John Forbes Nash, Jr. : Peraih Nobel dengan Gangguan Skizofenia
“Saya akhirnya meninggalkan pikiran delusional dan kembali ke pemikiran diri saya sebagai sosok manusia yang lebih konvensional serta kembali memfokuskan diri pada penelitian matematika saya.” – John Forbesh Nash, Jr.
John Forbesh Nash, Jr adalah seorang ahli matematika yang memiliki skizofrenia. Skizofrenia adalah suatu gangguan psikologis dimana orang tersebut mengalami halusinasi dan atau delusi—delusi merupakan satu perasaan, keyakinan atau kepercayaan yang keliru1. Seperti kutipan di atas, John Forbesh Nash memutuskan untuk mengabaikan pikiran delusionalnya yang akhirnya membuat ia kembali berfokus pada penelitian matematikanya dan John Nash pun meraih penghargaan Nobel Ekonomi. Begitu menariknya kisah hidup John Nash membuat salah satu produser Amerika mengabadikannya dalam film berjudul “A Beautiful Mind” yang dibintangi Russel Crowe.
Kutu buku sejak kecil
John Nash lahir pada 13 Juni 1928 di Blue Field, USA dan meninggal pada 23 Mei 2015 di New Jersey, USA pada sebuah kecelakaan mobil. Sejak kecil John Nash sangat suka membaca, bahkan ada perpustakaan pribadi baik di rumahnya maupun di rumah nenek yang sering dikunjunginya. Saat masih Taman Kanak-kanak ibu John Nash memberinya buku ensiklopedia bergambar. John Nash kecil tumbuh menjadi seorang kutu buku2. Orang tuanya pun memberi dukungan penuh terhadap perkembangan pengetahuan John Nash sehingga ia tumbuh menjadi seorang jenius.
John Nash dan karier pendidikannya
Sejak SMA John Nash memiliki ketertarikan mendalami terhadap matematika. Saat SMA Nash membaca “Men of Mathematics” karya ET Bell yang notabene saat itu adalah karya yang berat untuk anak seusianya. Selain itu Nash juga banyak melakukan percobaan-percobaan kimia dan elektronika. Saat S1, John Nash mendapatkan beasiswa penuh dari George Washington Scholarship dan berkuliah di Carnegie Mellon University jurusan teknik kimia. Nash memiliki kesulitan memahami analisis kuantitatif dan berharap kuliahnya mengeksplorasi hal tersebut. Sehingga ia memutuskan untuk pindah ke jurusan matematika di kampus yang sama.
Mendapat tawaran beasiswa dari Harvard University dan Princeton University
Setelah lulus John Nash mendapatkan tawaran beasiswa S2 baik dari Harvard University maupun Princeton University tetapi, Nash lebih memilih Princenton University karena ketertarikannya untuk memenangkan Putnam Competition. Selain itu, secara geografis letak Princeton juga dekat dengan Bluefield, kota kelahirannya. Saat mengenyam S2 di Princenton University, John Nash tertarik pada “The Game Theory” yang diteliti oleh Von Neumann dan Morgenster. Tema tesis John Nash saat S2 di Princeston University pun tentang Game Theory. Setelah itu, John Nash bekerja di MIT pada 1951 dengan jabatan CLE Moore Instructor dan mengundurkan diri dari pekerjaannya pada 1959.
Munculnya pikiran delusional
John Forbesh Nash menikah dengan Alicia, mahasiswi S2 fisika dari MIT pada 1957. Pada 1959 John Nash didiagnosis memiliki skizofrenia yang membuatnya terpaksa mengundurkan diri dari MIT. Saat itu John Nash menjalani 50 hari pengawasan di bawah Mc. Learn Hospital. Kemudian, Nash dirujuk ke RS New Jersey di Eropa dan menjalani pengobatan intensif selama 5 sampai 8 bulan di sana.
Kesadaran untuk kembali pada realitas
Waktu terus berlalu, dan John Nash terus berjuang melawan pikiran-pikiran dulusionalnya. Saat ia memutuskan untuk kembali memfokuskan diri pada penelitian matematikanya, maka secara berangsur-angsur kondisinya kian membaik. John Nash mengatakan bahwa dengan mengabaikan pikiran delusionalnya maka pikirannya lebih terstruktur untuk berpikir rasional ala ilmuwan.
Kalimatnya yang terskenal adalah “Saya akhirnya meninggalkan pikiran delusional dan kembali ke pemikiran diri saya sebagai manusia yang lebih konvensional serta kembali memfokuskan diri kepada penelitian matematika saya.” Fokusnya pada penelitian matematikanya membawa John Nash meraih penghargaan Nobel pada bidang Ekonomi dengan tema Game Theory pada 19943.
John Nash pada sudut pandang kecerdasan emosi
John Nash adalah seorang jenius, hal ini tidak bisa dipungkiri melihat prestasi yang diraihnya. Hal ini semakin istimewa karena ia juga merupakan orang yang memiliki skizofrenia. Keadaan John Nash sesuai dengan apa yang ditulis F. Scott Fitzgerald, seorang novelis legendaris Amerika yang juga memiliki istri dengan skizofrenia, “ukuran paling tepat untuk menguji kecerdasan tingkat tinggi adalah kemampuan menyimpan dua gagasan berlawanan dalam pikiran secara bersamaan, namun masih memiliki kemampuan untuk berfungsi.”4
Dua gagasan berlawanan tersebut yang pertama adalah realitas bahwa John Nash seorang manusia biasa ahli matematika. Sedangkan yang kedua, ia memiliki delusi-delusi sebagai manusia super power. Dilihat dari segi kecerdasan emosi, Nash juga memiliki kecerdasan emosi yang sangat baik. Dibuktikan dengan John Nash yang tetap bisa menyadari pikiran delusionalnya dan berjuang melawannya. Hal tersebut menunjukkan bahwa ia memiliki pandangan mental yang cerah akan kehidupan. Pandangan mental mereka ternyata merupakan alat prediksi kelangsungan hidup yang lebih baik daripada faktor resiko medis apapun. Orang yang berpandangan cerah, tentu saja, lebih mampu bertahan menghadapi keadaan sulit, termasuk kesulitan medis5.
Kisah hidup John Forbes Nash, Jr menyadarkan masyarakat bahwa orang dengan keterbatasan pun akan tetap mampu meraih prestasi luar biasa yang bermanfaat untuk dunia. Hal yang perlu kita pelajari dari kisah hidup Nash adalah awal mula ia memutuskan untuk terus berpihak pada realitaslah yang membuat ia mampu bertahan dan mengatasi skizofrenianya dengan gemilang.
Sumber Data Tulisan
1Kamus Lengkap Psikologi oleh J. P. Chaplin
2http://www.nobelprize.org/nobel_prizes/economic-sciences/laureates/1994/nash-bio.html
3http://www.biography.com/people/john-f-nash-jr-40445
4Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual : ESQ 165 oleh Ary Ginanjar Agustian : Penerbit Arga
5Emotional Intelligence oleh Daniel Goleman : PT Gramedia Pustaka Utama
Featured image credit: kompasiana.com