Doa, Optimisme dan Kebahagiaan

Mungkin benar jika abad 19 dan abad 20 itu sangat kental dengan pertumbuhan dari berbagai paradigma yang sudah melekat sejak lama. Pada titik itulah, paradigma-pradigma tersebut bisa berhasil hingga titik puncak. Pada titik itu pula, muncul hubungan bertolak belakang antara ilmu dan agama. Harapan-harapan yang didengungkan oleh agamawan menjadi ungkapan penuh keraguan yang dipandang dengan kacamata skeptis oleh ilmuwan. Meskipun ada beberapa hal dalam kepercayaan atau agama yang belum bisa diuji secara empiris, namun sepertinya ada perlunya juga kita mengkaji bagaimana efek religiusitas terhadap kehidupan kita.

Kebahagiaan dan Religiusitas

Penelitian dalam ilmu psikologi tentang hubungan religiusitas, kebahagiaan, dan pemulihan setelah trauma mulai banyak berkembang. Pada tahun 1967, Warner Wilson meninjau tentang studi yang membahas kehidupan yang bahagia. Ia memberitahukan kepada dunia psikologi jika salah satu komponen seseorang yang bahagia adalah religiusitas. Data dari penelitian Wilson ini menunjukkan bahwa orang Amerika yang religius memiliki kemungkinan yang lebih sedikit untuk menyalahgunakan obat-obatan, melakukan tindak kejahatan, bercerai, dan bunuh diri.

Penelitian lainnya dilakukan oleh Sheena Sethi Iyengar, seorang professor dari Colombia University yang menjelajahi Amerika Serikat demi menyeleseikan tesisnya tentang optimisme dan keyakinan beragama. Ia menyebarkan kuesioner kepada ratusan jemaat, menganalisis dan mencatat lusinan misa akhir pekan, mencermati tata cara peribadatan, dan menelaah kisah-kisah yang disampaikan sebelas agama besar di Amerika kepada anak-anakHasil yang didapatkan adalah agama berperan meningkatkan kebahagiaan dan kepuasaan hidup melalui harapan dan keyakinan positif akan masa depan yang diberikan.

Bersosialisasi, Kunci Mencapai Bahagia

Hasil data-data tersebut yang menggugah Martin Seligman untuk membuktikannya. Dalam bukunya, Seligman mengungkapkan jika ingin terus menerus menaikkan level kebahagiaan, maka kita harus berusaha untuk mengubah kondisi eksternal kita yakni hidup dalam demokrasi dan menghilangkan kediktatoran, menikah, menghindari kejadian yang menimbulkan emosi negatif, bersosialisasi dengan orang lain dan beragama. Meskipun begitu, Seligman menakar bahwa agama tidak terlalu kuat  untuk membawa perubahan ke arah yang lebih bahagia daripada kondisi eksternal yang lainnya. Seligman menakar bahwa bersosialisasi dengan orang lain sebagai kondisi eksternal yang paling kuat untuk membawa kehidupan yang lebih bahagia.

Mungkin kita coba beralih ke ranah lokal. Penulis akan mencoba untuk memaparkan salah satu penelitian yang dilakukan oleh penulis pada tahun 2018 tentang optimisme yang dimiliki seorang santri ketika marak isu radikalisme agama di Indonesia. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa agama merupakan sarana untuk meningkatkan optimisme akan masa depan guna melawan keputusasaan dan meningkatkan kebahagian̶. Kondisi yang dialami oleh para santri saat itu sebenarnya bisa dibilang tidak dalam kondisi mudah. Maraknya isu radikalisme agama membuat mereka terkadang mendapat stigma negatif ketika sekedar memakai pakaian adat agama mereka. Terlebih lagi usia yang dimiliki santri tergolong masih sangat muda yang biasanya rentan akan kerugian psikologis seperti kecemasan dan depresi.

Meditasi dan Doa Bantu Tingkatkan Emosi Positif Kita

Salah satu hal yang dapat meningkatkan well-being kita adalah karena kita memiliki harapan yang baik di masa depan. Harapan-harapan ini dapat kita kuatkan dengan ritual meditasi dan doa yang kita lakukan sehari-hari. Penelitian secara neuropsikologis menunjukkan bahwa saat kita berdoa atau meditasi, bagian otak yang paling dalam akan aktif, yakni bagian medial prefrontal corteks dan posterior cingulate corteks. Bagian otak ini aktif ketika kita sedang melakukan refleksi diri dan merasakan ketenangan.

Saat kita merasakan stres, sistem limbik dalam otak akan menjadi hiperatif. Saat ini terjadi, fungsi eksekutif kita yang membuat kita mampu berfikir secara logis dan rasional akan terhambat. Namun, saat kita melakukan meditasi dan berdoa dengan mengucapkan kata-kata atau mantra yang membangkitkan semangat, sistem limbik akan bekerja normal, dimana aliran darah dan metabolisme juga akan kembali normal.

———————————————————–

Artikel ini adalah sumbang tulisan dari Dimas Huda Mahendra, seorang Ilmuwan Psikologi asal Surakarta yang sangat tertarik dengan Psikologi Positif, Psikoterapi, dan Konseling. Dimas dapat dihubungi di akun Instagram: Instagram.com/dimshm

Pijar Psikologi

Pijar Psikologi adalah media non-profit yang menyediakan informasi kesehatan mental di Indonesia.

Previous
Previous

Memahami Lima Tahapan Kesedihan Setelah Perpisahan

Next
Next

CURHAT: Teman Saya Kerap Terlihat Sedih dan Bercerita Tentang Bunuh Diri. Apa yang Bisa Saya Lakukan?