CURHAT: Saya Ibu Bodoh, Gagal dan Racun Bagi Anak Saya
Curhat
Saya baru saja menangis tersedu-sedu malam ini saat semua orang lain di rumah tidur nyenyak. Besok, suami saya minta jatah dan saya takut dia akan mengajak saya melakukan seks gaya baru lagi, yang dia dapat dari film porno. Tapi kalau saya menolak, nanti dosa saya bertambah. Kalau saya iyakan, batin saya sakit… takut dibuang suami, takut salah. Walau saya sudah bilang tidak mau dan melarang suami nonton film porno, ini terulang lagi dan lagi.
Sejak remaja, saya sering menangis di tengah malam selama 1-2 jam sebelum tidur. Di pagi dan siang hari pun, saya kadang menangis di kamar mandi ketika memikirkan betapa menyedihkannya diri saya sebagai seorang manusia. Dua minggu lalu di kantor, saya menangis tersedu-sedu karena merasa rendah diri di depan seorang pegawai yang sedang sewot.
Semakin dewasa, semakin saya menyadari bahwa saya adalah orang yang mudah cemas, benci dikritik, sulit membuat rencana, sulit berkomitmen, dan sangat tidak percaya diri.
Ketakutan-ketakutan saya akan kegagalan dan penolakan membuat saya sulit bergaul–selalu saja teman yang saya percayai pergi ketika mereka sudah saya bantu sekuat tenaga (mengerjakan PR, tugas kuliah, semacam itu).
Ketika saya menikah tahun 2011 silam, tak satu pun sahabat saya datang atau mengucap selamat. Saya pikir pastilah saya diperalat lagi. Apalagi ibu saya juga membenarkannya. Di sisi lain, suami saya yang sangat extrovert diucapi selamat oleh banyak temannya dan mereka pun berdatangan. Ini membuat saya malu, marah, dan rendah diri di hadapannya. Bahwa saya tidak diinginkan dan diharapkan oleh siapa pun, berbeda dengan suami saya.
Sebetulnya ada penjelasan di balik ketakutan saya akan penolakan, dan kerendahdirian saya. Awalnya adalah masa kecil saya (maaf atas ketidakruntutan cerita saya ini).
Saya dibesarkan di tengah keluarga yang orang-orangnya suka mengkritik orang lain. Kritik tersebut sangat keras dalam penyampaiannya. Sebagai anak sulung, saya merasa sayalah yang paling banyak dikritik karena temperamen dan kemampuan saya sangat berbeda (menurut orangtua) daripada kedua saudara kandung saya. Kalau saya berbuat salah, keluarga menghakimi dengan kritik beramai-ramai.
Saya introvert dan suka membaca cerita fantasi, yang menurut ibu saya adalah “racun” bagi kedua anaknya yang lain. Saya juga pernah dicap ibu sebagai “pembawa sial” dan “anak setan” ketika remaja. Waktu itu saya lari dari rumah kami ke rumah teman setelah saya teledor menghanguskan daging di kompor. Ketika ayah saya terserang diabetes, ibu menyebut bahwa penyakit ayah adalah kesalahan saya sebagai “anak nakal”. Ketika remaja, ayah saya pernah memaki saya dengan sebutan “pelacur” ketika kami berdebat di jalan (tentang kelompok musik idola saya waktu itu).
Sungguh, saya sudah mencoba mengerti bahwa ibu melahirkan saya dalam usia muda (24 tahun). Ibu ingin menunda memiliki anak, ingin bersenang-senang dulu, menabung, namun ada saya. Apalagi proses kelahiran saya juga sulit, dengan bantuan forceps. Sejak kecil saya dikhayalkan menjadi dokter. Mengapa saya aneh begini? Ibu sempat stres ditinggal ayah saya bersekolah ke luar negeri, ditambah lagi saya dan adik juga sakit-sakitan dan terpaksa bolak-balik dibawa ke dokter.
Sedangkan ayah saya adalah anak yang tidak diinginkan oleh kedua orang tuanya. Mereka bercerai ketika umur ayah saya 2 tahun, lalu ayah saya dibesarkan oleh kerabatnya. Masa remajanya penuh dengan kisah tawuran. Setelah menjadi dosen pun, almarhum pernah berkelahi di kantor. Walau begitu, ayah hanya satu kali memukul saya ketika remaja, karena begadang nonton TV di hari sekolah.
* * *
Waktu SMP, saya di bully dan orang tua tidak banyak ikut campur karena kesibukan dan karena saya takut ditertawakan guru. Sampai sekarang saya selalu absen dari apapun yang berhubungan dengan reuni SMP. Waktu kuliah S1, skripsi saya macet karena saya merasa tidak mampu menyelesaikan dengan sempurna seperti teman-teman lain. Karena tak kunjung punya pacar padahal kerja di laboratorium sampai malam, jadilah disindir orang tua “tidak laku” dan disuruh merayu teman cowok agar mau mengantar pulang. Saya muak, malu dan merasa itu murahan.
Akhirnya saya lulus dan bekerja, tapi orangtua malu dengan pekerjaan saya waktu itu (sampai hari ini pun pekerjaan itu seperti aib bagi keluarga). Penyebabnya karena saya berdandan dan berdiri di toko. Menurut orangtua, pekerja toko itu hina.
Waktu S2, tesis saya macet karena saya merasa tidak sanggup mengerjakan dengan sempurna sesuai arahan ayah saya. Beban rasa malu pernah bekerja di toko, malu belum menikah, apalagi S2 masih dibiayai orang tua, membuat saya makin menarik diri dari umum. Seakan dalam perasaan saya, semua orang tahu bahwa saya adalah pekerja toko yang sok mau nulis tesis. Pekerjaan dosen pun hasil koneksi orang tua.
Di tengah buntu menulis tesis, setelah menolak dua lamaran pria, lamaran pria ketiga saya terima. Keluarga suami broken home, plus berbeda kelas sosial dengan orang tua saya, dan hingga detik ini ibu sering bicara dengan “condescending” pada ibu mertua (mereka tinggal satu kota), seperti pada orang bodoh.
Suami saya pun tak pernah bisa sepaham dengan ibu, membuat saya merasa terjepit. Di muka mereka sepaham, di belakang mereka saling mengkritik. Saya lelah. Apalagi saya masih serumah dengan ibu karena belum mampu mencicil rumah. Dulu juga waktu kami pernah mengkontrak, orang tua selalu menghina bahwa rumah kami kecil dan dekat kuburan.
Ibu mertua pernah bertengkar sampai mengusir saya dari rumahnya, mungkin karena saya aneh, tertutup dan tidak kooperatif. Misalnya, saya tak bisa memasak dan bersih-bersih karena takut dikomentari dan dikritik (ibu melarang saya ke dapur sejak kecil karena saya sering berbuat salah saat membantu ibu memasak).
Sebagai ibu, saya sangat gamang dalam mendidik anak. Sejak dia lahir, saya juga menangis malam-malam, merasa gagal sebagai manusia. Saya juga pernah menyakiti anak saya secara fisik dengan sengaja beberapa kali. Saya bingung apakah harus mendidiknya secara agamis atau bagaimana, karena saya dan suami tidak bisa diteladani. Di sisi lain, ibu juga sering berkomentar bahwa saya bukan ibu yang baik.
Apa sebaiknya saya pergi jauh saja supaya anak saya aman dari racun saya? Karena suami (yang sering mengambil alih pengasuhan anak saya) juga bilang saya istri dan ibu yang buruk dan dia tidak ingin bertemu saya di surga nanti. Tapi membayangkan berpisah dari anak saya terasa sangat menyakitkan bagi saya.
Yang saya inginkan adalah menjadi pribadi yang tegar dan kuat, yang tidak cengeng. Menjadi ibu yang baik dan berdamai dengan hidup.
Gambaran Identitas: Wanita, Sekitar 35 tahun, Pengajar
Jawaban Pijar Psikologi
Terimakasih atas kepercayaan Ibu untuk bercerita di Pijar Psikologi.
Ibu, saat saya membaca email yang ibu kirimkan, saya merasa berat membacanya, apalagi ibu yang harus menjalani semuanya, tentunya memang sangat berat. Tidak semua orang sanggup bertahan menghadapi permasalahan seperti yang ibu alami saat ini. Jadi, saya sangat salut ibu masih bisa bertahan dan saya yakin, ibu akan terus bertahan!
Saya merasa berat membaca cerita perjalanan ibu sejak kecil hingga saat ini. Ibu, kelak anak ibu akan bangga pada ibu jika tahu ibunya melewati masa kecil yang sulit, tetapi bisa melanjutkan pendidikan ibu hingga s2. Itu luar biasa bu. Jauh di dalam diri ibu sebenarnya ada kekuatan yang besar yang membuat ibu bertahan.
Kita akan mulai dari perjalanan ibu sebagai pribadi. Ibu, pada dasarnya rasa cemas, takut dinilai, takut dikritik, takut direndahkan, dan semacamnya adalah hal yang dirasakan oleh banyak orang, bukan ibu saja. Perasaan-perasaan seperti itu tidak selalu berarti buruk, karena dalam level tertentu hal tersebut justru bermanfaat bagi kita, asal dikelola dengan baik. Misalnya saja, dengan perasaan tersebut kita menjadi lebih waspada dan berusaha untuk terus memperbaiki diri. Namun, jika kita tidak bisa mengelola rasa itu, maka dari sanalah muncul masalah. Bagaimana mengelolanya? Semua berawal dari kendali kita terhadap pikiran kita sendiri. Pikiran akan mempengaruhi perasaan, demikian juga sebaliknya. Keduanya juga akan mempengaruhi perilaku kita.
Bu, diri kita sendiri adalah pihak yang paling bertanggungjawab terhadap segala pikiran, perasaan, dan perilaku kita. Bagaimanapun orang lain/lingkungan bereaksi terhadap kita, tetap saja kita sendiri yang memutuskan bagaimana respon kita terhadap aksi/reaksi orang lain. Kita adalah pengatur pikiran dan perasaan kita, kitalah pengendalinya. Sebuah stimulus yang datang pada kita bersifat netral, kitalah yang kemudian menginterpretasikan hal tersebut sebagai hal positif/negatif. Oleh sebab itu, mari kita biasakan untuk berpikir baik, berpikir positif. Seringkali kita fokus pada suatu hal yang tidak menyenangkan, padahal ada banyak hal baik lain yang terjadi pada diri kita. Terkadang kita bahkan sangat sulit menemukan hal positif yang kita miliki/yang terjadi pada kita. Jika selama ini banyak hal sulit, tidak menyenangkan, tentunya Tuhan juga menitipkan hal baik pada kita.
Tentunya tidak mudah memang menerima segala hal sulit. Akan tetapi, dengan menerima, memaafkan, kemudian melepaskan semua dengan ikhlas, kehidupan kita akan menjadi lebih tenang bu. Kita tidak hidup untuk hari kemarin. Kita hidup hari ini untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik di keesokan harinya. Ibu tidak perlu malu dengan semua hal baik yang ibu lakukan, sekalipun ada orang yang menilai rendah pekerjaan ibu. Malulah jika kita melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan norma. Jika pekerjaan ibu hasil koneksi orang tua, maka itu adalah bukti sayang orang tua terhadap ibu. Tugas ibu tunjukkan bahwa ibu tidak hanya memanfaatkan koneksi, tapi ibu memang punya kompetensi dan memenuhi kualifikasi untuk pekerjaan ibu saat ini.
Tidak bisa kita pungkiri adanya luka dan rasa sakit dalam hidup kita, tapi kita sendiri yang dapat menyembuhkan hal tersebut. Tentunya kita tidak ingin hidup dengan luka yang dalam selama hidup kita bukan? Jadi, cobalah lepaskan beban masa lalu. Diantara semua kesulitan, Tuhan memberikan kekuatan pada ibu untuk menghadapinya, pernahkah ibu pikirkan hal itu? Rasa syukur terhadap apa yang Tuhan berikan akan menjadi kekuatan dan sumber energi baru ibu. Rasa syukur ini kelak akan membuat ibu semakin tegar, kuat, tidak cengeng, dan menjadi orang lebih baik, seperti harapan ibu di penutup email yang ibu kirimkan.
Sebagai istri, tentunya memang ibu berkewajiban untuk mentaati suami, selagi tidak melanggar aturan agama ibu. Namun, dalam pernikahan ada dua pihak yang sama-sama punya hak untuk bahagia. Termasuk dalam berhubungan seks. Bukan hanya suami yang harus puas, ibu sendiri juga harus puas dengan hubungan yang ibu lakukan. Jika kebutuhan salah satu pihak tidak terpenuhi, maka pernikahan akan terganggu. Sudahkah ibu melakukan hubungan itu dengan cinta? Bisakah ibu menikmatinya? Hubungan seks bukanlah kegiatan yang rutin dilakukan sesuai permintaan salah satu pihak, tetapi kedua belah pihak punya kepentingan dan porsi yang sama dalam hubungan itu. Jika gaya baru permintaan suami membuat ibu tidak nyaman, ibu berhak bersuara. Kemukakan dengan cara yang baik, bicara dari hati ke hati. Suami tidak bisa diajak bicara? Cobalah pelan-pelan, gunakan cara lain. Jangan membuat suami merasa tertolak dan akhirnya tersinggung.
Terkait dengan kebiasaan suami menonton film porno, ini tentunya membutuhkan solusi lain. Kita perlu tahu apakah suami sudah kecanduan film porno dan jika ya suami ibu perlu dibantu. Ajak ia untuk berdiskusi tentang pengaruh buruk hal itu, jangan dinasehati.
Selanjutnya kita bahas tentang peran Anda sebagai ibu. Tentunya anak adalah pihak yang tidak bersalah dalam permasalahan ibu. Bagaimanapun beratnya masa lalu ibu, anak adalah titipan tuhan untuk masa depan ibu dan masa depan anak itu sendiri. Anak bukan miniatur orang dewasa bu. Dia tidak berhak menanggung kekecewaan ibu. Dia tidak bertanggungjawab atas semua yang terjadi pada ibu. Dia hanyalah makhluk yang dipercayakan Tuhan untuk dititipkan pada ibu dan suami ibu. Pandangilah anak ibu dengan dalam, lekat, dekat, anak ibu menyimpan rasa cinta dan kasih sayang dalam dirinya. Coba ibu peluk dia dalam-dalam, ini akan menenangkan ibu.
Ibu, bagaimana pun keadaan anak ibu, dia berhak mendapatkan kehidupan yang baik. Bagaimana cara ibu mengasuhnya? Jangan lepaskan nilai-nilai agama dari dia. Contohlah keteladanan nabi dalam membesarkan anak beliau. Berkompromilah bersama suami agar ibu dan suami dapat berjalan beriringan membesarkan anak. Memarahi anak terkadang perlu, hanya saja perlu diperhatikan marah yang bagaimana yang kelak memberi manfaat positif bagi perkembangan anak.
Jika ibu merasa ada pengasuhan orang tua yang tidak tepat pada ibu, maka cobalah ibu perbaiki hal tersebut Jangan gunakan cara yang persis sama. Setiap orang tua berbeda, diberikan anak dengan karakter yang berbeda-beda pula, maka cara pengasuhan pun boleh jadi berbeda. Yang pasti, setiap orang tua menginginkan yang terbaik bagi anak-anak mereka. Saya yakin ibu juga begitu.
Terima kasih telah berbagi.
Salam,
Pijar Psikologi.
Catatan: Curhat, adalah sesi konsultasi yang disetujui oleh klien untuk dibagikan kepada pembaca agar siapapun yang mengalami masalah serupa dapat belajar dari kisahnya. Nama klien dan nama konselor kami anonimkan