Pijar Psikologi #UnderstandingHuman

View Original

“Sobat” bagi Siswa Down Syndrome

Dwitya Sobat Ady Dharma (27) atau yang akrab dipanggil Sobat, merupakan guru di SMP Tumbuh yang juga aktif dalam menulis dan komunitas kesehatan. Di sekolah yang menerapkan prinsip inklusi dan menekankan pentingnya menghargai perbedaan, Sobat memenuhi panggilan hatinya. Sobat menjadi wali kelas sekaligus “guru bayangan” (red: guru pendamping khusus) bagi Mirza (17), seorang siswa dengan Down Syndrome. Saat ini Mirza duduk di SMP kelas sembilan. Berbagai pengalaman seru dan berkesan telah mereka alami dalam tiga tahun ini. Sebagai guru, Sobat merasa ia tidak hanya mengajar, namun juga memperoleh berbagai pelajaran kehidupan dari Mirza. Berikut wawancara tim pijarpsikologi.org dengan Sobat.

 Apakah sebenarnya inklusi itu?

Inklusi sebetulnya merupakan sebuah keadaan di mana setiap anak berhak masuk dalam pembelajaran tertentu tanpa membedakan apakah seorang anak merupakan ABK ( red: Anak Berkebutuhan Khusus) atau tidak. Kalau dalam bahasa umum, inklusi itu sebuah sekolah yang juga dapat mewadahi ABK.

Bagaimana penerapan inklusi di SMP Tumbuh?

Di sekolah ini, keberagaman dan inklusi tidak hanya dilihat dari adanya ABK, tetapi juga mencakup suku, ras, agama, budaya, dan status sosial ekonomi. Jadi, SMP Tumbuh selalu berusaha menjadi sekolah tanpa hambatan dan batas – batas.

Bisa ceritakan bagaimana awalnya Mas Sobat bisa menjadi guru?

Pertama melihat anak berkebutuhan khusus itu kasihan, dan membekas sekali saat melihat mereka di pinggir jalan tanpa ada yang mendampingi dan mengajar. Setelah itu, saya kuliah di Pendidikan Luar Biasa (PLB) Universitas Negeri Yogyakarta. Dari sana saya memahami bahwa ABK bukan sesuatu yang perlu dikasihani, tapi dengan bantuan, mereka bisa mengembangkan potensi diri hingga berprestasi. Kemudian dengan basic pendidikan yang saya punya, saya bekerja sebagai guru.

Apa itu Down Syndrome?

Gampangnya bisa dilihat di google sih. Hahaha.. Dari segi ilmiah, Down Syndrome itu terjadi karena kelainan di kromosom nomor 21. Ciri fisik mereka dari suku maupun bangsa manapun akan mirip, oleh karena itu ada istilah kembar seribu. Ciri tersebut antara lain tubuh pendek, panjang jari tangan seperti sejajar dan wajah mereka seakan terlihat serupa. Daya tahan tubuh mereka juga lemah.

Adakah ciri lain yang Mas temui?

Dari segi akademis atau kemampuan kognitif mereka kurang. Mereka kesulitan untuk fokus dalam durasi yang lama. Kalau di kelas, Mirza gampang tertidur. Misal jam tujuh pagi masuk kelas, jam delapan ia sudah mulai akan tertidur. Kemampuan abstrak mereka juga rendah. Jadi perlu pelajaran yang konkrit.

Jika dilihat dari kemampuan sosial dan bahasa, dapat terlihat kesulitan dalam pengucapan kata. Jadi seringkali maksud yang ingin disampaikan oleh anak dengan Down Syndrome sulit dimengerti. Kemampuan merangkai kalimat juga kurang, misal Mirza ingin izin untuk ke toilet, ia hanya bilang, “Pak, toilet, toilet.” Mirza juga terbiasa untuk menyampaikan segala sesuatu apa adanya atau sangat to the point. Namun, jika ada hal yang menurutnya sulit untuk diungkapkan, ia akan lari keluar kelas atau menangis. Saat ini di kelas sembilan, Mirza memiliki kontrol emosi yang lebih baik.

Bagaimana tanggapan teman – teman terhadap Mirza?

Awalnya saat kelas tujuh, memang teman – teman memandangnya sebagai aneh, karena berbeda. Namun sekolah dan guru terus menginternalisasi nilai – nilai keberagaman, sehingga saat ini teman – teman mampu menerimanya. Bahkan saat harus mengerjakan tugas secara berkelompok, siswa lainnya mampu bekerja dengan Mirza ataupun teman berkebutuhan khusus lainnya.

Apa cerita menarik mengenai Mirza?

Mirza merupakan salah satu anak Down Syndrome yang diberi anugerah khusus. Ia memiliki indera keenam yang membuatnya mampu melihat dan berinteraksi dengan makhluk gaib. Di sekolah atau saat ada acara camping, karena to the point ia juga suka bercerita, “Pak, itu terbang – terbang!” atau “Lihat darah, darah!” sambil menunjuk sesuatu yang tidak tampak bagi orang lain. Kadang – kadang sebagai guru saya merasa ngeri juga. Hahaha.

Selain itu, Mirza juga sangat terus terang kepada lawan jenis. Ia bisa menyatakan perasaannya dengan kata – kata, maupun tindakan seperti memeluk atau mencium. Saat ini Mirza berada di masa remaja, walaupun ia memiliki Down Syndrome, seksualitas dan rasa ketertarikan dengan lawan jenis juga ia miliki seperti anak lainnya. Sangat penting bagi guru dan orang tua untuk bekerja sama mengajarinya mana perilaku yang boleh dan mana yang tidak. Mirza juga termasuk anak dengan Down Syndrome yang berprestasi. Ia memiliki kemampuan dance dan sudah tampil di berbagai acara di Jogja.

Bagaimana Mas Sobat sebagai guru mengatasi kesulitan seperti berkomunikasi dan mengatur perilaku siswa dengan Down Syndrome?

Masalah bahasa sangat perlu pembiasaan antara guru dengan siswa. Saya dulu awalnya juga sangat kesulitan dengan bahasa Mirza, tetapi sekarang karena terbiasa saya lebih dapat mengerti maksud Mirza. Sinergi antara guru dengan orang tua juga perlu dibangun. Misalnya masalah Mirza sering tertidur di kelas, saya komunikasikan dengan orang tua. Sementara orang tua membicarakan masalah ini di rumah dengan Mirza dan di sekolah guru terus mengingatkan, perilaku anak bisa diarahkan menjadi lebih baik. Tidak kalah penting, sebagai guru perlu terus berusaha memahami siswanya lebih dalam lagi. Dengan memahami siswa, guru dapat mencari penyebab suatu masalah dan mencari solusi yang paling tepat.

Apa yang sekolah lakukan agar siswa yang normal mampu menerima siswa berkebutuhan khusus?

Pertama, di lingkungan sekolah sangat diminimalisir penggunaan istilah “normal” dan “berkebutuhan khusus”. Selain itu, sekolah juga berusaha tidak membedakan mereka, termasuk dalam peraturan sekolah beserta konsekuensinya. Misal siswa berkebutuhan khusus tidak mengerjakan pekerjaan rumah, tetap ada konsekuensi yang harus diterima.

Menjadi guru tentunya selain memberikan pengajaran, kita juga dapat pelajaran dari siswa. Pelajaran berharga apa yang Mas Sobat dapatkan selama berproses dengan Mirza?

Pertama, kejujuran. Mirza selalu berbicara apa adanya dan kadang menjadi kritikan juga bagi saya. Melalui omongan Mirza, saya sering kali mengintrospeksi diri. Kedua, saya memandang hidup menjadi lebih sederhana. Misalnya saat ada orang yang tidak suka dengan kita, tidak perlu terlalu diambil pusing. Sama seperti cara Mirza menanggapi orang – orang yang menjauhinya. Ketiga adalah saya belajar mencintai dengan tulus. Saat ada guru yang berulang tahun, sering kali Mirza membawa hadiah dan memberi ucapan. Dia itu sweet banget lah. Bentuk perhatian dan cinta dari mereka (red: anak – anak berkebutuhan khusus), mereka tunjukkan apa adanya dan penuh dengan ketulusan.

Apa pesan Mas Sobat bagi orang tua dan pihak yang berhubungan dengan anak yang memiliki Down Syndrome?

Yang pasti harus mengembangkan potensi mereka. Jangan dikurung dan dianggap kutukan. Berikan mereka media aktualisasi yang lebih.

Apa harapan Mas Sobat bagi sekolah inklusi dan bagi anak berkebutuhan khusus di luar sana?

Saat ini, walau telah ada beberapa sekolah inklusi dan Jogja mulai menjadi kota inklusi, masih ditemui berbagai diskriminasi bagi anak berkebutuhan khusus. Harapan saya, ketika Jogja menjadi kota inklusi, inklusi harus dimana – mana, tidak hanya di sekolah. Saya berharap anak kebutuhan khusus lebih dipandang tidak dari kecacatan yang ada, tetapi lebih pada prestasi – prestasinya.


Profil Figure

Dwitya Sobat Ady Dharma lahir di Magelang, 10 Februari 1988. Ia merupakan lulusan Universitas Negeri Yogyakarta jurusan Pendidikan Luar Biasa. Salah satu prestasinya adalah Ashoka Young Change Makers di tahun 2014. Pengalaman mengajar Sobat di antaranya SMAIT Ihsanul Fikri, SDIT Muhajirin, dan kini aktif mengajar di SMP Tumbuh.