Identitas Manusia dan Kelahiran Negativitas

Hal yang menarik dari keberadaan manusia adalah kecenderungan – atau bahkan kesukaan – untuk membandingkan diri sendiri dengan orang lain atau kelompok lain. Dalam perspektif Psikologi Sosial, kecenderungan ini dapat dikategorikan sebagai proses perbandingan sosial. Perbandingan sosial merupakan proses pembentukan identitas sosial dengan cara memakai orang lain sebagai sumber pembanding untuk menilai sikap dan kemampuan kita. Satu hal yang perlu menjadi catatan adalah perbandingan sosial dilakukan bukan untuk mendapatkan gambaran aktual mengenai diri, melainkan untuk mendapatkan gambaran positif tentang diri sendiri. Dalam perbandingan sosial, individu berusaha untuk meraih identitas yang positif ketika individu bergabung dalam in group. Ketika bergabung dengan in group, seseorang akan cenderung melakukan penilaian yang ekstrem pada out group dan cenderung memandang out group lebih rendah dan negatif.

Perbandingan sosial dapat kita lihat secara nyata dalam kegiatan menyinyiri orang lain. Ketika sedang berkumpul bersama, membicarakan orang lain dalam sebuah obrolan terkadang terasa lebih seru dan menyenangkan dibandingkan membicarakan persoalan lainnya. Ketika membicarakan atau merendahkan orang lain atau kelompok lain, secara tidak langsung kita berusaha untuk menaikkan kualitas diri dan membangun nilai positif dalam diri.

Akan tetapi secara tidak sadar, saat sedang membicarakan orang lain kita sering kali terjebak dalam negativitas. Negativitas dalam hal ini dimaksudkan sebagai segala bentuk tindakan, pandangan dan pikiran yang berpusat pada nilai-nilai negatif.

Pada titik ini kemudian perbandingan sosial dalam prosesnya memiliki konsekuensi lahirnya negativitas. Perbandingan sosial cenderung mengarahkan seseorang untuk senantiasa memandang out group sebagai kelompok yang lebih rendah dan lebih negatif daripada dirinya sendiri. Kita berusaha meraih identitas diri yang positif dengan cara yang cenderung merendahkan dan memandang negatif orang-orang dari kelompok sosial yang berbeda. Di satu sisi, kita membangun gambaran diri yang positif namun di sisi lain kita memandang kelompok-kelompok lain secara negatif. Akibatnya, negativitas dengan mudah berkembang dan menyebar dalam relasi-relasi antar kelompok sosial.

Perbandingan sosial kemudian menjadi sebuah proses yang tidak masuk akal. Bagaimana mungkin kualitas kemanusiaan seseorang dapat ditingkatkan dengan cara mengembangkan negativitas terutama terhadap keberadaan orang lain. Identitas diri positif yang hendak dibangun melalui perbandingan sosial menjadi terasa semu karena berpijak pada dasar yang negatif.

Menurut saya, identitas diri yang dibangun melalui negativitas dalam perbandingan sosial ini tidak menambah kualitas apapun dalam diri orang tersebut. Hal ini disebabkan karena tidak adanya nilai objektif yang mampu memvalidasi pandangan yang melihat kelompok sosial lain lebih rendah dengan menggunakan standar nilai kelompok sosial sendiri. Penggunaan kerangka nilai yang berbeda bagaimanapun tidak bisa dijadikan kerangka yang objektif dalam membandingkan antar kelompok sosial. Akibatnya adalah pengkotak-kotakan antar kelompok sosial dan menyebabkan munculnya tembok yang membatasi relasi antar kelompok sosial. Lebih jauh lagi akan muncul banyak manusia-manusia semu yang mem-branding dirinya dengan cara menjelekkan orang-orang lain di sekitarnya.

Saya berpendapat bahwa sesungguhnya perbandingan sosial harus dilakukan dalam konteks sudut pandang kelompok sosial yang lebih luas, yang menaungi dua kelompok sosial yang berbeda. Adanya kaitan terhadap identitas sosial dalam kelompok sosial yang lebih luas dapat membantu kita dalam menghargai, menoleransi, bahkan memahami perbedaan-perbedaan antar kelompok sosial yang lebih kecil. Kesadaran tentang adanya kesatuan kelompok sosial kecil dalam kelompok sosial yang lebih luas mengakibatkan perbandingan sosial tidak selalu mengarah pada negativitas terhadap identitas sosial yang berbeda. Seseorang akan memiliki kemampuan lebih dalam meningkatkan kualitas dan identitas dirinya melalui hal-hal yang benar-benar positif. Perbedaan tetap ada akan tetapi tidak lagi bernada negatif, melainkan memiliki nilai positif yang berdampak pada pembangunan identitas personal dan identitas sosial yang lebih luas.

 

Bacaan Lanjut

Absari, A. (2013). Identitas sosial penggemar K-pop (perbandingan antara penggemar K-pop yang tergabung dalam komunitas KFM dan penggemar K-pop yang tidak tergabung dalam komunitas KFM). Skripsi. Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim: Malang.

Fanny, Y. M. (2014). Dinamika faktor pembentukan identitas sosial pada kelompok Straight Edge di kota Medan. Skripsi. Universitas Sumatera Utara. Medan

Machdy, Regis. (2018). Kenapa kita hobi nyinyir dan gosip? Diunduh pada tanggal 15 Maret 2018 pukul 18.17 WIB dari https://pijarpsikologi.org/kenapa-kita-hobi-nyinyir-dan-gosip/

Sarwono, S. W. & Meinarno, E. A. (2009). Psikologi Sosial. Salemba Humanika: Jakarta.

Hugo Hardianto

Mahasiswa Filsafat UGM. Sedang mendalami seni kopi di kafe Gen Ngopi

Previous
Previous

Liputan Event Pijar Class 3: Mengenali Diri di Tengah Quarter Life Crisis

Next
Next

Direktori Psikologi: Body Dysmorphic Disorder