Di Balik PMS: Kisah Wanita dan Hormonnya
“Wanita yang kekurangan estrogen tak ubahnya mayat hidup.”
– Marie Hoag
Sam tidak bisa menyembunyikan kegusarannya. Jesika, sang kekasih yang terkenal tenang dan lembut, akhir-akhir ini terlihat selalu murung dan uring-uringan. Bahkan, baru kemarin gadis itu marah habis-habisan lantas minta putus. Sam tidak habis pikir mengapa Jesika bisa bereaksi begitu seekstrem cuma gara-gara ia telat datang kencan selama setengah jam. Akhirnya, Sam memutuskan untuk menanyakan kondisi Jesika pada sahabatnya, Maria. Namun alih-alih ikut panik, Maria justru menjawab pertanyaan Sam dengan komentar sederhana, “Ya udah lah, biarin aja. Paling dia lagi PMS.”
Sesuai namanya, PMS atau Pre-Menstrual Syndrome kerap ditemui pada perempuan menjelang menstruasi. Hampir semua perempuan di dunia pernah mengalami gejala PMS, meski bentuk dan intensitasnya bisa bervariasi. Umumnya, gejala-gejala PMS sampai pada puncaknya selama beberapa hari menjelang berakhirnya siklus bulanan mereka. Meski sesungguhnya mencakup dimensi yang lebih luas, PMS secara umum lebih sering diasosiasikan pada gejala yang bersifat psikologis kasat mata. Sam mungkin bisa merangkum semuanya dalam satu kalimat : “Pacarku jadi moody.”
Pada saat mengalami PMS, seorang perempuan lebih mudah jengkel, stres, murung, kesulitan berkonsentrasi, bahkan marah. Mood swing atau perubahan suasana hati yang cepat dan drastis juga termasuk di antaranya. Dalam beberapa pengalaman paling ekstrem, seseorang yang baru sebentar tertawa-tawa, beberapa menit kemudian bisa menangis, lalu tahu-tahu mengancam akan bunuh diri.
Saat itu, Sam belum tahu bahwa dalang dari perubahan mood ekstrem Jesika adalah apa yang lazim disebut dengan istilah gelombang estrogen-progesteron. Agar organ-organ tubuh dapat berfungsi dengan baik, tubuh manusia senantiasa memproduksi zat-zat kimia yang disebut hormon. Organ reproduksi perempuan secara khusus memproduksi hormon bernama estrogen dan progesteron dalam jumlah besar setiap bulannya. Dua hormon ini datang bergantian layaknya gelombang, mengikuti siklus datang bulan (menstruasi) yang umumnya terjadi tiap empat minggu.
Dua minggu sejak Jesika memasuki haid hari terakhir adalah saat di mana hormon estrogen berjaya dalam darahnya. Tidak hanya berpengaruh pada kesuburan, hormon ini rupanya punya kekuatan untuk mengutak-atik otak Jesika. Bagian utama otak yang jadi sasaran utama adalah hipokampus. Bagian otak inilah yang biasa membantu Jesika memahami pelajaran di sekolah, menyusun kata-kata agar Jesika bisa berkomunikasi dengan lancar, serta mengingat momen-momen yang telah ia lalui bersama Sam.
Seperti halnya bagian otak lain, hipokampus layaknya jaring raksasa di mana milyaran benang saraf terikat satu sama lain dalam bentuk simpul. Semakin banyak jumlah simpul yang terbentuk, akan semakin bagus otak bekerja. Saat hormon estrogen menyerbu dalam aliran darah, jutaan simpul-simpul benang saraf baru akan muncul hingga seperempat jumlah sebelumnya. Tidak heran, pada fase ini Jesika biasanya bisa berpikir jauh lebih tajam dan cepat. Kemampuan mengingatnya pun bisa jadi lebih akurat.
Efek estrogen tidak berhenti sampai di situ saja. Untuk menemani estrogen, otak kemudian memproduksi zat kimia lain yang bernama oksitosin. Sifat utama zat ini adalah mendorong Jesika untuk lebih banyak membangun koneksi dan kedekatan dengan orang lain. Bersama estrogen, oksitosin akan meningkatkan kinerja hipokampus sehingga pada periode ini, Jesika bisa menjadi gadis yang sangat ramah, menyenangkan, asyik diajak ngobrol, dan penuh perhatian.
Semakin erat Jesika membangun relasi dan kedekatan dengan orang lain, semakin getol kerja otaknya untuk menghasilkan zat kimia lain, yaitu dopamin. Zat ini banyak jadi favorit orang-orang karena dapat memicu motivasi dan rasa senang. Bahkan konon, orang-orang yang merasa penat dan frustrasi dengan kehidupan akhirnya jadi pecandu sabu cuma gara-gara ingin merasakan banjir dopamin.
Secara alami, tubuh manusia sesungguhnya menghasilkan zat kimia yang dapat memberi efek tenang, mengurangi kecemasan, dan meredam stres, yaitu serotonin. Bagi Jesika dan kebanyakan perempuan lain di dunia, selain serotonin, tubuh mereka punya bonus dopamin dan oksitosin. Perpaduan tiga zat ini boleh jadi merupakan formula anti-stres superampuh: trio bahagia.
Memasuki minggu ke-3 dan ke-4 pasca haid, produksi estrogen mulai berkurang dan digantikan hormon lain, yaitu hormon progesteron. Hormon bertugas memberi efek rileks, mengurangi serta memperlambat kinerja otak Jesika, terutama untuk membentuk simpul-simpul benang saraf baru. Perubahan ini nantinya juga akan berpengaruh pada sensitivitas Jesika terhadap tekanan dan stres.
Beberapa hari menjelang Jesika datang bulan, baik banjir hormon estrogen maupun progesteron akan surut secara besar-besaran. Tidak hanya itu, trio serotonin-dopamin-oksitosin juga ikut menurun drastis pada periode ini. Sebagai gantinya, datanglah kortisol alias zat kimia saraf yang bereaksi pada stres, dalam porsi besar.
Tanpa trio bahagia serotonin-dopamin-oksitosin, wajar saja Jesika jadi superpeka pada emosi negatif dan ujung-ujungnya jadi uring-uringan. Inisiatifnya untuk mendadak minta putus dari Sam sebetulnya juga bukan suatu kesengajaan. Pasalnya, ada satu bagian otak yang juga sering ngambek saat ditinggal pergi si trio bahagia, namanya prefrontal cortex. Saat bagian otak ini mogok kerja, biasanya kacau pulalah kemampuan kita untuk membuat pertimbangan dan keputusan.
***
Siapa sangka, dua minggu kemudian, Sam dikejutkan oleh sebuah pesan singkat di ponselnya. Siapa lagi pengirimnya kalau bukan Jesika.
“Maafin aku udah marah-marah sama kamu. Aku masih sayang sama kamu kok. Kita balikan ya?”
Selama beberapa saat, Sam membaca sms tersebut kemudian tersenyum. “Dasar PMS…”
Sumber Data Tulisan
Tulisan disarikan dari buku The Female Brain, karya Louann Brizendine, M.D. (2006, New York: Broadway Books) dengan sumber tambahan melalui laman http://www.medicinet.com/script/main/mobileart.asp?articlekey=449&page=3 dan http://www.meicalnewstoday.com/articles/23224.php
Featured Image Credit: huffingtonpost.com