. Hal ini dirasakan Magteld sebagai akibat dari perilaku guru dan isolasi sosial yang diterima. Magteld sering mengalami ketidakberdayaan dan takut terhadap tatapan-tatapan yang diberikan orang lain kepadanya. Dalam situasi-situasi seperti ini kepercayaan diri seorang Magteld Smith diuji.

Saat Magteld duduk di kelas 4 sekolah dasar, ia merasa masuk ke dalam mimpi buruk. Guru-guru yang ada di sekolah bersikap kasar kepadanya. Tuli masih diartikan sebagai hal yang berkaitan dengan kebodohan. Magteld sering kali menerima kekerasan fisik dari gurunya dalam bentuk pukulan dengan menggunakan tongkat kayu. Di masa sekolahnya, Magteld sangat baik di bidang geografi dan sejarah, namun demikian ia gagal dalam ujian ini karena gurunya menolak memberikan ujian secara tertulis. Saat gagal dalam ujian ini, Magteld lalu dipukul oleh gurunya karena dianggap bodoh dan tidak mau belajar. Dikarenakan tekanan yang terlalu berat yang dirasakan Magteld, ia memutuskan untuk mencari sekolah yang lebih mampu mengakomodasi dirinya. Magteld lalu masuk ke sekolah yang khusus menangani murid dengan gangguan pendengaran. Meskipun sekolah khusus ini berjarak ribuan kilometer jauhnya dari Magteld saat itu, namun ia bertekad ia layak menerima yang lebih baik. Dari sinilah kemudian pendidikannya melesat jauh lebih baik karena menerima pendidikan dengan cara yang seharusnya diterimanya untuk dapat memaksimalkan kemampuannya.

Seluruh kerja keras Magteld terbayar. Saat ini Magteld adalah seorang doktor dan peneliti yang terus mengabdikan dirinya untuk terus membantu orang lain dengan gangguan pendengaran. Penelitannya tentang penanganan orang dengan gangguan pendengaran di Afrika Selatan memberikannya gelar Ph.D dari Universitas Free State di Afrika Selatan. Menurut Magteld yang menjadi masalah utama saat ini adalah pandangan orang awam terhadap orang dengan gangguan pendengaran atau yang bahkan sama sekali kehilangan pendengarannya. Orang selalu beranggapan orang tuli adalah orang yang tidak mampu dalam banyak hal, misalnya kecerdasan, bakat atau lainnya. Hal ini yang kemudian menjadi dampak buruk untuk emosional orang dengan gangguan pendengaran. Pada akhirnya semua kembali kepada bagaimana keluarga terutama orang tua dapat terus memberikan dukungan kepada anak mereka di luar apapun kebutuhan khusus yang mereka miliki. Magteld berpendapat bahwa orang tua merupakan supir, dimana hanya mereka yang mampu mengendalikan keadaan, bukan orang lain atau bahkan para ahli. Percaya bahwa suatu saat anak akan menjadi brilian dengan keistimewaan mereka lalu berkesempatan menyaksikan saat indah itu adalah kebahagiaan yang tidak ternilai.


Biogafi dihimpun dari situs www.medel.com

By: Ayunda Zikrina

Featured Image Credit:  www.hearzone.net