Pijar Psikologi #UnderstandingHuman

View Original

Hal Berharga yang Saya Dapatkan dari Putus Hubungan

Beberapa bulan yang lalu, saya putus hubungan dengan seseorang yang sangat saya kasihi. Peristiwa tersebut sangat traumatis bagi saya dimana hingga saat ini saya masih merasakan rasa sakit sembari terus berproses untuk memulihkan hati.

Kehilangan orang yang kita cintai baik meninggal ataupun putus hubungan memang sangat menyakitkan. Untuk sesaat saya mengira bahwa saya akan hancur lebur. Bahwa saya tidak bisa hidup tanpanya. Bahwa hanya dia lelaki yang bisa mencintai dan menerima saya apa adanya. Bahwa saya tidak sanggup mencintai ataupun menemukan cinta lagi. Namun harus saya akui bahwa belum pernah saya bertumbuh sedalam ini dan belajar sebanyak ini dari peristiwa tersebut.

Dengan bantuan psikolog, konselor, pendeta di gereja, keluarga dan teman-teman, saya berangsur-angsur mulai pulih. Dari peristiwa ini, ada banyak hal berharga yang saya pelajari. Untuk itu, saya ingin berbagi terutama untuk perempuan-perempuan di luar sana yang mengalami hal serupa.

Baca juga: Perempuan dan Patah Hati di sini. 

Saya Belajar untuk Mengenali dan Mencintai Diri Sendiri

Selama ini saya berpikir bahwa saya telah cukup mengenal dan mencintai diri sendiri, tetapi ternyata belum. Bila ada hal berharga yang saya dapatkan dari kehilangan seseorang yang saya cintai, itu adalah diri saya sendiri. Peristiwa ini memaksa saya untuk melihat ke dalam, mencari tahu siapa diri saya sebenarnya: apa yang saya sukai dan tidak saya sukai, apa nilai-nilai saya, hal-hal apa yang berharga bagi saya, apa yang saya kejar, dan lain-lain. Tanpa sadar, selama ini saya telah “memberhalakan” kekasih dan menempatkan sumber keberhargaan saya kepadanya. Ketika tidak lagi bersama, saya belajar untuk sepenuhnya menerima dan mencintai diri saya serta tidak bergantung pada cinta dan penerimaan orang lain untuk membuat diri merasa penuh dan utuh.

Dibesarkan dalam kultur yang mengajarkan saya untuk menempatkan kebutuhan orang lain di atas kebutuhan sendiri membuat saya mengira, mencintai dan menghargai diri sendiri adalah tindakan egois. Namun, ternyata bahwa agar bisa mencintai orang lain dengan sehat dan memperlakukan mereka dengan respek, kita harus mencintai dan menghargai diri sendiri lebih dulu dengan sehat. Saya juga sadar bahwa mindset negatif tentang diri sendiri perlu diubah. Kini, setiap hari saya mengucapkan afirmasi atau kata-kata positif pada diri sendiri bahwa saya ini berharga, saya cukup, dan saya layak dicintai.

Baca juga: Bulan Cinta: Sudahkah Menyayangi Diri Sendiri? di sini. 

Saya Belajar untuk Menetapkan Batasan Diri dan Tegas Terhadapnya

Peristiwa putus hubungan ini mengajarkan kepada saya bahwa ternyata saya tidak cukup menghargai diri sendiri dengan menghormati batasan-batasan atau standar diri. Saya banyak berkompromi dengan perlakuan-perlakuan tidak baik dari sang mantan yang melanggar batasan diri saya. Ketika saya evaluasi lagi hubungan ini, saya menyadari bahwa ternyata dari awal saya tidak tegas terhadap standar dan batasan diri. Saya mengabaikan red flags dan merepresi emosi-emosi yang muncul di awal hubungan. Saya tidak berani memutuskan hubungan ketika mengetahui bahwa hubungan tersebut menjadi tidak sehat, karena bagi saya, lebih baik bersama seseorang meskipun dia tidak baik bagi diri saya, daripada sendirian. Saya merasa seperti itu karena saya tidak cukup mencintai dan menghormati diri saya ketika itu.

Saya Mengalami Pemulihan dengan Keluarga Saya

Hal berharga kedua yang saya dapatkan dari putus ini adalah rekonsiliasi dengan keluarga. Pada dua bulan pertama pemulihan, saya sangat sering menghubungi orang tua untuk membantu saya pulih. Mama saya sangat membantu menjalani proses pemulihan ini karena dia pun pernah mengalami hal yang sama, bahkan lebih berat. Di usia saya, beliau bercerai dengan ayah saya karena KDRT. Ayah hanya meninggalkan dua anak dan sedikit materi yang melekat pada dirinya. Melalui interaksi yang cukup sering dengan mama, saya menemukan bahwa ternyata beliau adalah wanita yang begitu kuat dalam menghadapi permasalahan dalam hidup. Tidak pernah saya sangka sebelumnya bahwa kedua orangtua saya datang ke kota domisili saya untuk minta maaf kepada saya dan adik saya atas perceraian yang terjadi. Tanpa mengecilkan sakit hati yang ada, terjadinya rekonsiliasi keluarga adalah hal yang tidak akan pernah saya tukar dengan apapun.

Saya Menjadi Lebih Kuat dan Bijak

Saya merasakan dan mengalami betul pepatah yang berkata, what doesn’t kill you make you stronger. Putus hubungan dengan kekasih menjadikan diri saya lebih kuat dari dalam. Seiring dengan bertumbuhnya kesadaran dan praktik mengasihi diri sendiri setiap hari, saya pun bisa lebih mengapresiasi dan memuji diri sendiri setiap kali saya berhasil melakukan sesuatu yang positif dan bermakna. Sesederhana ketika saya bangun pagi dan bekerja dengan baik di hari itu. Putus ini juga membuat saya lebih peka dan berempati kepada orang lain, terutama dalam masa-masa sulit yang mereka alami.

Kini, saya telah bangkit. Saya belajar memaafkan diri sendiri dan dia yang menyakiti saya, dan saya telah memaafkan kami berdua. Saya belajar sepenuh-penuhnya tentang menerima diri sendiri dan tidak menghakimi diri ketika berbuat salah. Saya belajar bahwa memaafkan bukan berarti melupakan atau mengecilkan hal-hal buruk yang saya alami, melainkan menerimanya dengan legowo, dengan ikhlas bahwa itu adalah bagian dari hidup saya. Saya belajar bahwa saya tidak harus menjadi orang lain atau sempurna agar dapat dicintai atau menjalin relasi dengan orang lain.

Hal terpenting dari peristiwa ini adalah saya (akhirnya) menemukan diri saya kembali.

Baca juga: Menemukan (Kembali) Diri Sendiri di sini. 


Artikel ini adalah sumbang tulisan dari seseorang  yang identitasnya disamarkan.


Sumber gambar: www.unspalsh.com