Bystander Effect: Menolong Tidak Harus Memilih Situasi dan Kondisi

”Semakin besar jumlah penonton yang menyaksikan keadaan darurat, semakin kecil kemungkinan salah satu dari mereka untuk membantu” – Aronson, Wilson, dan Akert

Pada tanggal 13 Maret 1964, Catherine Susan Genovese yang dikenal dengan nama Kitty Genovese (28 tahun) saat itu sedang pulang dari pekerjaannya sebagai manajer bar pada pukul 03.00 dini hari. Saat itu Kitty memparkirkan mobilnya dan berjalan menuju apartemennya di Queens, New York City. Kala itu Winston Moseley sedang ingin mengincar seseorang pada malam itu dan Kitty yang menjadi sasarannya. Merasa ada yang mengikuti, Kitty langsung berlari menuju apartemennya, namun terlambat karena Winston Moseley sudah berhasil menyerang dan menusuknya.

Saat itu Kitty berteriak minta tolong dan beberapa lampu di sekitar apartemen mulai dinyalakan. Salah satu tetangga keluar dan si Monsley lari dan bersembunyi, tetapi tetangga tersebut malah menutup jendela. Tidak ada satupun tetangga yang keluar untuk membantu. Moseley kembali dan menikam Kitty berkali-kali, merampok, dan memperkosa Kitty. Kitty terus menangis minta tolong dan serangan tersebut berlangsung sekitar 30 menit. Sebanyak 38 orang mungkin telah menyaksikan pembunuhan Kitty dan diwawancarai oleh polisi, tapi tidak ada yang keluar untuk membantunya atau menelepon polisi.

Kasus ini pada akhirnya menjadi contoh khususnya dalam Psikologi Sosial. Bibb Latane dan John Darley yang keduanya merupakan ahli dalam bidang psikologi sosial akhirnya memutuskan untuk meneliti mengenai kasus di atas dan kemudian mencetuskan teori baru yaitu bystander effectBystander effect merupakan situasi di mana orang hanya memilih untuk menjadi pengamat, menyaksikan bahaya yang terjadi, namun tidak melakukan apapun untuk membantu atau menghentikan kejadian tersebut. Bystander effect dikaitkan sebagai “efek pengamat” dan “difusi tanggung jawab”.

Semakin banyak orang, semakin kecil kemungkinan untuk bertindak
Ada berbagai alasan mengapa orang memutuskan untuk melakukan ini. Dalam kehidupan sehari-hari misalnya, Anda bisa melihat contoh kecelakaan di jalan. Terkadang bukannya menolong, Anda malah menemukan orang-orang di sekitarnya hanya menonton orang tersebut dan mengabaikannya dengan harapan semoga dia tidak apa-apa dan ada yang menolongnya. Alasan lainnya Anda takut disangka sebagai pelaku penabrakan, diharuskan untuk bertanggungjawab dengan seluruh biaya pengobatan, dan ditanyai berbagai pertanyaan oleh polisi. Karena hal inilah yang membuat orang merasa tidak ada keharusan untuk melakukan tindakan penolongan. Sama halnya ketika Anda melihat seseorang dirampok, Anda memutuskan untuk diam saja karena Anda tidak punya kemampuan untuk melawan pencuri tersebut dan juga ada banyak orang disitu dengan harapan semoga ada yang membantunya.

Sebuah studi menunjukkan, peneliti menemukan bahwa saat orang sedang dalam keadaan sendiri maka 75 persen orang akan membantu orang lain ketika orang lain sedang dalam masalah. Akan tetapi ketika orang tersebut tidak sendiri, dalam hal ini berkelompok, hanya 31 persen saja yang mau membantu. Dalam hal ini bisa dilihat dalam eksperimen pada anak-anak usia 5 tahun yang dipimpin oleh Maria Plotner dalam artikel di Psychological Science. Dalam eksperimennya, anak-anak diminta mewarnai dengan cat air. Dua anak diminta menjadi peserta untuk membantunya dalam skenario yang dia buat. Peneliti menumpahkan cat dan berharap anak-anak membantunya melap dengan tisu. Dalam temuannya, ketika anak-anak yang lainnya hadir dan bersedia untuk membantu, peserta penelitian tidak bereaksi untuk mengambil tisu untuk peneliti. Jika anak lain tidak membantu maka peserta baru mengambilkan tisu untuk peneliti.

Kecenderungan orang untuk menolong
Kebanyakan orang cenderung akan menolong ketika kenal dengan korban. Sebagai contoh anggota keluarga, kerabat, tetangga, teman maupun kenalan lainnya. Disisi lain orang cenderung akan menolong ketika merasa memiliki pelatihan medis dan pertahanan diri yang baik. Selain itu ternyata orang yang pernah menjadi korban juga ingin membantu korban lainnya agar pelaku lain dapat ditangkap dan ada juga yang menganggap orang lain memang layak mendapat pertolongan.

Dari tulisan diatas setidaknya Anda dapat mengambil pelajaran bahwa jika ingin menolong orang lain tidak boleh memilih atau menunggu orang lain untuk menolong. Jadilah orang pertama yang berinisiatif untuk menolong ketika orang lain membutuhkan pertolongan. Ibaratkan saja bagaimana jika Anda atau saudara Anda membutuhkan pertolongan tapi tidak ada yang mau menolong? Tentu tidak mengenakkan, bukan?


Referensi:
[1] Bystander Effect. Artikel. Diakses dari https://www.psychologytoday.com/basics/bystander-effect
[2] Timothy J. Legg. 23 November 2016. Bystander Effect: What It Is and How to Prevent It. Artikel. Diakses dari http://www.healthline.com/health/bystander-effect#example1
[3] Jesse Singal. 13 April 2015. Research Found the ‘Bystander Effect’ in 5 Years Olds.

Sumber gambar: rollingalpha.com

</p align=”justify”>

Let others know the importance of mental health !

Previous
Previous

Mengenal Lebih Dekat Kepribadian Paranoid

Next
Next

Biarkan Mereka Tahu: Mengapa Kita Sulit Mengekspresikan Emosi?