Pijar Psikologi #UnderstandingHuman

View Original

Memahami Lima Tahapan Kesedihan Setelah Perpisahan

Banyak dari kita yang mengalami masalah dalam menjalin hubungan asmara. Tidak bisa dipungkiri juga masalah percintaan memang selalu menjadi momok, bukan hanya bagi anak muda tetapi juga orang dewasa. Sering kita temui berita-berita di koran atau televisi tentang anak SMP yang menyudahi hidupnya karena ditolak pujaan hatinya. Atau berita tentang orang dewasa yang memilih jalan serupa setelah perpisahan dengan pasangannya.

Cinta memang perkara yang kompleks, karena dari awal kita menghembuskan napas di bumi ini kita tidak memiliki buku panduan yang pasti dalam menjalin hubungan asmara dengan lawan jenis. Begitu juga bab tentang asmara selalu menjadi topik utama dan menarik.

Denial (Penyangkalan)

Memang hubungan asmara itu manis dan indah. Tapi tidak semua yang kita pikir indah akan berakhir indah. Siap tak siap kita akan berada di posisi berpredikat ‘kehilangan’. Bagaimana tidak, jika dopamin yang mengalir  keluar ketika sedang bersama pasangan, terhenti seketika. Senyawa kimia yang mampu menghentikan aliran darah ke otak membuat logika menjadi tumpul demi pembenaran akan perasaan yang dilebih-lebihkan, padahal biasa saja. Candu untuk terus bersama terhadang kenyataan sudah berpisah. Kehilangan, ditinggalkan, dicampakkan, banyak dari kita yang tidak siap untuk menghadapinya. Seringkali kita tidak bisa menerima kenyataan mengapa kita harus ditinggalkan. Inilah fase pertama yang dinamai dengan denial, atau fase penyangkalan.

Tak jarang, kita jadi merasa hampa dan tidak punya arah serta tujuan hidup. Namun, ketika di fase ini kita mampu menerima kenyataan, bahwa ia telah pergi, fase penyembuhan kita dari rasa kehilangan akan lebih mudah dilakukan. Tak apa, tiap orang punya waktunya masing-masing. Asalkan kita bisa mencoba menerima, maka sebenarnya diri kita akan menjadi lebih “kuat”.

Anger (Kemarahan)

Mencintai seseorang kadang semenyakitkan itu. Tapi apa benar kita telah benar-benar mencintai seseorang? Tanyakan pada dirimu, apa benar kau mencintai orang yang membuatmu patah hati itu? Coba dipikir lagi, jangan-jangan yang salah adalah pikiran kita. Terkadang sosok cinta itu bisa terbang bebas menembus langit imajinasi penulis novel fantasi. Dan kita lah sang penulis itu. Kita terlalu mengagung-agungkan sosoknya ketika bersama kita. Kita pikir kehadirannyalah yang kita cari selama ini, sehingga pikiran kita akan membawa kita terlalu jauh melewati panggung pernikahan, rumah pertama, mobil impian, anak-anak, sampai duduk berdua di kursi dengan wajah semakin keriput. Itu adalah kehidupan sempurna yang tergambar jelas di otak kita ketika kita merasa kita mencintai seseorang.

Disinilah kemudian timbul rasa marah ketika kehidupan sempurna yang kita agungkan itu tidak terjadi. Kemudian kita menyalahkan diri sendiri, mempertanyakan keberadaan Tuhan, dan selalu mempertanyakan mengapa hal buruk ini terjadi pada diri kita. Inilah yang disebut sebagai fase anger atau fase kemarahan.

Bargaining dan Depression

Pada fase ini kita akan mulai berandai-andai, “Seandainya saja…”, “Andaikan aku dulu…” Dalam fase ini kita seakan ingin kembali pada kejadian sebelumnya dan memperbaiki segalanya. Apabila kita tidak bisa bangkit dari fase ini, maka yang terjadi adalah depresi. Kehampaan yang kita rasakan, rasa penyesalan, dan kesedihan berkumpul menjadi satu.

Acceptance (Penerimaan)

Di akhir lima tahapan kesedihan (Five Stages of Grief) kita akan belajar tentang acceptance atau penerimaan. Menerima keadaan, menerima kenyataan. Jika ia memilih pergi, ya silahkan. Itu adalah haknya. Kenangan-kenangan selalu memberontak untuk ditampilkan dan diputar dalam kepala. Walau hati ini sulit, tapi dengan melepasnya itu adalah suatu cara kita mencintainya. Doakan dia bahagia dengan pilihannya. Kita pun harus bahagia. Karena akan sulit bagi siapapun penerus dirinya untuk mengemban peran menggantikannya jika ia diberi tanggungjawab besar untuk mencintai kita yang tidak bahagia. Bahagia adalah tanggungjawab kita sendiri. Mencintai adalah risiko yang kita tanggung sendiri.

——-

Mulai melangkah dengan mengubah sosok menjadi subjek. Dengan mencintai suatu subjek, kita tidak akan membayangkan hal-hal imajinasi berkecamuk terlalu jauh, karena itu bukan tanggungjawabnya. Yang kita perlu lakukan hanyalah mencintai ia pada saat ini, berusaha melakukannya sebaik mungkin, urusan nanti perkara dialah ‘orangnya’ atau bukan, kita akan tahu jika kita sudah diberitahu oleh-Nya.

 

Artikel ini adalah sumbang tulisan dari Erkan Pane. Ia ingin tulisannya berguna bagi pembaca Pijar Psikologi.  Erkan Pane bisa dihubungi di akun Twitter @erkanpane dan Instagram @erkanpane.