Karen L. Braitmayer: Disabilitas Mengiringinya Berkarya

karen L.jpg

“Kami tidak bisa berpuas diri. Setiap hari kami harus bekerja keras untuk melindungi hak-hak kami.

– Karen L. Braitmayer

Mari kenali sosok Karen L. Braitmayer! Mungkin, kita bisa belajar untuk tetap bersemangat dalam menjalani kehidupan darinya. Braitmayer terlahir mengidap penyakit genetik bernama osteogenesis imperfecta. Penyakit tersebut ditandai dengan tulang-tulang rapuh yang sangat mudah patah, bahkan dengan atau tanpa suatu sebab tertentu. Ini menyebabkan kacaunya struktur tubuh, rendahnya kekuatan otot, dan lemahnya persendian. Braitmayer pun terpaksa berada di atas kursi roda seumur hidupnya.

Fisik yang tidak normal tidak menjadi penghalang, ia tetep gigih merengkuh karirnya di bidang arsitektur. Selain giat merancang bangunan komersial, institusional, dan residensial,  ia juga mempunyai biro arsitektur (Studio Pacifia). Biro tersebut juga melayani konsultasi desain aksesibilitas pada proyek-proyek di negaranya. Bahkan, pada tahun 2004, Ikatan Arsitek Amerika menghadiahinya College of Fellows, salah satu penghargaan tertinggi bagi arsitek. Penghargaan itu setimpal dengan kerja kerasnya dalam mendidik para arsitek tentang desain. Ia juga menjadi penyokong bagi orang-orang dengan disabilitas.

Namun, tahukah Anda? Braitmayer sebenarnya tidak mengawali karirnya sebagai arsitek. Ia menempuh pendidikan dan lulus sebagai sarjana ilmu perilaku di Rice University. Bahkan sebelum lulus sarjana, ia sudah tertarik dengan dunia arsitektur. Karena itu, ia melanjutkan pendidikannya pada program studi Magister Arsitektur di University of Houston. Di sana, ia jatuh cinta pada dunia perancangan bangunan.

Perjalanan Karir Braitmayer

Setelah lulus pada tahun 1985, ia mendaftar pekerjaan di Seattle pada tahun 1987. Saat melakukan wawancara kerja, ia bertemu dengan arsitek David Wright. Wright mendorong Braitmaye, untuk berkontribusi dalam arsitektur dengan cara yang unik. Ia diminta untuk merancang ruang yang dapat diakses oleh orang-orang difabel dengan mudah.

Setelah diterima bekerja di Callison Architecture dan mengerjakan berbagai macam proyek, rekan-rekan arsiteknya seringkali mampir ke meja Braitmayer untuk menanyakan perihal desain bebas hambatan dan aksesibilitas. Sebagai pengguna kursi roda, ia dapat menemukan kesalahan-kesalahan kecil yang berdampak besar pada aksesibilitas lingkungan.

Pada tahun 1993, Braitmayer dan teman kuliahnya, George Hallowell, mendirikan biro arsitektur sendiri bernama Pacifica. Dalam perjalanan karirnya, ia bertemu dengan Barbara L. Allan dari Easter Seal Society Washington yang juga merupakan salah satu penulis buku “Desain Aksesibilitas untuk Semua”. Dengan dorongan dari Allan, Braitmayer mulai menyadari bahwa ketidaksempurnaannya dan ilmu arsitekturnya justru mampu memberi dampak pada kualitas hidup orang-orang dengan disabilitas.

Salah satu gebrakan pertama Braitmayer dalam pembuatan kebijakan publik ialah dengan menjadi anggota Technical Advisor Group untuk Washington State Building Code Council (WSBCC). Melalui WSBCC, Braitmayer membantu negara bagian Washington untuk menjadi salah satu negara bagian pertama yang memiliki peraturan yang disertifikasi oleh Departemen Kehakiman dan  sesuai dengan syarat dari American of Disabilities Act (ADA).

Setelah Washington mengadopsi International Building Code, banyak perbaikan ketentuan standar aksesibilitas yang telah dibuat dalam 10 tahun terakhir. Braitmayer bekerja keras menggabungkan model-model peraturan yang ada dengan peraturan federal. Ini menghasilkan sebuah standar aksesibilitas baru yang lebih sesuai dengan kebutuhan negara bagian Washington.

Braitmayer Turut Berikan Manfaat bagi Sesama

Selain membantu dalam membuat regulasi aksesibilitas lingkungan bagi masyarakat berkebutuhan khusus, Braitmeyer juga menyediakan elemen aksesibilitas pada setiap desainnya. Misalnya pada jembatan yang membentang sepanjang Balai Kota Baru Seattle. Ia membuat permukaan lantainya tidak terlalu licin bagi para pengguna kruk dan kursi roda.

Braitmayer berharap isu aksesibilitas menjadi perhatian bagi masyarakat. Sebuah ruang seharusnya tidak hanya disediakan untuk orang-orang normal saja, tetapi juga untuk orang-orang dengan disabilitas. Ia menantikan hari dimana arsitek mampu menyediakan lingkungan yang aksesibel secara intuisi, tanpa bantuan dirinya, dan ketika di setiap ruang atau bangunan sudah terdapat akses tanpa hambatan untuk semua kalangan.


Sumber Data Tulisan

  1. http://www.seattlepi.com/ae/article/An-architect-with-disabilities-champions-public-1138740.php

  2. http://www.news-medical.net/health/Osteogenesis-imperfecta-(OI)-(Indonesian).aspx

By: Dyah Iffah Novitasari

Featured Image Credit: silverplanet.com

Dyah Iffah Novitasari

Mahasiswa Teknik Arsitektur UGM

Previous
Previous

Menyibak Mitos Di Balik Kepribadian Introvert

Next
Next

Mood Mudah Berubah Saat Pramenstruasi? Yuk, Coba Nikmati!