CURHAT: Saya Tidak Bisa Merasakan dan Mengekspresikan Emosi
Curhat
Saya merasa tidak memiliki emosi apapun (selalu merasa kosong). Akan tetapi, saya bisa memanipulasi emosi apa yang harus saya keluarkan di saat yang tepat. Saya ingin berkonsultasi sebenarnya apa yang terjadi dalam diri saya? Saya tahu ada yang salah dengan diri saya, tapi saya tidak tahu harus saya apakan.
Dulu saya adalah orang normal biasa yang memiliki perasaan takut, benci, khawatir, kaget, senang, sedih, dan lainnya. Akan tetapi, semakin bertambahnya usia dan pengalaman hidup saya, saya selalu dikecewakan, dikhianati, dibohongi dan dipandang remeh. Saya hanya berusaha menjadi pribadi yang baik, tapi itu sama sekali tidak diterima di masyarakat.
Saking seringnya mendapat perlakuan seperti itu, lama-lama sifat dan kepribadian saya pun berubah. Saya yang sekarang hanya sedikit bisa merasakan suatu emosi, sebagian besar sudah hilang dan terus menurun. Saya tidak lagi merasa takut akan sesuatu, sedih, senang, kasihan, atau peduli. Tapi saya tahu saat-saat seperti apa saya harus mengeluarkan emosi seperti apa. Tapi itu bukan spontanitas dan bukan dari hati saya. Itu hanya karena saya tahu harus seperti apa agar dianggap normal dan diterima di masyarakat, keluarga, pekerjaan juga teman-teman. Meskipun saat ini saya tidak punya pasangan, saya juga tidak peduli akan hal itu. Kenapa saya harus memedulikan sesuatu sementara tidak ada orang yang peduli dengan keberadaan saya.
Bahkan terkadang saya merasa bingung dengan tujuan hidup saya. Jangan bahas soal agama, karena saya tipe orang yang berpikir logis. Saya sendiri pun tidak yakin awalnya untuk membahas masalah ini disini. Tapi apa salahnya mencoba? Mungkin saya bisa menemukan sesuatu.
Gambaran: Laki-laki, 27 tahun, Pegawai Swasta
Jawaban Pijar Psikologi
Di dalam tulisan, kamu menuliskan bahwa ada keraguan dalam diri untuk menceritakan permasalahan ini kepada kami. Meskipun demikian, kamu tetap mau mencoba. Oleh karena itu, saya mewakili Pijar Psikologi mengucapkan terima kasih atas kesediannya untuk berbagi di sini.
Dari apa yang kamu sampaikan, saya menangkap bahwa semakin hari ada hal yang ganjil dalam diri kamu, yaitu bahwa perasaan-perasaan yang dulu ada sekarang semakin berkurang dan bahkan beberapa terasa menghilang. Sepertinya hidup ini terasa hampa dan tidak bertujuan lagi. Tidak lagi ada hal yang menyenangkan untuk dikejar dan tidak ada lagi hal yang begitu menakutkan untuk dihindari. Semua terasa datar. Meskipun demikian, kamu tetap berusaha untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan. Kamu berusaha untuk menunjukan simpati dengan memunculkan ekspresi emosi yang sesuai dengan situasi. Hal ini menunjukan bahwa kamu memiliki kepedulian kepada lingkungan, meskipun kondisi kamu sendiri kurang nyaman. Menurut saya, ini adalah satu hal yang perlu diapresiasi.
Terkait dengan emosi, emosi sendiri itu merupakan respon spontan ketika seseorang dihadapkan pada suatu hal atau situasi. Ibaratnya air sungai, ketika ia diterima keberadaannya maka ia akan mengalir dan berlalu. Di sisi lain, ketika emosi itu ditolak, maka air sungai itu terbendung. Akibatnya, ia menetap, semakin dalam, dan mengendap. Mungkin kamu familiar dengan ucapan orang-orang yang mengatakan, “setelah nangis udah lega” atau “setelah cerita terasa plong”. Mungkin hal ini bisa menjadi contoh bagaimana emosi itu mengalir.
Seperti yang saya sebutkan tadi, bahwa ketika kita menolak emosi maka emosi itu menjadi terbendung, mendalam, dan mengendap. Ketika banyak emosi-emosi yang ditolak, mereka mengendap dalam ketidaksadaran. Seperti di dasar sungai terdapat endapan yang terbentuk dari banyak partikel, begitu pula endapan emosi kita. Dengan mengendapnya emosi-emosi itu, kita menjadi tidak dapat mengenali setiap emosi-emosi yang ada di dalam endapan itu.
Karena yang kita lihat bukan lagi tiap partikel, melainkan gumpalan dari partikel-partikel. Hal ini kemudian menjadi satu bentuk stres baru yang ada di dalam diri. Kemudian stres ini biasanya muncul dalam bentuk reaksi fisik. Di dalam ilmu kesehatan dan psikologi terdapat gangguan-gangguan psikologis yang ditandai oleh adanya simtom fisik, seperti rasa nyeri atau pegal yang menetap di bagian tubuh tertentu, naiknya aktivitas jantung dan kandung kemih, gangguan di lambung, gangguan tidur, dan sebagainya.
Pada umumnya, orang-orang membagi emosi ke dalam dua jenis, yaitu emosi negatif dan emosi positif. Emosi negatif biasanya dikaitkan dengan emosi yang menimbulkan rasa tidak nyaman atau yang dinilai tidak sesuai dengan norma, misal sedih, kecewa, kesepian, marah atau terluka. Sedangkan emosi positif biasanya dikaitkan dengan emosi yang menimbulkan rasa nyaman, seperti senang, gembira, damai, tenang dan ceria. Anggapan bahwa emosi yang menimbulkan rasa tidak nyaman adalah sesuatu yang negatif seringkali membuat kita menolak keberadaannya. Mungkin kamu familiar dengan ucapan-ucapan seperti, “aku tidak boleh marah,” “nggak boleh sedih”, “tidak boleh nangis,” “tidak boleh cemen”. Ini adalah beberapa bentuk penolakan terhadap emosi.
Seperti insting pada binatang, emosi pada dasarnya menjadi pelindung bagi kita. Dengan adanya marah, kita menjadi bisa membela diri. Dengan adanya kecewa, kita menjadi terdorong untuk bangkit dan kembali mencoba. Dengan adanya sedih, kita menjadi bisa bersimpati. Jadi, sebenarnya tidak ada emosi yang negatif. Bayangkan jika kita tidak pernah mengenal emosi-emosi ini, kira-kira apa yang terjadi? Mungkin kita tidak akan mampu membela diri ketika disakiti, tidak pernah berusaha untuk lebih maju atau tidak bisa bersimpati pada orang lain.
Bagimu merasakan emosi-emosi ini mungkin terasa sangat sakit. Akan tetapi, jika emosi-emosi ini ditolak maka lama kelamaan kita akan kehilangan “alarm” kita untuk melakukan sesuatu. Untuk itu mungkin beberapa hal di bawah ini dapat membantu kamu untuk kembali mengenali emosi.
1. Perhatikan reaksi fisik
Seperti yang telah saya sampaikan di atas, bahwa ketika emosi itu tidak tersalurkan, mereka biasanya muncul dalam bentuk reaksi fisik. Adakah bagian yang nyeri,pegal atau terasa tidak nyaman. Lalu perhatikanlah pada situasi apa reaksi fisik itu muncul. Dengan demikian, kita akan terbantu dalam mengenali emosi apa yang sebenarnya tengah dirasakan.
2. Berikanlah waktu dan ruang kepada diri untuk merasakan emosi
Ketika kamu merasakan hal yang membuat kamu marah, kecewa, bingung dan sebagainya, berilah waktu kepada diri untuk merasakan emosi itu. Akui bahwa “ya, aku kecewa”, “ya aku merasa sakit dan ini menyakitkan” atau “ya, hal ini membuatku marah”.
3. Ungkapkan dengan cara yang baik
Perlu diketahui bahwa merasakan emosi berbeda dengan pengungkapan emosi. Ketika dirasa perlu, kamu boleh mengungkapkan emosi. Mengungkapkan emosi tidak hanya dengan ekspresi menangis atau tertawa. Kamu juga bisa mengungkapkannya melalui kata-kata. Misal ketika ada seseorang membuat kamu marah, sampaikanlah bahwa apa yang dilakukan orang itu memang membuat kamu marah dengan kata-kata yang baik.
4. Berikan maaf dan apresiasi terhadap diri
Dari apa yang kamu sampaikan, saya menangkap bahwa sepertinya sekeras apapun usaha yang dilakukan, hasilnya selalu mengecewakan. Sepertinya semua usaha kamu berujung pada kegagalan. Menyakitkan?. Pasti. Dan sepertinya kamu tidak ingin merasakan kegagalan itu dan tidak ingin merasakan sakit itu. Dan mungkin hal ini yang mendorong kamu untuk mengacuhkan setiap perasaan, karena toh semuanya akan berakhir menyakitkan. Akhirnya kamu ada di posisi sekarang ini, di mana kamu sulit untuk merasakan emosi.
Oleh karena itu, jika kamu selama ini tidak mengizinkan diri untuk merasa gagal dan sakit maka cobalah untuk mulai mengizinkan diri untuk merasakan gagal dan kecewa. Berilah maaf kepada diri atas semua ketidaksempurnaan diri dan atas pengalaman-pengalaman yang kamu rasa “seharusnya tidak seperti itu”. Selain itu, berilah apresiasi terhadap setiap usaha yang telah kamu lakukan. Berilah apresiasi karena kamu masih bertahan hingga saat ini. Berilah apresiasi kepada diri karena masih terus berusaha.
Terkadang kita dengan mudah memberikan maaf kepada orang lain, tetapi lupa untuk memberikan maaf kepada diri sendiri karena tidak sempurna. Memberikan apresiasi kepada orang lain sepertinya jauh lebih mudah daripada memberikan apresiasi kepada diri dengan alasan bahwa seharusnya aku bisa lebih dari ini. Hal ini kemudian membuat kita lupa, bahwa seharusnya orang yang pertama kali memberikan apresiasi dan maaf adalah diri kita.
Mungkin itu saja yang bisa saya sampaikan. Semoga apa yang saya sampaikan dapat memberikan manfaat bagi kamu. Dan jika ada kata yang kurang berkenan bagi kamu, saya mohon maaf.
Terima kasih telah berbagi.
Salam,
Pijar Psikologi