Dari Depresi Saya Belajar tentang Harapan dan Kebahagiaan

*Trigger warning, jika Anda memiliki keinginan bunuh diri atau depresi yang sudah tidak dapat Anda kendalikan, segera cari pertolongan profesional (psikolog dan atau psikiater). Informasi bisa didapatkan di laman berikut.*

Tidak ada harapan. Begitulah yang saya rasakan sehari-hari. Entah sudah berapa lama saya merasa kehilangan harapan. Seakan-akan sudah terpatri di dalam otak saya, bahwa saya tidak punya kesempatan untuk merasa lebih baik. Saya selalu merasa bahwa semakin hari keadaan saya semakin buruk. Saya menjadi pribadi yang lebih buruk dan rasanya berat, rasanya sakit yang tidak berkesudahan. Saat-saat itu merupakan masa paling suram yang pernah saya alami. Rasa kebencian yang tidak pernah hilang terhadap diri saya sendiri bertambah parah hingga menyebabkan saya mulai melemparkan kebencian yang saya rasakan kepada segala hal di sekitar saya. Saya benci matahari pagi. Saya benci bangun tidur. Saya benci kuliah. Saya benci dunia.

SAYA BENCI HIDUP!

Dari luar, saya masih terlihat baik-baik saja. Keluarga saya tidak mengetahui apa yang terjadi dengan diri saya dan menganggap saya baik-baik saja. Teman-teman di sekitar saya pun tidak melihat kejanggalan pada diri saya. Di mata teman-teman, saya hanyalah seseorang yang pendiam, pemalu, alim serta serius dalam belajar. Namun, ada hal yang mereka tidak tahu bahwa keseriusan saya dalam belajar merupakan sebuah coping mechanism. Keseriusan belajar tersebut saya lakukan karena saya tidak bisa beradaptasi dan bersosialisasi dengan baik di tempat kuliah dan bukan karena saya orang yang rajin belajar.

Baca juga: Cerita Kami: Menyembuhkan ‘Depresi’ tanpa Diagnosa Psikiater, Bisakah? di sini.

Saya selalu merasa ada yang aneh dengan diri saya hingga akhirnya saya mulai membaca dan belajar isu-isu tentang kesehatan mental. Beberapa kali saya merasa sangat gila dan benar-benar merasa membutuhkan bantuan seorang profesional. Namun, pada akhirnya saya selalu mengurungkan niat karena saya takut. Saya takut apabila yang saya rasakan selama ini tidaklah “valid” di mata mereka. Saya takut mereka meremehkan apa yang saya rasakan.

Masa-masa suram saya belum berakhir. Pada masa-masa itu, saya sampai pernah merasa kehilangan jati diri saya. Saya merasakan kekosongan. Hampa. Saya merasa menjadi orang yang tidak memiliki hati dan tidak berperasaan. Saya seperti robot. Saya kehilangan kontrol terhadap hidup saya sendiri. Pada saat itu, saya mulai hidup dengan sangat berantakan. Saya tidak memiliki pola makan yang baik. Saya benci hidup dan hal itu membuat saya membenci diri sendiri dan saya merasa tidak pantas untuk memasukkan makanan ke dalam tubuh saya sendiri. Akibatnya, saya menghukum diri saya untuk tidak makan. Saya membiarkan diri saya kelaparan selama berhari-hari dan berminggu-minggu. Ketika saya makan pun, saya memuntahkan kembali makanan yang saya makan. Pada titik itu, saya melihat makanan tidak lagi terlihat seperti makanan, rasanya seperti siksaan. Saya kehilangan nafsu untuk makan, saya sudah tidak bisa menikmati makanan seperti dulu. Saya menjadikan pola makan saya sebagai coping mechanism. Hal itulah yang membuat saya merasa memiliki kembali kontrol terhadap hidup saya.

Saya Sampai Pada Titik Dimana Tiada Hari Tanpa Menyakiti Diri Sendiri

Masa-masa suram itu akhirnya membawa saya pada titik kebencian yang membuncah pada diri sendiri. Hal itu membuat saya selalu menyakiti diri. Setiap hari saya membawa pisau lipat, saya tidak pernah absen mengunjungi kamar mandi di gedung fakultas tempat saya kuliah. Sampai saya melihat darah yang keluar dan entah mengapa saya merasa lega. Hal itu berlangsung setiap hari dan tanpa saya sadari, saya tidak bisa untuk tidak menyakiti diri saya sendiri. Rasanya aneh, tapi saya selalu mempunyai desakan untuk menyakiti diri saya sendiri. Saya selalu merasa jijik terhadap diri saya dan saya merasa berdosa setiap saat saya menghela napas.

Baca juga: Self Harm: Menyakiti Diri menjadi Pilihan untuk Menyalurkan Rasa Sakit di sini. 

Di titik itulah saya berkata kepada diri saya sendiri. Hidup saya sudah terlalu hancur. Saya tidak mungkin bisa merasa lebih baik lagi. Tidak akan pernah. Hampir setiap hari saya menangis. Saya selalu berpikir ingin mati saja. Saya tidak sanggup dengan perasaan bersalah yang saya rasakan khususnya kepada Tuhan, karena saya merasa berdosa setiap hari. Lebih baik saya mati sekarang daripada kedepannya saya semakin menjadi seseorang yang lebih buruk. Saya tidak ingin lebih berdosa lagi. Setiap hari saya selalu dibayang-bayangi oleh pikiran kematian, saya sangat ingin mati. Sayatan yang saya lakukan pada diri saya semakin hari semakin panjang dan semakin dalam. Puncaknya, suatu hari selama tiga hari darah dari luka di kulit saya tidak berhenti mengalir. Saya sudah terlalu putus asa.

Hidup Membawa Saya Bertemu dengan Harapan

Kemudian suatu hal yang tidak pernah saya sangka terjadi. Keluarga saya mengetahui tentang apa yang sedang terjadi pada diri saya dan mereka mengajak saya ke psikiater untuk meminta bantuan. Saya akhirnya rutin berkonsultasi dengan psikiater. Setelah beberapa kali pertemuan, saya didiagnosa mengalami moderate major depressive disorder dan diresepkan obat oleh psikiater.

Baca juga: Berhentilah Berusaha Menyelesaikan Depresimu Sendiri sini.

Satu tahun berlalu setelah pertama kalinya saya bertemu dengan psikiater. Saya tidak pernah menyangka bahwa hari ini akan terjadi. Hari dimana saya menyadari bahwa secara perlahan saya merasakan keadaan yang jauh lebih baik. Namun, perasaan baik-baik saja ini bukan berarti saya benar-benar sembuh dan merasa bahagia. Baik-baik disini artinya saya merasakan kembali perasaan tenang dan damai dalam diri saya. Saya ternyata bisa berdamai dengan diri sendiri. Hubungan yang sudah lama sekali tidak pernah saya rasakan.

Hal yang perlu saya garis bawahi disini adalah sampai saat ini saya masih berjuang dengan gangguan mental yang didiagnosa psikiater terhadap diri saya. Terkadang saya masih membenci diri sendiri, tapi bedanya sekarang ini saya tidak merasakan sakit dan perih seperti yang dulu saya rasakan setiap hari. Saya juga masih menyakiti diri saya sendiri, hanya saja keinginan dan desakan untuk menyakiti diri sendiri ini tidak muncul setiap hari. Saya bangga untuk mengatakan bahwa saya tidak lagi melakukan cutting selama 4 hari ini. Saya juga masih merasa cemas dan ingin memuntahkan makanan yang saya makan, tetapi lagi-lagi saya bisa menahan desakan tersebut. Saya benar-benar merasa terharu dan bersyukur atas setiap makanan yang saya makan sekarang. Saya mulai bisa menikmati makanan kembali dan tidak selalu merasa bersalah setelah memakannya.

Saya adalah orang dengan moderate major depressive disorder dan saya menuliskan ini semua untuk meyakinkan orang-orang diluar sana bahwa selalu ada harapan untuk menjadi lebih baik. It does get better. Dari perjalanan diri saya yang pernah merasakan masa-masa suram, hari-hari yang gelap, dirundung kecemasan, sedih tiada akhir, hingga menyakiti diri sendiri dan hampir ingin mati, akhirnya saya belajar bahwa hidup adalah tentang perjuangan untuk tidak pernah menyerah. Ada kalanya, saya berhenti dan merasa tidak sanggup melanjutkan perjalanan lagi. Dari pengalaman itu saya belajar bahwa kita tidak perlu berhenti dan menyudahi perjalanan ini, karena ternyata yang kita butuhkan adalah sebuah bantuan. Meminta bantuan ketika kita tidak sanggup menyelesaikannya sendiri bukanlah sesuatu yang memalukan ataupun menunjukkan bahwa kita lemah. Namun, dengan meminta bantuan justru kita sedang membuktikan bahwa kita berani dan tidak pantang menyerah. Saya paham bagaimana rasanya ketika kita pertama kali meminta bantuan entah itu psikiater atau psikolog. Saya tahu pasti rasanya, berat, takut, cemas, khawatir dan bingung. Tapi percayalah, hal itu sangat berharga untuk diperjuangkan. Bantuan dari profesional benar-benar penting, walaupun saya tahu awalnya terasa berat dan sulit, tapi suatu hari kita akan bersyukur dan berterima kasih pada diri sendiri bahwa kita telah berani meminta bantuan dari profesional.

Baca juga: 11 Persiapan Sebelum Bertemu Psikolog di sini. 

Hal yang terpenting adalah selalu yakinkan diri bahwa kita tidak pantas untuk hidup dalam kegelapan. Kita tidak pantas stuck dalam masa-masa suram terus-menerus. Kita berhak untuk merasakan kedamaian hidup seberapapun kita merasa diri ini sudah hancur. Kita tetap pantas untuk berbahagia. Kita tetap pantas untuk bisa tersenyum dan tertawa dengan tulus. Kita pantas merasa bahagia.

I was the one who survived by sucking the life out of myself, absorbed by the self-destructed I needed. I wanted nothing else. It wasn’t until I was ready to seek help that I could recover.”

Baca juga: Cerita Kami: 42 Kali ke Psikolog, Apa yang Saya Dapatkan? di sini.


Artikel ini adalah sumbang tulisan dari Aldzalita Rizkika. Ia adalah mahasiswa jurusan kedokteran hewan yang sejak dulu gemar mengikuti bahasan mengenai kesehatan mental. Cita-citanya adalah menjadi aktivis di bidang kesehatan mental dan berjuang turut serta  mengurangi stigma di masyarakat mengenai kesehatan mental. Aldzalita  dapat dihubungi melalui twitter @aldzalitar.


Sumber gambar: www.unsplash.com

Pijar Psikologi

Pijar Psikologi adalah media non-profit yang menyediakan informasi kesehatan mental di Indonesia.

Previous
Previous

CURHAT: Orang Tua Saya Berkata Bahwa Saya Adalah Anak yang Tidak Berguna

Next
Next

Bagaimana Menghadapi Hambatan Kepuasan Kerja?