CURHAT: Saya Merasa Selalu Direndahkan Keluarga dan Insecure dengan Teman-Teman

Curhat

Di rumah saya merasa selalu direndahkan, terutama oleh kakak saya. Padahal, bisa saya katakan saya orang yang punya banyak kelebihan di bidang seni, akademik, dan penampilan fisik. Saya mengklaim diri saya sedang mengalami quarter life crisis karena saya sedang diharuskan dari sekarang mencari universitas ideal atau pendidikan selanjutnya yang banyak memiliki nilai plus di mata orang tua saya walau bertentangan dengan keinginan saya. Di rumah saya selalu disuruh untuk melakukan sesuatu selain pegang handphone. Saya dibilang tidak punya visi ke depannya. Saya punya impian saya sendiri, tapi tidak ada orang rumah yang setuju padahal teman-teman dan orang orang yang berada di lingkungan selain lingkungan keluarga saya mengakui kelebihan saya (kelebihan yang membuat impian saya tersebut). Padahal saya selalu mengerjakan apa yang disuruh orang rumah dan tidak melakukan apa yg tidak dikatakan. Tapi saya yang tidak melakukan apa apa tersebut mereka nilai sebagai “you do nothing”,”kerjaanmu pegang hape doang”,”lakukan sesuatu ttg masa depanmu”,”kamu gak peduli tentang masa depanmu”.

Di sekolah pun akhir akhir ini saya rasa teman teman saya membenci saya. Saya merasa sakit dengan perkataan teman saya, bahkan teman dekat saya. Akhir-akhir ini banyak pekerjaan sekolah berkelompok dan saya dipasangkan dengan orang yang bermasa bodoh tentang tugas dan saya merasa sangat sial berkelompok dengannya (saya ini tipikal introvert yang ogah ogahan kerja kelompok, hanya tenang bila tugas yang memang harus saya kerjakan selesai). Bahkan perkataan seperti “mentang mentang ga remed lu huhu” (saya yang dalam keadaan normal akan menganggap dia sedang bercanda, tapi sekarang ini menyakiti saya), “kamu pergi aja” (dia sedang remedial di kelas dan maksud yang saya tangkap adalah saya tidak usah disini karena tidak punya urusan, tapi ini menyakiti saya), “kamu ambil minum aja” (saya yang dalam keadaan normal akan menganggap dia minta tolong karena memang pada saat itu dia butuh, namun mungkin secara halus mengusir saya, saya merasa sakit dengan hal ini). Bahkan sahabat yang sangat dekat dengan saya, sedekat saya sampai berani beberapa kali curhat padanya, saat ini saya tidak punya keinginan untuk bicara padanya. Bila ada barang yang saya lupa letakkan dimana atau barang yg tiba tiba hilang karena terselip di tas, saya selalu insecure, “Jangan jangan ada seorang teman yg mengambilnya, dan saya pun mulai menanyakannya dan menuduh.”

Saya merasa tidak ada yang peduli dengan saya. Tapi meskipun saya sedih, saya tidak boleh menangis karena nantinya pasti akan ada pertanyaan pertanyaan seperti “kamu kenapa” yang saya rasa sangat merepotkan. Sering terbesit di benak saya untuk cepat cepat mati saja. Saya pernah sengaja bilang pada sahabat saya via chat bahwa saya ingin mati saja untuk mendapatkan support dan perhatian darinya melalui kekhawatirannya. Saya kemudian mengklaim diri saya sedang mengalami depresi.

Gambaran: Perempuan, 17 tahun, SMA

Jawaban Pijar Psikologi

Pertama-tama saya ucapkan terima kasih atas kepercayaan Mbak untuk berbagi dengan Pijar Psikologi. Dari apa yang Mbak sampaikan, saya dapat membayangkan apa yang tengah Mbak alami. Saat ini, sepertinya Mbak tengah sendirian dan tidak ada satupun yang dapat mengerti Mbak. Sesak, marah, dan jengah. Tampaknya perasaan-perasaan itu tengah berkecamuk dalam diri Mbak. Bahkan Mbak mengklaim bahwa Mbak tengah depresi.

Depresi itu sendiri merupakan salah satu gangguan psikologis. Untuk menegakkan apakah seorang mengalami depresi ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi, melalui pemeriksaan yang mendalam dan menyeluruh. Gejala utama dari depresi diantaranya, adanya afek depresif, hilangnya minat dan kegembiraan, berkurangnya energi (mudah lelah) dan berkurangnya aktivitas. Selain itu, seseorang juga perlu menunjukkan beberapa gejala lain yang perlu muncul dengan kriteria tertentu sebelum dapat memastikan seseorang tersebut memang memiliki depresi atau tidak.

Meskipun demikian, tidak mudah untuk menentukan apakah seseorang mengalami depresi atau tidak. Saran saya, jika kondisimu tidak kunjung membaik setelah 2 minggu, silakan memeriksakan diri ke psikolog atau psikiater di rumah sakit terdekat dari tempat tinggalmu.

Sepertinya menyenangkan ya, ketika orang-orang di sekitar kita mendukung apa yang kita inginkan serta menghargai atas apa yang sudah kita lakukan. Terlebih ketika itu berkaitan dengan impian yang kita capai. Akan tetapi, pada kenyataannya, sering terjadi perbedaan pemahaman antara satu orang dengan orang lain, antara kita dengan orang lain.

Seperti misalnya, saya dan Mbak adalah sahabat dekat, pergi ke kebun binatang untuk pertama kali dan baru pertama kali itulah kita melihat binatang-binatang di dalamnya. Kita sama-sama tidak tahu harimau itu seperti apa. Saya kemudian mendatangi kandang harimau ketika harimau itu tengah bermain-main dengan penjaganya. Mbak mendatangi kandang harimau ketika harimau itu mengaum dan menerkam mangsa. Ketika kita berjumpa, kira-kira penilaian kita terhadap harimau itu sama atau tidak? Saya mungkin mengatakan bahwa harimau itu lucu dan menggemaskan. Mungkin Mbak akan mengatakan bahwa harimau itu buas, ganas, dan berbahaya.

Jika kita kemudian saling bersikeras dengan penilaian kita, apa yang terjadi?

Jengkel?

Marah?

Bermusuhan?

Jika kita terus mencari siapa yang benar, apakah akan ada yang mengalah?

Kedua versi itu benar adanya.

Lalu, kira-kira apa yang bisa kita lakukan? Seperti yang Mbak alami sendiri, bahwa terkadang kita memiliki dua sudut pandang dalam satu waktu. Ada sudut pandang yang saat itu terpengaruh emosi/keadaan, misalnya ketika Mbak diminta untuk mengambil minum dan menganggap itu adalah usiran dengan cara halus. Ada juga sudut pandang yang lebih objektif, yaitu bahwa orang itu memang membutuhkan air minum.

Jika Mbak berpaku pada pikiran pertama, apa yang terjadi? Bagaimana perasaan Mbak? Bagaimana perilaku Mbak kemudian?

Jika Mbak kemudian, berusaha memahami dengan cara pikir yang kedua, apa yang terjadi? Bagaimana perasaan Mbak? Bagaimana perilaku Mbak kemudian? Di antara kedua alternatif itu, mana yang lebih positif bagi Mbak sendiri?

Dalam psikologi, terdapat teori kognitif-perilaku yang menyatakan bahwa perasaan, pikiran, dan perilaku adalah tiga hal yang saling terkait dan mempengaruhi. Seperti contoh yang Mbak alami, ketika perasaan Mbak tengah sensitif, semua yang dilakukan orang-orang di sekitar Mbak dilihat negatif, mulai dari yang mengusir, menyakiti, dsb.

Lalu apa yang terjadi dengan perilaku Mbak? Mbak menjadi mudah menuduh, dsb. Pikiran-pikiran yang muncul pertama kali seperti ini, adalah apa yang disebut pikiran negatif yang otomatis. Kira-kira dampak pikiran negatif yang otomatis ini bagi Mbak lebih banyak yang positif atau negatif?

Selain pikiran negatif yang otomatis, terdapat juga pikiran alternatif. Pikiran alternatif ini, seperti pikiran yang lebih objektif terhadap suatu hal. Dalam contoh pengalaman Mbak mengambil minum, terdapat pikiran alternatif bahwa mungkin saja orang itu memang benar-benar butuh minum. Jika pikiran alternatif ini langsung dimunculkan setelah pikiran negatif yang otomatis, kira-kira apa yang terjadi? Adakah perbedaan antara sebelum pikiran alternatif ini dimunculkan dan setelahnya?

Coba Mbak bayangkan salah satu pengalaman dimana pikiran negatif yang otomatis itu muncul. Perhatikan apa yang Mbak rasakan. Lalu cobalah mencari pikiran-pikiran alternatif sebanyak mungkin atas pengalaman tersebut. Kembali perhatikan apa yang Mbak rasakan. Adakah perbedaan?

Kembali pada kita yang mengunjungi kebun binatang, kira-kira pikiran alternatif seperti apa yang bisa dimunculkan?

“Mungkin dia memang suka binatang buas”

“Mungkin dia memang menyukai harimau”

“Mungkin kita berada pada situasi yang berbeda saat mengunjungi harimau”

Dsb.

Hal ini juga bisa diterapkan ketika Mbak berada di rumah. Di satu sisi Mbak menganggap bahwa Mbak sudah melakukan apa yang perlu dilakukan, yang diperintahkan. Di satu sisi keluarga Mbak menganggap Mbak tidak melakukan apa-apa. Kira-kira pikiran alternatif apa yang muncul?

Mungkinkah pandangan mereka berbeda dengan Mbak tentang “doing something”? Mungkin Mbak menganggap “doing something” adalah cukup dengan melakukan sesuatu yang diperintahkan dan menghindari yang dilarang. Di sisi lain keluarga Mbak mungkin menganggap “doing something” adalah ketika Mbak berinisiatif sendiri tanpa diminta.

Jika kita menilai ada perbedaan pendapat, terkadang kita perlu melakukan konfirmasi kepada yang bersangkutan. Dalam melakukan konfirmasi hindari berbicara dalam nada tinggi serta hindari menggunakan kata-kata yang berupa sindiran dan bersifat menghakimi. Kata-kata yang bersifat menghakimi, misalnya “kamu ngga pernah mau mengerti”, “kamu selalu menangnya sendiri”, dsb. Mulailah dengan mengungkapkan apa yang Mbak rasakan. Misalnya “saat ini aku sedang bingung, aku merasa sudah berusaha, tapi sepertinya apa yang aku anggap usaha berbeda dengan bapak/ibu/kakak pahami …”.

Kemudian, jika sudah mengetahui sudut pandang keluarga, carilah jalan tengahnya bersama keluarga Mbak. Apakah Mbak mengikuti kemauan keluarga dengan dukungan penuh dari keluarga, ataukah Mbak berani mengambil resiko berjalan sendiri dan berjuang meyakinkan keluarga bahwa apa yang Mbak impikan dapat terwujud?

Mengungkapkan apa yang dirasakan/dipikirkan tidak hanya ketika ada kesalahpahaman. Mengungkapkan apa yang dirasakan/dipikirkan secara apa adanya dengan cara yang baik juga dapat menghindarkan kita dari kesalahpahaman serta mencapai apa yang kita inginkan. Misalnya, ketika kamu tengah membutuhkan teman untuk berbagi. Mbak bisa mulai dengan mengungkapkan apa yang tengah dirasakan. Misalnya ketika Mbak hanya butuh untuk didengarkan, Mbak dapat mengatakan bahwa saat ini Mbak hanya butuh didengarkan saja. Dengan demikian, teman Mbak dapat memahami bahwa ia tidak perlu memberikan masukan terhadap apa yang tengah dialami.

Dan meminta tolong adalah wajar. Tuhan tidak hanya menciptakan perasaan senang. Ada marah, lemah, benci, sedih, dsb. Tuhan tidak menciptakan perasaan itu secara sia-sia. Tanpa marah, kita tidak akan pernah tahu apa itu membela diri. Tanpa lemah kita tidak akan pernah tahu menolong diri, misal dengan meminta bantuan, dan kita juga tidak akan pernah tahu untuk membantu orang lain. Tanpa benci, kita tidak pernah tahu melindungi diri. Tanpa sedih, kita tidak akan pernah tahu kapan untuk bergantung dan kita juga tidak akan pernah tahu rasanya kasih sayang. Jadi, tidak ada yang salah dengan perasaan-perasaan itu dan semua perasaan tidak ada yang buruk. Baik-buruknya suatu perasaan tergantung pada bagaimana kita mengekspresikannya kepada orang lain. Perasaan-perasaan itu adalah tanda untuk saatnya bagi kita menolong diri kita sendiri. Jika saat itu kita merasa lemah, itu wajar, dan meminta tolong juga adalah wajar.

Apakah itu akan memberatkan orang lain? Seperti halnya Mbak tahu apa yang Mbak lakukan, orang lain pun tahu apa yang mereka lakukan. Jika mereka keberatan, apakah mereka akan menunjukan kepedulian mereka atau malah bersikap menjauh? Jadi, apa yang kita ketahui belum tentu sama dengan apa yang diketahui oleh orang lain. Mulailah memahami diri sendiri, dengan memahami seperti apa posisi kita dan dalam situasi apa kita, untuk kemudian kita belajar memahami seperti apa orang lain memahami kita. Mungkin posisi dan situasi mereka akan mempengaruhi pemahaman mereka tentang diri kita. Karena cara memahami akan berbeda dari satu orang dengan orang lainnya. Jika kita merasa belum dipahami orang lain, mungkin saja kita yang sebenarnya belum memahami diri kita sendiri.

Dari apa yang Mbak sampaikan, saya bisa melihat bahwa Mbak sudah mulai berusaha untuk memahami diri Mbak. Dan ini adalah sebuah langkah besar bagi Mbak untuk memperluas pemahaman itu, baik ke dalam diri maupun kepada orang lain. Mungkin itu saja yang bisa saya sampaikan. Terima kasih atas kepercayaan Mbak untuk berbagi dengan saya.

Terima kasih telah berbagi.

Salam,

Pijar Psikologi

Pijar Psikologi

Pijar Psikologi adalah media non-profit yang menyediakan informasi kesehatan mental di Indonesia.

Previous
Previous

Bersyukur untuk Berdamai dengan Masalah

Next
Next

Abusive Relationship: Mengapa Perempuan Memilih Bertahan?