Imunisasi Kesehatan Jiwa: Perlukah? Bagaimana Caranya?
Tanggal 10 Oktober kemarin diperingati sebagai Hari Kesehatan Jiwa Sedunia. Selama kurang lebih lima tahun terakhir, semboyan ‘No Health Without Mental Health’ cukup santer disosialisasikan. Hal ini dilakukan untuk memberikan perspektif baru bahwa kesehatan tidak semata-mata kesehatan fisik saja. Seperti kesehatan fisik, kesehatan jiwa pun rentan terkena gangguan, terlebih dengan tekanan dan perubahan yang semakin kompleks seiring zaman.
Oleh karena itu, kesehatan jiwa juga perlu diberikan imunisasi. Imunisasi dalam kesehatan fisik berarti ‘benteng’ yang dibentuk dari pengenalan terhadap penyebab penyakit (bakteri, virus, dll) yang dilemahkan. Sedangkan, imunisasi dalam kesehatan jiwa berarti membangun ‘benteng’ dari pengalaman- pengalaman hidup yang kurang menyenangkan. Tantangan dalam hidup di zaman sekarang hampir tidak dapat terelakkan dan perlu untuk dihadapi untuk membuat diri belajar memilih dan menilai tindakan yang tepat di saat sulit.
Model kesehatan jiwa yang umum digunakan adalah biopsikososial, menjaga kesehatan fisik dengan diet [menjaga pola makan, bukan mengurangi pola makan] maupun berolahraga teratur. Hal lain yang bisa dilakukan adalah berhimpun dengan kumpulan orang-orang yang suportif. Artikel ini memberikan penjelasan lebih mendalam mengenai pendekatan dari sisi psikologis yang penting dalam mengimunisasi kesehatan jiwa khususnya dalam menghadapi pengalaman hidup yang kurang menyenangkan, yaitu resiliensi dan ketahanan psikologis (hardiness).
Resiliensi: Melompat Lebih Tinggi
Resiliensi jika diibaratkan merupakan trampolin yang memantulkan seseorang kembali ketika jatuh. Ia berurusan dengan bagaimana seseorang bisa kembali berfungsi secara normal. Resiliensi secara implisit juga bermakna kemampuan menghadapi permasalahan dalam hidup, baik dengan memahami kekuatan dan kelemahan maupun belajar dari orang lain. Kemampuan menyelesaikan masalah ini juga dapat disimpulkan dari pemahaman bahwa mampunya seseorang untuk melenting dari keterpurukan. Hal tersebut juga menandakan bahwa masalah yang ia hadapi telah diselesaikan. Resiliensi juga merupakan salah satu dari empat sumber daya psikologis (psychological capital) yang diungkapkan Fred Luthans, pakar perilaku organisasi dari University of Iowa, agar individu bisa berfungsi dengan baik terutama dalam konteks bekerja.
Resiliensi menurut Sandra Lewis dalam bukunya Positive Psychology at Work adalah hasil tempaan berbagai krisis dalam hidup sehingga semakin banyak seseorang terpapar dengan pengalaman tidak menyenangkan, kemungkinan besar resiliensi yang ia miliki juga baik. Namun demikian, pendapat ini perlu dicerna secara hati-hati karena menemukan makna atau titik balik untuk melenting dari keterpurukan juga terkait dengan kondisi stres yang terjadi dalam masa sulit. Stres yang terlalu akut dan besar skalanya sehingga tidak dapat ditangani dapat berubah menuju trauma.
Terkait dengan imunisasi untuk kesehatan jiwa, seseorang harus menghadapkan dirinya pada kondisi-kondisi di luar zona nyamannya untuk merasakan pengalaman jatuh-bangun dalam kehidupan untuk menciptakan daya lenting tersebut. Kondisi di luar zona nyaman hampir dipastikan memberikan krisis yang membuat seseorang merasa tidak nyaman. Bagi yang tidak terbiasa mengambil resiko, mereka bisa mencoba hal- hal yang resikonya terukur (calculated risk) sehingga dapat mengantisipasi perasaan tidak nyaman yang mengiringi ketika mengalami masalah.
Ketahanan Psikologis: Analogi Level dalam Permainan Kehidupan
Berbeda dengan resiliensi, ketahanan psikologis berurusan dengan bagaimana menjaga seseorang untuk tidak terpuruk terlalu dalam ketika menghadapi situasi kurang menguntungkan. Pandangan Suzanne Kobasa, pencetus konsep ketahanan psikologis, yang disarikan Phillip Dewe dan Cary Cooper dalam bukunya Well-being and Work: Towards a Balanced Agenda mengemukakan bahwa:
Ketahanan psikologis merupakan gabungan karakteristik dari beberapa hal. Diantaranya kemampuan mengubah perspektif terhadap krisis dan mekanisme mengurangi stres yang efektif. Selain itu, kemampuan untuk mengetahui sumber daya yang dimiliki untuk menghadapi masalah tersebut juga hal penting.
Beberapa pakar ada yang menyebutkan bahwa ketahanan psikologis ini merupakan bagian dari resiliensi. Meskipun demikian, ketahanan psikologis lebih menyasar ke upaya preventif agar krisis tidak menjadi berlarut-larut.
Lalu Bagaimana Cara Melakukan Imunisasi untuk Kesehatan Jiwa?
Imunisasi kesehatan jiwa dengan pendekatan ketahanan psikologis diperkirakan akan berdampak sama dengan pendekatan resiliensi namun dengan mekanisme berbeda. Berbeda yaitu dengan cara menjaga batas (threshold) dari diri seseorang untuk menghadapi krisis. Sehingga, ketika menghadapi masalah yang sama di masa mendatang, batas tersebut yang dijadikan pedoman pribadi. Masalah yang dialami seseorang, dalam pendekatan ketahanan psikologis, akan meningkatkan imunitas pribadi seseorang dalam menghadapi masalah di kemudian hari. Masalah yang akan datang mungkin saja merupakan masalah baru yang tidak relevan dengan krisis yang pernah dihadapi. Namun demikian, standar pribadi dalam menghadapi masalah akan naik level. Hal ini seiring dengan pola pikir yang dapat mencari dan menyesuaikan inti masalah dengan solusi yang pernah diambil.
Akhirnya, manusia baik sengaja maupun tidak, pasti pernah mengalami krisis dalam hidupnya. Hal tersebut merupakan sesuatu yang perlu dalam hidup untuk memberikan individu makna dan pembelajaran agar dapat naik tingkat dalam menghadapi masalah yang terus ada. Baik pendekatan resiliensi maupun ketahanan psikologis memberikan pandangan bahwa patogen atau krisis juga bisa memberikan kekebalan bagi jiwa individu. Layaknya virus atau bakteri yang kerap berevolusi, masalah jarang sekali tampil dengan bentuk yang sama lebih dari sekali. Dengan bekal imunitas kedua pendekatan imunisasi jiwa tersebut, diharapkan individu dapat menyesuaikan diri untuk mengambil tindakan dalam menghadapi situasi kurang menyenangkan dalam hidup.
Artikel dikirimkan oleh Iqbal Maesa Febriawan dari Divisi Riset Into the Light Indonesia