Distorsi Kognitif: Ketika Cara Berpikirmu Berbahaya

Di artikel sebelumnya, kita sudah berkenalan singkat dengan Cognitive Behaviour Therapy (CBT) yang banyak digunakan untuk perlakuan terhadap depresi dan banyak gangguan psikologis lainnya. Selanjutnya, mari kita berkenalan lebih dekat dengan satu istilah yang akan sering muncul saat membicarakan CBT; distorsi kognitifDistorsi kognitif adalah kesalahan logika dalam berpikir, serta kecenderungan berpikir yang berlebihan serta tidak rasional. Apabila dibiarkan, kesalahan ini akan menjadi kebiasaan, mempengaruhi kondisi emosi kita, serta termanifestasi dalam perilaku. Berikut adalah jenis-jenis distorsi kognitif yang mungkin kita alami:

1. Filter mental (Mental filter)

Kacamata membantu kita untuk melihat, tapi kacamata hitam membantu kita untuk tidak melihat sinar matahari yang terlalu terang. Distorsi kognitif ini adalah seperti memakai kacamata hitam untuk memandang dunia. Kita akan terfokus hanya pada hal-hal yang negatif saja dan mengabaikan aspek positif yang ada. Misalnya, kita tidak suka pelajaran Matematika di sekolah, kita akan langsung berpikir bahwa sekolah itu menyebalkan, dan mengabaikan fakta bahwa banyak hal lain yang positif tentang sekolah selain matematika.

2. Black and white thinking

Atau sering disebut juga pemikiran “Semua atau tidak sama sekali”. Distorsi kognitif ini membuat kita berpikir hanya di dua titik ekstrem. Orang-orang pasti baik atau jahat. Hidup akan berjalan lancar atau buruk. Peristiwa yang kita alami hanya terdiri dari kejadian baik atau buruk. Saat kita berbuat kesalahan dalam ujian misalnya, kita akan langsung berpikir bahwa kita adalah siswa yang buruk dan segalanya akan rusak.

3. Pemberian cap atau label (Labelling)

Mirip dengan black and white thinking, distorsi kognitif ini membuat kita memberi label pada siapapun; orang lain, ataupun kita sendiri. Padahal, setiap orang punya banyak sisi dan tidak mungkin satu label dapat mendeskripsikan keseluruhan sisi seseorang. Misalnya, kita mendapat kritik dari atasan, lalu langsung mencap diri sendiri bodoh dan tidak kompeten. Lalu membuat kita tidak bersemangat saat bekerja, padahal kritik yang didapat hanya tentang satu bagian kecil dari keseluruhan tanggung jawab di kantor. Atau, saat kita mencap seseorang bodoh, maka segala yang ia lakukan akan salah bahkan walaupun sebenarnya tidak begitu.

4. Overgeneralisasi (Overgeneralizing)

Distorsi kognitif ini terjadi saat kita terlalu menggeneralisasi sesuatu. Misalnya, seseorang pernah gagal dalam berpacaran padahal sudah akan menikah. Lalu ia menggeneralisasi bahwa semua lawan jenis memang jahat, serta timbul trauma dalam hubungan romantis karena distorsi pikiran yang menempatkan satu pengalaman buruk sebagai norma untuk pengalaman di masa depan.

5. Loncatan ke simpulan (Jumping to conclusions)

Distorsi kognitif ini adalah saat kita membuat kesimpulan tanpa memiliki bukti yang mendukung. Contohnya, saat akan ada ujian, kita beranggapan akan gagal. Hal ini tentu tidak baik karena ujian belum terlaksana, hasil ujian belum keluar, dan sebenarnya masih banyak waktu untuk mempersiapkan materi ujian. Pikiran seperti ini malah akan membuat kita merasa bahwa hal negatif sudah terjadi dan menghalangi kita melakukan persiapan yang maksimal.

6. Membaca pikiran (Mind reading)

Adalah saat seseorang memprediksi apa yang orang lain pikirkan tanpa adanya bukti yang mendukung. Misalnya, suatu hari kamu berpapasan dengan seorang teman, tapi ia tidak menyapa. Kamu langsung berpikir hal negatif tentangnya (Wah, dia sombong sekali tidak menyapa; Apakah dia tidak mau berteman lagi denganku?: Apakah aku tidak dia anggap teman?). Padahal, bisa saja asumsi negatif yang kita pikirkan tidak sesuai dengan apa yang dia pikirkan atau apa yang sebenarnya terjadi. Atau bisa saja temanmu memang sedang tidak fokus dan banyak hal yang ada di pikirannya saat berpapasan denganmu.

7. Pemikiran “Harus”

Distorsi kognitif membuat kita terjebak dalam suatu ideal yang menurut kita harus orang lain atau kita sendiri lakukan. Pemikiran seperti Semua orang harus mengerti perasaanku, dong!, “Seharusnya dia lebih ramah sama orang lain,” atau “Harusnya aku lebih berani berpendapat, jadi aku ga bakal dipandang buruk oleh teman-teman” dapat membuat kita tertekan atau frustrasi karena adanya pemikiran harus yang tidak realistis.

8. Personalisasi (Personalizing)

Adalah saat kita merasa bersalah atau bertanggungjawab secara personal atas sesuatu yang mungkin bukan sepenuhnya kesalahan kita. Contohnya, saat pertandingan olahraga dan tim kita kalah kemudian kita menyalahkan diri sendiri sebagai penyebab kekalahan tim, padahal yang bermain di pertandingan tersebut tidak hanya kita sendiri.

9. Penalaran emosional (Emotional reasoning)

Saat kita terlalu fokus pada emosi dan memberikan porsi yang terlalu banyak pada sisi emosional saat memandang atau memutuskan sesuatu. Saat kita merasa tidak yakin, tidak nyaman atau tidak mampu menghadapi sesuatu, kita lalu beranggapan bahwa kita tidak akan bisa melakukannya. Kata-kata “Saya merasa tidak bisa..”, “Saya kayaknya tidak mampu,” menjadi berbahaya karena sebenarnya pemikiran berlandaskan emosi negatif ini dapat mempengaruhi keputusan dan tindakan yang diambil.

10. Pembesaran atau pengecilan (Magnifying atau Minimising)

Saat kita memandang sesuatu tidak sesuai dengan porsinya. Kemungkinan pertama adalah pembesaran, yaitu saat kita membesarkan hal negatif yang terjadi lebih dari apa yang sebenarnya menjadi porsinya. Kemudian, kemungkinan kedua adalah mengecilkan pencapaian atau hal positif. Kedua hal ini menjadi berbahaya karena kita akan cenderung berpikir secara negatif apapun yang terjadi, bahkan walaupun hal positif terjadi di dalam hidup.

11. Standar ganda (Double standard)

Yaitu saat kita memiliki standar yang berbeda untuk kita dan orang lain. Misalnya satu kesalahan yang sama, saat dilakukan oleh kita menjadi sangat negatif namun saat dilakukan orang lain kita berpikir “Ah, hal itu dapat terjadi ke siapa saja,”, ataupun sebaliknya. Distorsi ini membuat kita melihat sesuatu tidak sesuai dengan apa yang terjadi dan nantinya akan muncul kecenderungan untuk menyalahkan orang lain ataupun diri sendiri.

Nah demikian 11 jenis distorsi kognitif yang mungkin kita lakukan. Pada kadar tertentu, semua orang pasti memiliki distorsi kognitif, baik satu ataupun lebih dari satu jenis. Pengetahuan tentang distorsi kognitif membantu kita menyadari jenis distorsi apa yang kita punyai. Namun, terlepas dari jenis distorsi kognitif apa yang kita sering lakukan, langkah selanjutnya diserahkan pada kita sendiri. Apakah akan berusaha untuk melawan serta mengubah kebiasaan distorsi kognitif yang salah tersebut? Apakah akan dibiarkan saja kebiasaan di atas, menghiraukan pikiran negatif sambil berusaha tetap optimis? Apakah akan dibiarkan saja walaupun terdapat resiko pikiran negatif semakin banyak bermunculan di pikiran kita?

Satu hal yang perlu diingat adalah, otak kita termasuk organ tubuh yang tergantung oleh kebiasaan. Saat kita membiasakan diri untuk berpikir dengan cara yang rasional, obyektif, dan adaptif, pikiran yang dihasilkan pun akan lebih positif. Begitu pula saat kita terbiasa dengan cara berpikir yang salah, tidak rasional dan mengabaikan kenyataan, maka apa yang dihasilkan akan negatif pula.

 

Tulisan ini dikirimkan oleh Azizah Suli Kawalian, Lulusan S2 Universitas Leiden. Hobinya adalah memutar lagu yang sama di spotify hingga ratusan kali.

Pijar Psikologi

Pijar Psikologi adalah media non-profit yang menyediakan informasi kesehatan mental di Indonesia.

Previous
Previous

Cerita Kami: Depresi dan Proses Titik Balik Kehidupan

Next
Next

Cerita Kami: 42 Kali ke Psikolog, Apa yang Saya Dapatkan?