Fakta dan Mitos Seputar Anak Adopsi
Adopsi berdasarkan KBBI adalah pengangkatan anak orang lain sebagai anak sendiri. Dengan kata lain adopsi adalah proses dimana seorang dewasa secara legal dan permanen mengambil alih tanggung jawab orang tua terhadap seorang anak. Hal itu menyebabkan ia memiliki hak dan tanggung jawab orang tua kandung atau wali yang sah terhadap anak yang diadopsinya. Tindakan ini dapat dilakukan dengan berbagai macam alasan. Di masyarakat, terdapat anggapan yang berkembang tentang adopsi anak dan kemudian membentuk stigma tertentu terkait topik tersebut. Dari anggapan seperti “anak adopsi adalah anak pancingan untuk suami-istri memiliki anak kandung” hingga “anak adopsi dihilangkan identitas asli atau asal-usulnya demi kebaikan dan perkembangannya.” Namun, apakah anggapan-anggapan tersebut benar?
Artikel ini akan membahas tentang anggapan masyarakat seputar anak adopsi.
1.Anak Adopsi Bisa Dijadikan “Pancingan”
Bagi pasangan yang sudah lama menikah namun belum dikaruniai buah hati, tentu memiliki tekanan tersendiri di masyarakat. Oleh karena itu biasanya mereka mengambil langkah untuk mengadopsi anak dan menjadikannya pancingan agar sang istri dapat segera hamil. Namun, menurut seorang psikolog seksual menyatakan bahwa mengadopsi anak tidak dapat dijadikan sebagai “pancingan” karena hanya meringankan tekanan dari lingkungan sosial untuk pasangan tersebut. Apabila pasangan menghendaki memiliki anak, maka perlu merencanakan dengan benar dan tanpa paksaan.
Adopsi adalah proses yang legal dan tata caranya diatur dalam hukum (salah satunya) melalui PP No. 54 tahun 2007. Untuk itu, pengangkatan anak dilindungi secara hukum dan diatur hak serta kewajiban orang tua yang ingin mengadopsi anak secara rinci dan bersifat mengikat. Artinya, apabila ada kasus pengangkatan anak dengan alasan “hanya” ingin menjadikannya sebuah “pancingan” dan mengabaikan hak serta kewajiban yang diatur dalam undang-undang, maka itu tidak dibenarkan.
2. Anak Adopsi Lebih Berpotensi “Bermasalah”Daripada Anak Kandung
Walaupun banyak penelitian yang menyebutkan bahwa anak adopsi memiliki probabilitas dalam mengalami masalah psikologis, neurologis, sosial, dan perilaku yang unik dalam setiap situasi yang mereka hadapi di lingkungan mereka masing-masing. Hal itu bisa saja karena pemisahan dari orang tua kandung, trauma, stigmatisasi, perubahan budaya, pebolakan dari lingkungan atau riwayat keluarga biologis yang jarang sekali tercatat data lengkapnya.
Terlebih ketika orang tua yang mengadopsi tidak memiliki cukup pengetahuan dalam mengadopsi anak. Bahkan beberapa kasus, orang tua yang mengadopsi secara sengaja menghilangkan asal-usul anak adopsinya dengan berbagai alasan. Apalagi dalam Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang adopsi anak telah menyebutkan bahwa pengangkatan anak tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diadopsi dengan orang tua kandungnya. Ditambah dalam pasal selanjutnya menyeburkan bahwa orang tua yang mengadopsi wajib memberitahukan kepada anak angkatnya mengenai asal-usulnya.
Untuk itu, anak-anak sejak usia dini perlu diperkenalkan konsep adopsi. Hal itu bukan tanpa tujuan, melainkan agak si anak adopsi memahami asal-usulnya. Hal ini sangat penting karena berkaitan dengan konsep diri dan harga diri yang akan ia bentuk nantinya hingga dewasa. Selain itu, kisah adopsi pada usia dini ini dapat membantu orang tua untuk merasa nyaman dengan bahasa adopsi sehingga tidak perlu lagi canggung dalam membicarakan topik tersebut. Anak-anak perlu tahu bahwa mereka diadopsi, siapa orang tua kandungnya dan keterbukaan serta tingkat kenyamanan orang tua menciptakan lingkungan yang kondusif bagi anak untuk bertanya tentang adopsi sangat penting dalam menunjang hal tersebut. Pada kondisi ketika orang tua terbuka tentang keluarga kandung, anak adopsi akan mengerti perbedaan peran keluarga adopsi dan keluarga kandung dalam hidupnya. Namun, lagi-lagi hal tersebut tergantung pada keterbukaan hubungan di antara anak adopsi dengan orang tua yang mengadopsi.
Jadi, bukan berarti anak adopsi cenderung “bermasalah”. Perilaku anak, baik kandung maupun adopsi, dipengaruhi oleh pola pengasuhan dan lingkungannya sehingga tidak serta-merta anak adopsi kelak akan menjadi anak yang “bermasalah”. Bandura, seorang ahli yang mencetuskan teori pembelajaran sosial, menyatakan bahwa perilaku manusia diperoleh dari proses mengamati dan meniru perilaku orang lain.
3. Orang Tua Angkat Tidak Menyayangi Anak Adopsi
Keputusan untuk mengadopsi anak bukanlah sesuatu yang mudah. Tentu calon orang tua harus mampu merawat anak, termasuk mencintai mereka dengan sepenuh hati. Walaupun orang tua kandung memang memiliki cinta kasih yang besar pada anak kandungnya, tidak berarti pula orang tua angkat tidak bisa melakukan hal yang sama. Karena cinta dan keterikatan dengan anak bukan merupakan sesuatu yang hanya didapatkan dari faktor keturunan saja.
4. Adopsi Anak Hanya Dapat Dilakukan oleh Pasangan yang Menikah
Keputusan untuk mengadopsi anak juga dapat dilakukan oleh seseorang yang tidak sedang dalam ikatan pernikahan, sehingga akan menjadikannya sebagai seorang single parent. Biasanya tindakan ini dilakukan agar dapat meningkatkan kualitas hidup calon anak adopsi. Namun, calon orang tua juga perlu mempertimbangkan berbagai hal sebelum mengadopsi anak, di antaranya ialah dukungan dari lingkungan, asal-usul anak, serta kemampuan finansial seperti yang telah disyaratkan pada Peraturan Pemerintah No. 54 tahun 2007.
Sumber gambar: www.unsplash.com