Cerita Kami: Menyembuhkan ‘Depresi’ tanpa Diagnosa Psikiater, Bisakah?

Saya sudah merasakan stres yang berkepanjangan dan low mood hampir selama 7 tahun sejak saya duduk di bangku kuliah. Meskipun saya masih terlihat berprestasi, sebetulnya saya terjebak dalam pikiran bahwa saya lebih memilih untuk tidak dilahirkan saja ke dunia ini dan setiap akan tidur senantiasa berdoa agar esok hari saya tidak usah bangun lagi. Melalui tulisan ini saya ingin berbagi perjalanan self-healing saya selama satu tahun terakhir.

Dulu saya pernah mencoba mengunjungi psikiater di salah satu Rumah Sakit umum dengan hasil nihil. Saya kecewa karena psikiater tidak mau mendiagnosa atau menangani saya karena saya tidak melakukan hal ekstrem seperti percobaan bunuh diri atau menghindari tanggung jawab dengan tidak masuk kuliah selama berminggu-minggu dan hanya diam di kamar. Pengalaman yang sama juga dialami oleh beberapa teman saya yang mengunjungi psikiater dalam keputusasaannya, namun malah mendapat perlakuan dingin.

Orang-orang yang berada di antara inilah yang rentan mengalami kebingungan. Mungkin kondisi kami tidak bisa dianggap sebagai depresi berat (major depression), tapi sesungguhnya kami tidak ingin menjalani hidup tanpa semangat seperti ini. Saya tetap merasa ada yang salah dengan diri saya. Meskipun begitu, saya mencoba mencari coping mechanism positif dengan menyibukkan diri dan mengukir prestasi, sampai akhirnya saya mendapat beasiswa magister di Skotlandia.

Di sinilah jalan menuju proses healing saya mulai terbuka. Di Skotlandia, edukasi kesehatan mental memang bukan hal langka. Brosur edukasi sangat mudah ditemui, bahkan Skotlandia punya Scottish Mental Health Arts & Films Festival dan gerakan Shelf-Help yang menaruh buku-buku pengembangan diri secara gratis di perpustakaan kecil. Ditambah lagi, setiap kampus wajib memiliki layanan psikolog gratis, sehingga saya pun tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Setelah menjalani proses assessment selama 2 kali dan lolos kualifikasi, psikolog yang menangani saya mendaftarkan saya pada enam sesi CBT (Cognitive Based Therapy). Jadi, peran lembaga psikologi di sini sangat berbeda dengan Bimbingan Konseling biasa.

Pada terapi CBT saya belajar untuk membahasakan rumitnya isi kepala saya (ternyata tidak mudah!) sampai menemukan negative core belief yang akan ditangani selama rangkaian sesi. Ada baiknya sebelum ke psikolog kita melakukan persiapan agar pembahasan lebih fokus, mengingat jumlah sesi terbatas dan setiap sesi hanya berkisar 50 menit saja. Dari sini, psikolog akan terus bertanya dan bertanya, bukan menasehati, tentunya agar kita dapat melihat masalah dengan cara pandang baru.

Solusi akan datang dari diri kita sendiri, psikolog hanya membantu memaparkan pilihan-pilihan yang ada. Beberapa orang mungkin kaget pada proses ini, karena kita akan sadar betapa sempitnya pandangan kita akan diri dan dunia ini. Karena itu, penerimaan adalah kunci utama. Psikolog juga memberi beberapa PR untuk membantu kita melihat ke dalam diri dan merefleksikannya, misalnya mencatat perubahan emosi dalam satu minggu dan meminta teman terdekat untuk menulis lima hal baik tentang saya. Hal-hal kecil tersebut membantu saya untuk lebih menyadari emosi saya dan juga menyadari hal-hal baik dalam diri saya. PR yang diberikan psikologi menunjukan bahwa kesuksesan terapi CBT sangat bergantung pada keproaktifan pasien.

Lalu bagaimana jika ternyata trauma kita mengakar jauh lebih dalam, misalnya pada tataran bawah sadar (subconscious)? Saya pribadi melengkapinya dengan terapi lain, yaitu hipnoterapi dan kinesiologi yang dikombinasikan dengan Tension & Trauma Release Exercise (TRE) saat pulang ke Indonesia. Melalui hipnoterapi, saya mengetahui bahwa ternyata trauma bisa direpresi sejak masih di dalam kandungan atau saat kelahiran. Pola-pola tersebut akan terus berulang di kehidupan kita jika kita belum memutus trauma intinya. Sedangkan melalui kinesiologi, uniknya diajak berkomunikasi melalui tubuh. Yang akan berbicara adalah tubuh kita melalui tes otot (muscle test) karena otot dianggap memiliki memori atas trauma yang kita alami.

Setelah saya menjalani serangkaian terapi, baru saya paham apa yang salah dari pengalaman saya mengunjungi psikiater pertama kali: saya hanya mengejar diagnosa. Saya masih menganggap bahwa satu kali kunjungan ke psikiater dan mendapatkan obat bisa secara magis mengatasi semua masalah saya. Padahal bisa dibilang mengkonsumsi antidepressant adalah jalan terakhir yang bisa kita tempuh ketika cara lainnya gagal, sementara saya belum melakukan apa-apa. Mungkin juga saya bukan ingin dibantu, tapi saya hanya ingin mencari pembenaran atas kondisi saya. Saya tidak mengatakan ini sepenuhnya salah, rasa ingin dipahami ini tentu wajar, tapi saya lupa bahwa ada hal yang lebih penting dari mendiagnosa diri, yaitu menyembuhkan diri.

Meskipun saya sudah mengikuti berbagai terapi, saya hanya bisa menduga (self-diagnose) bahwa saya memiliki dysthymia (depresi kronis), karena proses mendapatkan diagnosa bisa sampai berbulan-bulan dan psikolog tidak akan mengatakan kita depresi dengan mudah. Saya sendiri tidak lagi mempermasalahkan hal ini. Kecuali kita ingin mengajukan cuti dari pekerjaan atau kuliah yang membutuhkan surat resmi, rasanya terlalu mengejar diagnosa malah akan mengalihkan kita dari usaha menyembuhkan diri.

Kini ada pendekatan yang berbeda saat saya menghabiskan waktu berjam-jam menganalisis ciri-ciri dan karakter suatu penyakit mental. Dulu saya hanya ingin lepas tangan dengan bisa mengatakan bahwa saya seperti ini karena saya sakit, tapi sekarang ketika saya mendapati bahwa saya memiliki kecenderungan akan suatu penyakit mental, orientasi saya fokus pada solusi: apa yang harus saya pahami dari diri saya dan apa yang bisa saya lakukan untuk mengatasinya. Saya tidak lagi terpaku untuk mendefinisikan diri, tapi untuk memperbaiki diri.

Saya juga sadar bahwa tidak ada proses yang instan, apalagi untuk kasus low mood menahun. Saat ini saya masih berproses untuk menyembuhkan diri secara holistik, baik dari segi fisik, mental, maupun jiwa. Misalnya dengan menjaga pola makan, minum multivitamin, memperbanyak aktivitas fisik, dan meditasi. Bagi saya, pada akhirnya kesembuhan adalah kesiapan kita untuk mengadopsi gaya hidup baru yang lebih selaras dengan segalanya.

Berdasarkan pengalaman saya, menjalani terapi adalah langkah yang sangat efektif untuk mencapai kesembuhan. Self-diagnose boleh saja untuk mengenali kondisi awal, tapi imbangi dengan mencari informasi mengenai terapi yang paling sesuai untuk kita. Saat ini ada banyak sekali jenis terapi yang dapat mengakomodasi setiap keterbatasan dan kasus kita. Pertanyaanya bukan ‘Apakah saya bisa sembuh?’ tapi ‘Apakah saya mau sembuh?’ Yuk berhenti menyiksa diri kita sendiri dengan berhenti berasumsi dan mengambil langkah nyata sekarang juga.

Tentang Penulis

Aulia Ardista Wiradarmo adalah alumni University of Glasgow, UK. Saat ini ia berbagi ulasan dan rangkuman buku-buku non-fiksi pada akun Instagramnya, @nonfictionbookclub_. Jika ingin bertanya mengenai terapi atau stres yang disebabkan oleh masalah agama, keyakinan, dan oversensitivitas, silahkan hubungi melalui DM Instagram.

***

Ingin menyumbangkan tulisan mengenai turbulensi emosimu di Pijarpsikologi.org ? Sampaikan kepada kami melalui menu sumbang tulisanKamu dapat menyumbangkan dua jenis tulisan. Pertama adalah tulisan berbentuk artikel edukatif. Kedua adalah tulisan mengenai gangguan emosi, pikiran dan perilaku yang kamu alami dan ingin kamu bagikan kepada pembaca.

Rubrik #ceritakami adalah sumbangan tulisan pembaca yang berisikan insight dan cerita akan perjalanan mental illness mereka. Rubrik ini bukanlah rubrik curhat yang akan dibalas oleh psikolog. Jika Anda ingin curhat ke psikolog kami, silahkan masuk ke menu konsultasi.

Let others know the importance of mental health !

Pijar Psikologi

Pijar Psikologi adalah media non-profit yang menyediakan informasi kesehatan mental di Indonesia.

Previous
Previous

8 Hal yang Bisa Membuat Kita Bersyukur

Next
Next

CURHAT: Saya Tidak Ingin Terus Bergantung pada Obat-Obatan dari Psikiater