Memahami Lupa dari Kacamata Psikologi
Berapa kali kita lupa dengan janji untuk bertemu, kata-kata yang telah terucap, nama orang yang baru saja kita kenal, serta waktu dan prioritas kita? Banyak kesempatan yang terlewat atas dasar kita lupa. Setiap orang pasti pernah mengalami lupa. Kita melupakan hal-hal besar atau tidak terlalu mengingat hal-hal kecil. Lalu, apa sebenarnya yang membuat kita melupakan sesuatu?
Artikel ini akan membahas tentang mengapa kita mengalami lupa berdasarkan pendekatan psikologi.
Banyak penelitian telah mengkaji tentang pikiran dan memori manusia, tetapi masih saja belum mampu menguak tentang kompleksitasnya. Namun demikian, menurut para psikolog, ada dua alasan utama mengapa kita melupakan suatu informasi, yaitu:
1.Interferensi
Kita menyimpan informasi, tetapi tidak dapat mengingat atau tidak bisa mengaksesnya ketika kita membutuhkan informasi tersebut. Namun, di kemudian hari mungkin saja kita mengingat kembali informasi yang dahulu kita butuhkan. Hal itu bisa jadi karena adanya interferensi. Dalam psikologi, interferensi dijelaskan sebagai suatu keadaan dimana informasi atau ingatan hilang disebabkan adanya campur tangan, gangguan, atau interferensi dari hal lain baik yang memiliki kemiripan satu sama lain ataupun tidak.
Interferensi ini hanya menyebabkan kelupaan sementara dimana jika informasi yang dilupakan itu digali lagi, maka informasi yang kita butuhkan akan kembali. Kelupaan karena interferensi misalnya pada kasus siswa-siswa di sekolah yang seringkali mengalami lupa karena banyaknya materi yang dipelajari.
Interferensi terbagi menjadi dua jenis, yaitu interferensi retroaktif dan interferensi proaktif. Interferensi retroaktif menunjukkan bahwa informasi yang sudah ada sebelumnya, diganggu oleh informasi yang baru saja diperoleh. Sebagai contoh, rumus matematika yang sudah diajarkan minggu lalu, terganggu oleh rumus matematika yang baru saja dipelajari di hari ini. Dengan begitu, maka rumus matematika yang diajarkan sebelumnya terlupakan. Interferensi proaktif menunjukkan bahwa informasi yang baru saja diperoleh diganggu oleh informasi yang sudah ada terlebih dahulu. Misalnya, rumus matematika yang baru saja diajarkan terganggu oleh rumus matematika yang sudah diajarkan seminggu sebelumnya, sehingga yang diingat adalah rumus matematika yang diajarkan minggu lalu.
2. Kemunduran (Decay)
Memori kita tidak lagi menyimpan informasi yang kita butuhkan secara permanen. Semua jejak fisik memori telah menghilang dan tidak tersedia lagi sehingga kita pun tidak bisa lagi mengaksesnya. Hal tersebut bisa saja terjadi karena adanya kemunduran (decay). Kemunduran tersebut dalam psikologi dijelaskan dalam sebuah teori bahwa seseorang bisa melupakan sesuatu karena ingatan tersebut termakan oleh waktu dengan sendirinya. Hal itu diperkuat dengan sebuah penelitian yang menjelaskan bahwa informasi yang ada di memori manusia bisa saja mengalami pemudaran atau kemunduran karena informasi tersebut tidak digunakan lagi.
Sebagai contoh dari teori kemunduran, yaitu hilangnya ingatan kita tentang kejadian apa saja yang kita alami ketika berusia tujuh tahun. Atau hilangnya ingatan kita tentang apa saja yang terjadi pada hari pertama kita masuk ke sekolah menengah, dan lain sebagainya. Ketika kita berusaha menggali informasi tentang hal-hal tersebut, kita tidak mampu memnemukannya. Hal tersebut karena kejadian-kejadian itu tidak lagi tersimpan dalam memori atau karena kita tidak benar-benar menganggap memori itu penting sehingga ingatan tersebut akan memudar seiring berjalannya waktu.
Pada penelitian lain, beberapa peneliti sepakat menyatakan bahwa terkadang informasi itu memang telah ada dalam memori kita, hanya informasi tersebut tidak dapat diakses kecuali ada pertanda atau isyarat tertentu. Pertanda atau isyarat tersebut bisa berupa elemen-elemen yang mengingatkan kita terhadap suatu memori atau peristiwa tertentu. Hal ini disebut dengan Cue-Dependent Forgetting yaitu kelupaan karena ketiadaan petunjuk atau pertanda untuk mengingat.
Sebagai contoh, seseorang yang lupa akan nama gurunya karena tidak ada petunjuk yang bisa mengarahkannya pada nama guru tersebut. Ia baru bisa mengingat nama gurunya ketika diberi tahu oleh temannya, bahwa gurunya adalah guru yang sering memakai baju merah, memakai parfum khas aroma mawar dan pernah mengajar Bahasa Jepang. Inilah yang disebut lupa karena tidak adanya petunjuk. Petunjuk yang dimaksud adalah ciri-ciri guru tersebut.
Menurut Wade dan Travis dalam buku Psikologi, Cue-Dependent Forgetting adalah jenis penurunan ingatan yang paling umum terjadi. Selain itu, mereka juga menyatakan bahwa kondisi mental, fisik, dan mood yang kita miliki dapat menjadi petunjuk bagi kita untuk dapat menggali suatu informasi yang sudah ada dalam memori. Kondisi mental dan fisik yang menjadi petunjuk bagi kita disebut state-dependent memory. Contohnya, ketika kita merasa sangat takut terhadap suatu peristiwa, kita mungkin dapat mengingat peristiwa tersebut dengan sangat baik ketika kita berada pada kondisi ketakutan yang amat sangat. Mood yang menjadi petunjuk bagi kita disebut mood-congruent memory. Sebagai contoh ketika kita sedang merasa senang, kita cenderung mengingat hal-hal yang menyenangkan dan mengabaikan hal-hal yang tidak menyenangkan, begitupun sebaliknya.
***
Memori manusia didesain dengan kompleksitasnya. Memori kita tidak mampu menyimpan semua hal yang terjadi dalam hidup. Memori memiliki batasannya, sehingga lupa adalah sesuatu yang wajar dan manusiawi, karena setiap manusia akan mengalaminya.
Artikel ini adalah sumbang tulisan dari Indy Hurun Ein. Indy adalah mahasiswi semester dua Fakultas Psikologi UIN Jakarta. Ia bermimpi untuk menjadi psikolog dan penulis besar yang mampu berbagi ilmu untuk orang lain. Indy bisa dihubungi melalui instagram @indyhurun12.