Bekerja di Ruang Kerja Terbuka: Solusi yang Salah untuk Produktivitas

Bekerja di ruang terbuka sudah menjadi tren baru. Bukan hanya bekerja di coworking space yang kini sudah banyak dilakukan para pekerja remote, tapi juga di perusahaan yang memiliki staf dan jam kantor tetap. Faktanya, 70% karyawan di Amerika sudah menggunakan ruang kerja terbuka (open-plan office) di tempat kerjanya. Bekerja di meja besar bersama-sama tanpa pembatas dengan teman di sebelah, menjadi budaya kerja yang sedang dikembangkan. Hal ini dengan dasar anggapan bahwa bekerja di ruang kerja terbuka membuat proses kolaborasi antar karyawan lebih mudah untuk dilakukan. Bekerja di ruang kerja terbuka juga dianggap dapat meningkatkan komunikasi antar karyawan terutama interaksi tatap muka.

Perusahaan juga dengan senang hati menyediakan ruang kerja terbuka. Ruang kerja terbuka dianggap bisa menghemat biaya yang dikeluarkan perusahaan untuk fasilitas penunjang kerja. Hal ini dikarenakan perusahaan tidak perlu mengeluarkan uang banyak untuk memiliki gedung bertingkat dengan ruang-ruang di tiap lantai. Cukup beberapa lantai dan ruang kerja yang besar dilengkapi meja besar serta kursi-kursi di dalamnya.

Namun, benarkah ruang kerja terbuka memiliki dampak yang sesuai ekspektasi kepada para karyawan?

Sebuah penelitian terbaru yang dilakukan oleh seorang profesor dari Harvard Business School mengungkap lantang apa yang selama ini tersembunyi. Tata ruang menggunakan ruang kerja terbuka ternyata tidak berdampak sepositif yang diharapkan.

Selamat Tinggal, Privasi

Tidak ada lagi ruang pribadi di mana kita bisa bebas melakukan hal yang membuat kita nyaman saat bekerja. Apa yang membuat kita nyaman, mungkin membuat orang di sekitar kita tidak nyaman. Belum lagi, fakta bahwa setiap orang dapat dengan mudah melihat apa yang kita lakukan di komputer kita. Hal ini ternyata banyak memicu ketidaknyamanan karyawan karena dipaksa harus terus terlihat sibuk.

Keadaan semakin memburuk ketika atasan juga bekerja di ruang besar yang sama. Karyawan mau tidak mau terus merasa berada di bawah tekanan dan pengawasan. Karyawan yang bekerja di ruang kerja terbuka juga identik dengan headphone yang bisa dipastikan menempel di telinga masing-masing. Ethan Bernstein, profesor dari Harvard Business School yang melakukan penelitian tentang dampak ruang kerja terbuka ini menyatakan:

Manusia tercipta dengan naluri ingin memiliki privasi. Ketika hal itu tidak bisa dicapai, manusia akan terus berusaha untuk mendapatkannya. Yang dilakukan manusia ketika menghadapi situasi ini bukan dengan melakukan interaksi dengan sekitar, tapi berusaha menciptakannya sendiri.

Polusi Suara di Ruang Kerja Terbuka

Ruang kerja terbuka membuat karyawan bisa mendengar percakapan teman lain yang satu meja dengannya bahkan pembicaraan orang di ujung ruangan yang sama. Ketika seorang rekan kerja sedang menerima telepon, seorang karyawan bisa dengan mudah mendengarkan isi perbincangan. Belum lagi suara-suara lainnya yang dapat dengan mudah menjadi distraksi.

Selain polusi suara, distraksi lain yang sering menjadi keluhan mereka yang bekerja di ruang kerja terbuka adalah suhu dan pencahayaan di ruangan. Terkait suhu, suhu ideal di ruangan (yang membuat karyawan setidaknya tidak merasa panas atau merasa harus mengenakan jaket karena kedinginan) juga mempengaruhi kenyamanan kerja. Di sisi lain cahaya yang cukup terang, kurang terang atau terlalu terang di dalam ruangan juga mempengaruhi produktivitas seseorang. Suhu dan pencahayaan ini sulit untuk diatur sesuai dengan kebutuhan dan kenyamanan masing-masing karyawan karena penggunaan ruangan terbuka untuk bekerja.

Hal mengganggu lainnya adalah ditemukan bahwa ruang kerja terbuka membuat karyawan lebih mudah sakit. Ini disebabkan oleh virus yang dengan sangat mudah tersebar karena bekerja di ruang terbuka. Karyawan yang bekerja di ruang terbuka mengambil cuti sakit 62% lebih banyak dibanding rata-rata mereka yang menggunakan ruang kerja personal.

Ruang Kerja Terbuka Membuat Produktivitas Kerja Menurun

Penelitian yang diterbitkan dalam Journal of Human Ecology menyatakan bahwa mereka yang bekerja di ruang kerja terbuka melaporkan menurunnya motivasi dan kepuasan kerja. Tidak adanya privasi dan terlalu banyak distraksi juga dilaporkan menjadi faktor lain yang membuat produktivitas kerja menurun.

Orang-orang justru bekerja dengan tidak baik saat tempat kerja mereka dipindah dari ruang personal ke ruang kerja terbuka. Dari Journal of Environment and Behavior ditemukan bahwa pekerja melaporkan mereka lebih mudah stres. Selain itu, dalam jangka waktu enam bulan sejak pindah ke ruang kerja terbuka, para pekerja mengeluhkan hubungan dengan rekan kerja justru semakin memburuk.

“Ketika fokus kerja diganggu oleh usaha untuk memunculkan kolaborasi, keduanya sama-sama tidak akan berjalan baik.”

Interaksi Tatap Muka Antar Karyawan Menurun

Faktanya ruang kerja terbuka membuat aktivitas digital meningkat. Bukannya saling berinteraksi tatap muka, para karyawan justru lebih banyak memanfaatkan media tukar pesan digital untuk    berkomunikasi. Berdasarkan hasil penelitian, setelah tata ruang kantor diubah menjadi ruang kerja terbuka, karyawan 56% lebih banyak mengirimkan email (dengan frekuensi di-cc ke sesama rekan kerja sebanyak 41%). Pesan lewat jaringan tukar pesan juga meningkat 67%. Faktanya, interaksi tatap muka justru menurun 70% pada karyawan yang bekerja di ruang kerja terbuka.

Meningkatnya Fenomena Hot-Desking

Hot-desking adalah fenomena di mana karyawan tidak memiliki tempat kerja tetap secara personal dan menggunakan tempat manapun yang tersedia. Hot-desking membuat karyawan lebih mobile dan banyak memanfaatkan teknologi. Akan tetapi, fenomena ini memiliki banyak kekurangan. Sebagaimana yang dikatakan Ethan Bernstein, setiap manusia membutuhkan tempat privasi. Hot-desking membuat karyawan tidak menetap di satu tempat kerja yang sama. Hal ini ternyata mengganggu kemampuan karyawan untuk mengekspresikan identitas diri dan mengganggu kestabilan kerja. Gangguan spasial yang rutin dialami setiap hari juga membuat interaksi sosial informal menurun dan memicu terjadinya kesepian atau isolasi di tempat kerja.

Bekerja, baik di ruang terbuka maupun ruang personal tertutup tetap memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Semua juga bergantung pada jenis pekerjaan yang dilakukan. Pekerjaan yang banyak menuntut kreativitas dan kolaborasi tim bisa sangat diuntungkan dengan adanya ruang kerja terbuka. Namun, dalam banyak kasus, ruang kerja terbuka justru bisa menjadi bumerang kepada perusahaan. Penelitian lain membuktikan, karyawan yang memiliki performa tinggi di kantor justru membutuhkan ruang yang lebih privat untuk bisa memecahkan masalah pekerjaan.

Jadi, kamu termasuk yang mana? Nyaman bekerja di ruang terbuka atau di ruang privat?

 

Let others know the importance of mental health !

Koes Ayunda Zikrina Putri

I write and read about psychology but i talk about football (a lot). Sometimes you may hear me on the radio. Enjoying life as Chief Creative Officer Pijar Psikologi.

Previous
Previous

CURHAT: Keluarga Pacar Saya Mengganggu Hubungan Saya. Haruskah Saya Mengakhiri Hubungan?

Next
Next

Kami Dituntut Sukses oleh Orangtua dengan Cara Tidak Bahagia