Antara Tuntutan dan Harapan: Beban Emosional Seorang Anak Pertama

Banyak penelitian yang membuktikan anak pertama memiliki banyak kelebihan. Beberapa kelebihannya adalah anak pertama punya lebih banyak pencapaian dan memiliki prestasi yang lebih baik di sekolah. Anak pertama juga dipercaya lebih berkemungkinan menduduki jabatan atas di tempat kerja. Akan tetapi, bagi kami yang terlahir sebagai anak pertama, peran yang harus kami mainkan tidaklah mudah. Meskipun tidak semua pengalaman anak pertama sama, namun sebagian besar dari kami akrab dengan segala tuntutan sejak lahir.

Anak Pertama adalah Trial and Error

Ayah dan Ibu tidak pernah jadi orang tua sebelum kami lahir. Semua hal dipersiapkan dengan baik, termasuk membaca berbagai buku untuk memperkaya pengetahuan. Namun, meski sudah mengumpulkan berbagai informasi, tapi mereka tidak pernah mempraktikkan cara mendidik anak dari lahir hingga dewasa. Singkat kata, selalu ada pernyataan “coba saja” di kehidupan anak pertama.

Minimnya pengalaman sebagai orang tua membuat mereka akan memberikan semua yang terbaik untuk anak pertama. Apalagi, saat adik belum lahir dan kami masih jadi satu-satunya objek perhatian. Keinginan untuk memberikan yang terbaik terkadang membuat orang tua overprotective terhadap kami.

Rasa overprotective orang tua turut menjadi penyebab anak pertama lebih banyak dilarikan ke Unit Gawat Darurat (UGD) karena mengalami komplikasi vaksinasi saat bayi. Orang tua yang masih belum berpengalaman cenderung mudah panik dan memberikan semua obat dan vaksin untuk kami. Akhirnya, terlalu banyak vaksin yang masuk ke dalam tubuh dan mengakibatkan komplikasi sehingga harus masuk UGD.

Terpaksa Selalu Mengalah dan Paham Keadaan

Perhatian penuh orang tua pada anak pertama mulai berubah saat adik datang. Kami perlahan dituntut untuk selalu mengalah dan paham keadaan. Kalimat seperti “Adikmu belum paham apa-apa, tolong mengalah ya, Kak.” adalah makanan sehari-hari. Seringkali orang tua tidak paham bahwa kalimat tersebut terucap tanpa memikirkan perasaan kami. Contohnya, ketika kami dijanjikan akan dibelikan sebuah barang berbulan-bulan, namun tidak kunjung dibelikan. Orang tua malah menuruti permintaan adik dan membelikan apa yang diminta adik terlebih dahulu. Kami diminta mengalah karena adik belum tahu makna mengalah.

Ibu dan Ayah tidak bertanya apakah kami suka dengan permintaan untuk mengalah.

Terpaksa Selalu Dewasa

Ketika orang tua tidak ada di rumah, seringkali anak pertama berubah peran menjadi “kepala keluarga” sementara. Tiba-tiba kami dianggap seperti orang dewasa yang bisa mengatasi semua masalah. Kami harus bisa menjaga keadaan rumah dalam aturan yang sudah ditetapkan orang tua. Menjaga adik, membersihkan rumah, dan kegiatan rumah tangga lainnya seringkali menjadi tanggung jawab kami. Ketika tanggung jawab tersebut dianggap tak berjalan baik, tak jarang kami yang disalahkan. Padahal kami tidak paham bagaimana cara mengurus anak kecil. Kami belum pernah jadi orang tua, bukan?

Tuntutan yang Datang Terus Menerus

Sejak kecil anak pertama juga sering diajak duduk bersama orang tua. Tujuannya membicarakan pembicaraan serius yang terkadang tidak sesuai dengan usia.

Mereka bilang, “Kelak anak paling tua akan jadi pengganti orang tua. Harus bisa jadi kakak yang membanggakan, sehingga adik-adik bisa meniru kesuksesan. Bisa ini, bisa itu.” Terlalu banyak tuntutan.

Memenuhi seluruh harapan orang tua adalah sesuatu yang didambakan, tapi hidup belum tentu berjalan semulus harapan. Ada kalanya kami jatuh dan gagal, lalu rasa kecewa menggerogoti diri. Kami tidak mau dianggap tidak kompeten oleh orang tua atau dianggap payah oleh adik-adik karena kegagalan itu. Kami juga selalu ambisius ingin jadi yang terbaik dalam segala hal, dan usaha selalu menjadi yang terbaik itu berat.

Tidak Punya Tempat Berbagi

Tak jarang tuntutan yang berat membuat kami larut dalam emosi dan rasa sangat lelah. Bukan hal asing jika kami diam-diam menangis, merasa tak berguna karena gagal memenuhi tuntutan yang dibebankan. Ada waktunya ingin mengutuk keadaan yang menyebabkan kami lahir paling awal. Ada waktunya ingin lari dari keluarga ini dan memulai hidup baru tanpa mereka dan tuntutan-tuntutannya.

Rasa lelah semakin terasa berat ketika kami tidak memiliki tempat untuk berbagi perasaan dan emosi yang kami rasakan. Orang tua selalu berpikir memang sudah tanggung jawab kami sebagai anak pertama untuk jadi panutan bagi adik-adik. Bercerita pada adik-adik pun tidak membantu, karena mereka tidak bisa menempatkan diri pada posisi dan peran kami. Perasaan dan kelelahan yang kami rasakan akhirnya lebih banyak kami pendam sendiri. Pada kasus tertentu, emosi terpendam ini dapat mengarah pada depresi yang tersembunyi (Perfectly Hidden Depression).

Berpikir Terlalu Jauh

Sebagai anak pertama, kami selalu dituntut untuk dapat merencanakan segala hal dengan matang. Terkadang perencanaan itu membuat kami memikirkan hal yang belum tentu terjadi dalam waktu dekat. Misalnya ketika orang tua mulai sakit-sakitan, maka kami mulai berpikir bagaimana cara menjadi tulang punggung keluarga. Bukan hanya hidup kami sendiri yang kami pikirkan, tapi juga keberlangsungan hidup seluruh anggota keluarga, tak peduli berapa usia kami. Semua rencana tersebut kami pikirkan jauh sebelum hal-hal yang kami takutkan terjadi.

Menjadi Anak Pertama Tidak Selamanya Buruk

Kami memang selalu jadi percobaan dan diminta untuk mengalah, namun anak pertama juga akan jadi orang pertama yang mencoba asyiknya menjadi anak yang lebih tua. Kami adalah orang pertama yang diajari mengendarai kendaraan bermotor, memiliki KTP, dan masuk kuliah. Di hadapan adik-adik yang lebih muda, kami akan terlihat sangat dewasa dan mengagumkan.

Kami juga terbiasa mengasuh adik dan kebiasaan itu membuat kami memiliki kapasitas lebih untuk mencintai orang lain. Anak pertama juga lebih perhatian dan peka terhadap kebutuhan orang lain karena terbiasa memperhatikan kebutuhan adik-adik sejak kecil. Pembicaraan-pembicaraan yang kami lakukan dengan orang tua juga tidak selamanya buruk. Anak pertama menghabiskan 20-30 menit quality time lebih banyak bersama orang tua dan quality time tersebut adalah hal berharga.

Kami Akan Selalu Bertahan

Kami memang sering memendam luka. Kaki selalu terasa berat menyeret setumpuk harapan dan meraba-raba kesempatan mana yang paling mungkin mengantarkan kami jadi yang terbaik. Akan tetapi, kami akan selalu bertahan.

Kebanggaan kami adalah ketika berhasil menjadi role model dan kebanggaan anggota keluarga. Kami akan selalu jadi orang pertama yang diminta pendapatnya oleh orang tua saat ada kesulitan keluarga. Kami juga dianggap yang paling dewasa dan bisa mengambil keputusan krusial. Kami selalu jadi andalan dan itulah kekuatan kami.

***

Setiap keluarga pasti punya anak pertama dan kita tidak sendiri. Memang tidak semua anak pertama memiliki pengalaman yang sama. Ada banyak anak pertama yang tidak mengalami beban yang telah dijelaskan. Sebaliknya, ada banyak pula orang yang bukan anak pertama yang mengalami beban tersebut. Berbagai hal seperti cara parenting atau jumlah saudara kandung (sibling) adalah beberapa kondisi yang dapat memengaruhi pengalaman sebagai anak pertama tersebut.

Kita perlu melihat beban anak pertama dari sisi yang lebih positif. Beban sebagai anak pertama memang berat, tapi tidak sebanding dengan perasaan bangga yang disematkan ketika bisa jadi panutan. Mencoba menempatkan diri di posisi mereka akan dapat membantu memahami beban yang dirasakan. Harapannya, semakin kita memahami mereka maka kita akan semakin terdorong memberikan dukungan untuk membantu meringankan beban mereka.

Ayu Yustitia

Psychology graduate. When she’s not busy writing about how to understand mind and soul, she reviews makeup and skincare at senandikaayu.wordpress.com

Previous
Previous

CURHAT: Apakah Keinginan Saya Meninggalkan Pacar yang Egois Adalah Keputusan Tepat?

Next
Next

Mendampingi Mereka yang Self-Harm: Bekas Luka Tidak Menggambarkan Cerita