BTS: Isu Psikologis dan Sosial dalam Budaya K-Pop
Baru-baru ini BTS baru saja mencetak prestasi di Billboard Music Awards 2019 dengan membawa pulang 2 piala, yaitu Top Social Artist dan Top Duo/Group. Kesuksesan BTS ini tidak lepas dari konsistensi mereka untuk menyuarakan isu-isu psikologis dan sosial dalam budaya K-Pop.
***
“BTS menyelamatkan hidupku!”
“BTS membantuku menghadapi depresi!”
Cuitan-cuitan senada sering saya temukan di media sosial dan berhasil menarik perhatian saya. Bangtan Seonyeondan (BTS) adalah boy group asal Korea Selatan yang beranggotakan 7 orang. Baru-baru ini saya membaca berita bahwa peluncuran album terbaru BTS yang terinspirasi dari psikologi analitik Carl Gustav Jung, ‘Persona–Map of the Soul’ berhasil membuat buku Jung’s Map of the Soul karya Dr. Murray Stein laku keras dan berhasil melumrahkan wacana terkait psikologi. Rasa penasaran membuat saya mendalami fenomena ini.
Korean Pop (K-Pop) atau Musik Korea terbilang sangat populer di Indonesia. Namun, di Negara asalnya Korea Selatan K-Pop tidak begitu dihargai, bahkan tidak dianggap sebagai musik, kecuali oleh para remaja. Pada periode 90-an, Seo Taiji mencetuskan K-Pop setelah melihat banyaknya kasus kekerasan dan bunuh diri di kalangan remaja. Ia merasa harus menyuarakan protes terhadap kondisi sosial dan konservatisme di Korea Selatan, sekaligus menyampaikan pesan pada para remaja melalui medium yang mereka sukai, yaitu musik.
Sayangnya semenjak industri K-Pop diambil alih oleh agensi, K-Pop malah semakin banal dan lekat dengan ‘slave contract’ yang memperlakukan manusia sebagai komoditas atau stigma musik kelas B. Hal itu menghilangkan semangat perubahan, kebebasan berekspresi dan membuat K-Pop hanya terfokus dengan keuntungan dan rutinitas layaknya robot. Namun, kehadiran BTS sekarang ini seakan menjawab kekhawatiran banyak masyarakat akan hilangnya ‘jiwa’ pada K-Pop.
‘Siapa saya? Apa yang ingin saya lakukan dalam hidup? Untuk siapa saya hidup?’ adalah pertanyaan filosofis yang menjadi dasar album trilogi BTS ‘Love Yourself’ (Cintai Dirimu) yang dilengkapi dengan album versi Jepang, ‘Face Yourself’ (Hadapi Dirimu). Konsep yang lekat dengan pencarian identitas ini, membuat BTS terpilih sebagai ambassador UNICEF Love Myself Campaign pada tahun 2018. RM, leader BTS, menyampaikan pidato yang sangat menyentuh pada salah satu kesempatan, yaitu:
“Mungkin saya membuat kesalahan kemarin, tapi diri saya yang kemarin tetaplah saya. Esok mungkin saya akan sedikit lebih bijaksana, dan itu juga diri saya. […] Saya telah sadar untuk mencintai diri saya sebagaimana saya dulu, saat ini, dan saya di masa depan.”
Kesuksesan BTS tidak membuatnya bebas dari anggapan-anggapan negatif. Beberapa orang beranggapan bahwa BTS hanya mengikuti tren aktivisme untuk mempermudah penetrasi pasar Amerika. Namun, sejak awal debut pada tahun 2013, BTS telah menyampaikan kritik tajam terhadap sistem pendidikan di Korea Selatan dan tekanan yang dirasakan para pelajar. Hal itu tertuang dalam lagu mereka yang berjudul ‘No More Dream’ dan ‘N.O.’ Personil BTS pun selalu terlibat langsung dalam penulisan lagu sebagai wujud konsistensi mereka untuk menyuarakan kritik sosial maupun psikologis .
Secara umum, BTS kerap mengangkat berbagai isu terkait pemberdayaan remaja seperti perasaan terasing dan menyerah (Whalien 52, Jamais Vu), feminisme (21st Century Girls), stereotipe pada milenial (Silver Spoon), sampai menyindir budaya konsumerisme pada remaja itu sendiri (Spine Breaker, Go Go). Bukan sekedar makna tersembunyi, ‘The Last’ juga secara gamblang menyebutkan depresi dan kecemasan sosial dalam lirik rap-nya. Selain itu, ‘Spring Day’ banyak diinterpretasikan untuk mengenang korban kecelakaan Ferry Sewol, sebuah kasus kontroversial di Korea Selatan yang ditutupi oleh pemerintah dan media. Bukan tidak mungkin, kedepannya BTS akan terus mengeksplorasi konsep Jung dengan membuat album bertema ego, shadow, dan anima.
Di tengah ratusan lagu cinta yang kekanak-kanakan dan imajinatif, tentu saja BTS adalah sebuah angin segar. Ketika bicara soal cinta, lirik-lirik BTS cenderung mengangkat tema cinta pada diri (self-love), persahabatan dan ungkapan terimakasih pada fans. Contohnya, single terbaru mereka dengan judul Boy with Luv yang menggambarkan bagaimana para fans ‘memberi sayap untuk terbang ke tempat tertinggi’. Namun, BTS memilih untuk kembali kepada fans daripada terlena dengan banyaknya penghargaan yang mereka terima lalu terbang lebih jauh. Tidak berhenti disitu, BTS secara konsisten tetap menyuarakan kritik dan keresahan di puncak popularitas mereka sebagai idol. Beberapa keresahan ketika popularitas mereka semakin tidak terkendali, mereka tuangkan dalam lirik ‘Airplane pt.2’, ‘IDOL’, dan ‘Dionysus’ yang terlihat seperti upaya katarsis.
Tidak berhenti pada lirik lagu, BTS menghadirkan meta-narasi bertema coming of age yang tersebar dalam beberapa musik video selama 3 tahun lamanya. Contohnya pada ‘Run’, ‘Blood Sweat & Tears’, ‘Epiphany’ dan rangkaian film pendek berjudul ‘Wings’. Disini personil BTS memerankan tokoh yang bersinggungan dengan berbagai masalah psikologis, seperti: domestic violence, Munchausen syndrome, depresi, keinginan bunuh diri, dan trauma dari childhood abuse. Sebuah langkah berani untuk menghadirkan konsep yang gelap diantara gemerlapnya dunia K-Pop. Teori fans pun terjawab dengan peluncuran webtoon ‘Save Me’ yang menjahit keseluruhan fragmen narasi pada BTS Universe.
Penelusuran lebih dalam melalui media dan forum mengindikasikan bahwa, kedekatan emosional fans tidak hanya dibangun melalui kekuatan konsep, karya, dan kemampuan artistik. Namun, kepribadian masing-masing personil juga berperan dalam hal tersebut Banyak fans yang bisa mengidentifikasikan dirinya dengan perjuangan ‘from zero to hero’ ala BTS yang lahir dari agensi tidak terkenal dan kerap diremehkan.
Sebagai gambaran, Suga tidak pernah didukung oleh orangtua untuk meraih cita-citanya. Jin kerap merasa tidak ada yang bisa dibanggakan dari dirinya yang biasa-biasa saja. Jimin berjuang dengan body image hingga pernah melakukan diet yang sangat ekstrem, dan V yang datang dari keluarga tidak berkecukupan serta sempat mengalami bullying.
Alih-alih membangun jarak antara pemuja dengan yang dipuja serta membangun persona utopis, kisah-kisah di dalam BTS sangat manusiawi. Kisah tersebut juga lumrah terjadi sehingga dapat menginspirasi banyak individu. Personil BTS tidak takut untuk terlihat ‘lemah’, menjadi diri sendiri, menjaga satu sama lain dan menerima sisi feminin di dalam diri mereka. Sebuah pesan yang sepertinya sampai saat ini tidak juga dipahami oleh laki-laki yang masih terjebak dalam toxic masculinity.
***
Pada akhirnya saya dapat memahami mengapa fans sangat mencintai BTS. Seperti visi awal Seo Taiji ketika melahirkan K-Pop, advokasi kesehatan mental dan isu sosial bukanlah sesuatu yang mudah. Sudah sewajarnya seniman—baik itu sineas, musisi, maupun penulis—berupaya untuk menyelipkan pesan dalam balutan hiburan/entertainment. Dengan begitu, hiburan menjadi sarana pengembangan diri yang mudah diterima dan dipahami oleh masyarakat awam, sehingga bukan tidak mungkin hiburan bisa bertumbuh bersama penikmatnya.
Terimakasih BTS atas budaya populer yang revolusioner!
Artikel ini adalah sumbang tulisan dari Aulia Ardista Wiradarmo. Aulia mempelajari Creative Industries and Cultural Policy di University of Glasgow dan pernah melakukan kajian mengenai hallyu yang ditinjau dari sisi soft power dan cultural imperialism. Ia bisa ditemui melalui akun Instagram @nonfictionbookclub_dimana ia berbagi ulasan tentang buku-buku non-fiksi.
Let others know the importance of mental health !